NEWS TNG– Pagi itu, langit Tangerang tampak muram. Awan menggumpal seperti adonan kelabu yang siap tumpah kapan saja. Di sebuah gang sempit di daerah Ciledug, seorang petugas mengenakan rompi oranye jongkok di pinggir selokan, mengangkat gumpalan plastik dan daun kering yang menutupi mulut got. Bau lumpur bercampur udara lembap menguar—pertanda musim hujan benar-benar sudah mengetuk pintu kota.
Di ruang rapat berpendingin udara di Pusat Pemerintahan Kota Tangerang, suasana berbeda. Senin pagi (3/11/2025) itu, Wali Kota H. Sachrudin berbicara dengan nada tegas di depan camat, lurah, dan kepala dinas. Tak ada basa-basi: “Kita harus mulai mengantisipasi sejak dini agar tidak timbul genangan yang menghambat aktivitas masyarakat.”
Nada itu bukan sekadar formalitas evaluasi bulanan. Ia adalah alarm kewaspadaan yang menandai datangnya November—bulan yang saban tahun menjadi ujian bagi kota ini.
Ketika Drainase Jadi Barisan Pertahanan
Bagi warga Tangerang, hujan deras sering kali jadi drama tahunan yang sudah bisa ditebak alurnya: genangan di depan rumah, lalu kemacetan di perempatan, dan berita banjir yang berseliweran di grup WhatsApp RT.
Namun bagi pemerintah kota, setiap saluran air adalah garis depan pertahanan.
Instruksi Sachrudin sederhana tapi berat: seluruh jajaran harus aktif memantau dan mengecek kondisi drainase di wilayah masing-masing. Satu saluran tersumbat saja bisa berarti satu lingkungan lumpuh.
Tugas itu bukan hanya untuk petugas Dinas PUPR atau DLH, tapi juga perangkat wilayah—camat, lurah, hingga RT/RW. “Jangan sampai ada yang tersumbat atau menghambat aliran air,” ujarnya. Pesan ini bukan hanya teknis, tapi juga politis: kesiapan menghadapi hujan adalah ukuran kinerja, bukan sekadar urusan selokan.
Sampah, Kebiasaan yang Tak Kunjung Luruh
Namun, bicara drainase tanpa bicara sampah seperti bicara kopi tanpa gula: tak akan lengkap. Di lapangan, tumpukan plastik dan limbah rumah tangga masih sering jadi penyebab utama aliran air mandek.
Sachrudin menyadari hal itu. Ia tak hanya bicara soal infrastruktur, tapi juga soal budaya. “Sosialisasikan kepada warga pentingnya memilah dan mengelola sampah rumah tangga dari sumbernya. Jangan sampai ada lagi sampah yang dibuang ke kali,” katanya, kali ini dengan nada yang lebih lembut.
Di balik kalimat itu tersirat kenyataan yang rumit: mengubah perilaku masyarakat tak semudah membersihkan gorong-gorong. Butuh kesadaran, konsistensi, dan contoh nyata dari pemerintah sendiri. Sebab di banyak tempat, warga sering kali lebih cepat bergerak daripada birokrasi.
Ketegasan yang Diharapkan, Bukan Ditakuti
Bagi sebagian orang, perintah “tindak tegas” bisa terdengar kaku. Tapi dalam konteks ini, Sachrudin seolah ingin menegaskan: kebersihan bukan hanya slogan. Ia menyinggung soal penegakan aturan bagi siapa pun yang mencemari lingkungan—mulai dari teguran hingga sanksi.
“Tindak tegas siapa pun yang dengan sengaja mencemari atau merusak lingkungan,” katanya.
Kata “tegas” ini penting. Karena dalam praktiknya, masih banyak kasus sampah dan pencemaran yang berakhir tanpa kejelasan. Di banyak tempat, kali menjadi tempat pelarian masalah, bukan solusi.
Namun penegakan aturan saja tak cukup. Tanpa edukasi dan partisipasi warga, tindakan represif bisa terasa seperti memadamkan api tanpa mengeringkan sumber airnya.
Kota yang Hidup dari Gotong Royong
Bagi Tangerang—kota industri yang tumbuh di antara perumahan padat dan kompleks bisnis—hujan selalu membawa dua wajah. Di satu sisi, ia menyejukkan udara yang berdebu. Di sisi lain, ia bisa berubah menjadi bencana kecil di setiap tikungan.
Karena itu, ajakan gotong royong menjadi relevan kembali. Di banyak RW, warga mulai rutin kerja bakti tiap akhir pekan. Di pinggir Kali Cisadane, kelompok relawan lingkungan membersihkan sampah plastik yang tersangkut di akar pohon bakau. Semua bergerak, kadang tanpa instruksi resmi.
“Kesiapsiagaan kita bersama akan menentukan keselamatan dan kenyamanan masyarakat,” kata Sachrudin di akhir rapatnya. Kalimat itu menggema seperti mantra lama yang kembali dihidupkan: hanya dengan kebersamaan, kota ini bisa bertahan dari banjir dan genangan.
Antara Langit dan Tanah yang Harus Dijaga
Di luar gedung, hujan mulai turun rintik-rintik. Jalan-jalan licin, namun aroma tanah basah membawa ketenangan yang aneh. Seolah kota ini sedang menghela napas, bersiap menghadapi musim yang tak bisa dihindari.
Banjir, pada akhirnya, bukan sekadar soal air yang meluap. Ia cermin dari hubungan manusia dengan lingkungannya—apakah kita masih peduli pada tanah tempat kita berpijak, atau hanya menunggu pemerintah turun tangan ketika genangan sudah setinggi mata kaki.
Kota Tangerang, seperti banyak kota lain di Indonesia, sedang belajar hal yang sama: bahwa pembangunan tak hanya soal beton dan aspal, tapi juga soal kesadaran dan kepedulian. Sebab, di antara curah hujan yang kian deras, yang paling penting bukan seberapa cepat air surut, tapi seberapa dalam kita mau berubah.
Disunting oleh: S. Reja
Terakhir disunting: November 3, 2025
















