
Akhirnya tiba juga hari yang kutunggu-tunggu. Kakak perempuanku, yang biasa kupanggil Teteh, melahirkan anak pertamanya!
“Kapan kita jenguk? Bukannya Teteh sudah lahiran?” Mama sudah heboh. “Katanya anaknya perempuan, lucu banget. Ayo kita lihat dede bayi!”
Aku sih antara setuju dan nggak setuju. Keluarga kami memang didominasi perempuan. Kadang aku heran sendiri, kenapa ya?
Dulu, waktu masih zaman cinta monyet, aku pernah mengalami kejadian konyol gara-gara kebanyakan perempuan di sekitarku.
Waktu itu, aku lagi boncengin adik sepupu naik motor. Tiba-tiba, di lampu merah Metro, aku papasan sama pacarku! Dia juga lagi boncengan sama temannya. Masalahnya, adik sepupuku ini sepantaran denganku.
Pacarku langsung salah paham dan nggak mau dengerin penjelasanku. Padahal, kalau dia mau main ke rumah, dia pasti tahu kalau aku punya banyak keponakan dan sepupu perempuan.
Kejadian di lampu merah itu ternyata berbuntut panjang. Aku pikir, dia bakal bercanda aja, tapi ternyata nggak. Dia langsung cemberut pas ketemu lagi.
“Kemarin kamu sama siapa?” tanyanya dengan nada ketus.
“Ya sama adik keponakanku,” jawabku santai.
Dia mendengus. “Masa sih? Kok kayak seumuran?”
“Emang gitu, mukanya emang lebih tuaan dikit,” jawabku jengkel.
Dia masih cemberut. “Aku enggak suka lihat kamu boncengin cewek lain.”
Duh, serba salah. Aku coba jelasin lagi, tapi dia tetap nggak percaya. Mungkin karena dia memang jarang mau main ke rumah dan kenalan sama keluargaku.
Ya sudahlah, kalau dia mau salah paham. Tapi tetap aja kesel. Kenapa sih orang suka buru-buru nge-judge? Padahal kan bisa tanya baik-baik dulu.
Aku jadi kepikiran sepanjang jalan menuju rumah Teteh. Dulu, aku pernah berpikir, kalau aku pacaran tapi dia nggak mau dikenalin ke keluarga, itu sama aja dia malu atau belum siap.
Mungkin dia takut dikira aku mau serius. Aku sendiri sih lebih takut dikecewakan. Kalau dia kenal keluargaku, kan jadi tenang dan tahu mana pacar yang beneran.
Sampai di rumah Teteh, ternyata sudah ramai banget. Lebih banyak perempuan daripada laki-laki. Bayi kecil yang katanya imut itu lagi digendong Mama, dikelilingi tante-tante dan sepupu-sepupu yang sibuk komentar:
“Ya ampun, pipinya kayak bakpao!”
“Mirip siapa nih, mirip siapa?”
“Ih, lucu banget, pengen gigit!”
“MIRIP AKULAH, EMANYA AJA SUKA JAIL MULU SAMA AKU!” Gumamku dalam hati sambil makan puding buatan ibunya si bayi, duduk di pojokan ruang tamu.
Adikku yang duduk di sebelahku, nyengir. “Gimana? Dedenya mirip aku kan? Ya jelas itu pasti mirip aku imutnya.”
“Apansih pede banget dah,” jawabku sambil tersenyum kecut.
Adikku cengengesan, sok pede banget. “Seriusan, lo lihat tuh matanya sipit belo, persis gue waktu bayi!”
Aku melirik dedek bayi yang lagi ngulet-ngulet di gendongan Mama. Jujur, matanya emang agak sipit, tapi lebih mirip… “Gue rasa sih, dia lebih mirip ayam baru netes,” ucapku pelan.
Ade kesel sambil menepuk bahuku. “Kurang ajar lu, Bang. Masa bayi dibandingin ayam?” Mungkin dia dengar ucapanku itu.
Aku sedikit tertawa sambil mengunyah puding. Di tengah keramaian tante-tante yang masih sibuk mendebatkan bayi ini lebih mirip bapak atau emaknya, tiba-tiba si bayi ngeluarin suara khasnya—setengah tangisan, setengah protes.
“Waduh, mulai deh,” kata salah satu sepupu.
“Nahkan, nangis.”
“Laper kali tuh.”
Bener saja, Mama buru-buru ngasih bayi itu ke ibunya, sementara suara tangisannya makin kenceng. Aku dan adikku saling pandang, trus buru-buru nyomot makanan lagi sebelum ada yang nyuruh bantuin.
“Yuk, cabut dulu ke belakang. Amanin cemilan sebelum keburu kehabisan sama emak-emak rempong,” ucapku.
Adikku langsung setuju. Kami nyelinap ke dapur sambil bawa satu piring puding, berharap bisa menikmati sisa cemilan tanpa harus ketangkep buat gendong bayi atau disuruh mijetin tante-tante yang capek gosip.
Setelah berjam-jam kami berkunjung, memberikan kado sederhana untuk bayi itu, kami memutuskan untuk berpamitan pulang.
Keesokan harinya, di sekolah, pacarku masih marah tentang kejadian boncengan itu. Padahal, dia itu keluarga sendiri.
Pacaran berbulan-bulan terasa seperti kontrakan yang durasinya mingguan, bulanan, atau tahunan. Banyak orang seperti itu. Aku sendiri nggak pernah pasang status WhatsApp ucapan *anniversary*.
Cinta Butuh Kepastian
Pada kenyataannya, cinta butuh saling memahami dalam sebuah kepastian.
Hubunganku nggak bertahan lama. Putus di tengah jalan. Nggak seperti mereka yang pacaran bertahun-tahun tapi nggak ada kepastian dilamar.
Menurutku, lebih baik putus cinta di tengah jalan daripada putus sekolah. Itu konyol.
Banyak anak muda yang patah hati seperti diracuni, membunuh semangatnya sendiri.
Kecemburuan memang wajar, tapi cemburu berlebihan itu nggak wajar.
Kalau dapat pasangan yang berkarir, meskipun diskusi perusahaan sama lawan jenis, tujuannya tetap rumah. Begitu juga sebaliknya. Tapi, jarang ada yang seperti itu. Tergantung tanggung jawab dan saling pengertian masing-masing.
Pelajaran Cinta Monyet yang Kandas
JAKARTA-2019
NEWS TANGERANG– Narator mengunjungi kakaknya yang baru melahirkan bayi perempuan, sebuah peristiwa yang mengingatkan akan dominasi perempuan dalam keluarganya. Pengalaman ini membangkitkan kenangan tentang insiden di masa lalu, di mana mantan pacarnya cemburu berlebihan karena salah paham melihat narator membonceng sepupu perempuan. Meskipun telah dijelaskan, pacar tersebut menolak untuk percaya atau mengenal keluarga narator, yang kemudian menyebabkan hubungan mereka kandas.
Dari pengalaman tersebut, narator menyimpulkan bahwa cinta membutuhkan kepastian dan saling pengertian. Kecemburuan yang berlebihan tidaklah wajar, dan penting bagi pasangan untuk bersedia mengenal keluarga satu sama lain. Hubungan yang sehat dibangun atas kepercayaan dan pemahaman timbal balik untuk dapat bertahan.
Penulis: Santika Reja
Editor: Santika Reja
Terakhir disunting: Juni 22, 2025