NEWS TNG– Aceh Utara kembali digegerkan dengan sebuah kabar yang bikin miris banyak pihak. Seorang pimpinan dayah atau pesantren di wilayah setempat, baru-baru ini ditangkap oleh Satuan Reserse Kriminal Polres Aceh Utara. Ia diduga terlibat dalam kasus rudapaksa terhadap seorang santriwati yang masih berusia 16 tahun.
Peristiwa ini tentu saja mengejutkan, mengingat pelaku adalah sosok yang seharusnya menjadi panutan dan pelindung bagi para santrinya. Kasus ini terungkap setelah pihak keluarga korban melaporkan kejadian pilu tersebut kepada polisi.
Kronologi Miris: Berawal dari Tuduhan Palsu
Menurut keterangan Kasat Reskrim Polres Aceh Utara, AKP Dr Boestani, insiden dugaan rudapaksa ini terjadi di rumah pelaku yang berada di dalam kompleks dayah. Lokasi yang seharusnya menjadi tempat aman justru berubah menjadi saksi bisu tindakan bejat.
Kejadian memilukan ini, dilansir dari sebuah situs berita nasional, berlangsung pada tanggal 19 dan 20 Agustus 2025. Korban dipanggil ke rumah tersangka pada dini hari, dengan dalih akan diberi hukuman. Alasannya, korban dituduh melakukan panggilan video dengan seorang pria.
Dih, alasan yang dibuat-buat ini sungguh tidak masuk akal dan sangat disayangkan. Alih-alih memberikan hukuman atau nasihat, pelaku justru memanfaatkan situasi untuk melancarkan aksi keji. Ia memaksa korban melakukan perbuatan cabul, dan ngerinya, aksi tersebut berlanjut hingga ke kamar tidur pelaku.
Gak habis fikir, bagaimana seorang pimpinan pesantren bisa tega melakukan hal sekeji itu kepada santriwatinya sendiri. Kepercayaan yang diberikan oleh orang tua santri seolah dihancurkan begitu saja.
Ancaman dan Keberanian Korban
Setelah melancarkan aksinya, tersangka tak tinggal diam. Ia bahkan mengancam korban agar tidak menceritakan kejadian tersebut kepada siapa pun. Ancaman ini tentu saja membuat korban tertekan dan ketakutan, sehingga ia memilih bungkam.
Saat peristiwa mengerikan itu terjadi, tersangka diketahui sendirian di rumahnya. Kondisi ini memberinya keleluasaan untuk melakukan perbuatan keji tanpa ada yang mengetahui atau menghalangi. So sad, situasi ini semakin memperparah trauma yang dialami korban.
Perkara ini baru terungkap ketika seluruh santri diizinkan pulang ke rumah masing-masing pada 28 Agustus 2025. Momen kepulangan ini menjadi titik balik bagi korban. Setelah beberapa hari memendam ketakutan, korban akhirnya memberanikan diri untuk mengisahkan pengalaman pahitnya kepada keluarganya.
Keberanian korban untuk berbicara adalah langkah yang sangat besar. Mendengar cerita anaknya, pihak keluarga tentu saja syok dan marah. Mereka pun segera melaporkan kasus ini ke Polres Aceh Utara pada tanggal 6 September 2025.
Jerat Hukum Menanti Pelaku
Setelah menerima laporan dan melakukan penyelidikan mendalam, aparat kepolisian bergerak cepat. Dari hasil pemeriksaan terhadap korban dan sejumlah saksi, pimpinan pesantren itu akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Kini, ia telah ditahan di Rutan Polres Aceh Utara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Polisi masih terus melakukan pemeriksaan intensif terhadap korban, pelaku, dan saksi-saksi lainnya. Tujuannya adalah untuk memperkuat alat bukti dan memastikan keadilan ditegakkan. Kasus ini menjadi perhatian serius, mengingat dampaknya yang mendalam bagi korban dan citra lembaga pendidikan keagamaan.
Atas perbuatannya yang keji, pimpinan pesantren itu dijerat dengan tindak pidana jarimah pemerkosaan serta pelecehan seksual terhadap anak. Dasar hukum yang digunakan adalah Pasal 50 Jo Pasal 47 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
Ancaman hukuman yang menanti pelaku tidak main-main dan sangat berat. Ia bisa dijatuhi uqubat cambuk hingga 200 kali. Selain itu, pelaku juga terancam hukuman penjara paling lama 200 bulan, atau setara dengan 16 tahun 8 bulan. Hukuman ini diharapkan dapat memberikan efek jera dan keadilan bagi korban.
Kasus ini menjadi pengingat penting bagi kita semua akan bahaya predator seksual yang bisa bersembunyi di balik berbagai kedok. Penting bagi masyarakat untuk terus waspada dan berani melaporkan setiap tindak kejahatan, terutama yang melibatkan anak-anak. Semoga korban mendapatkan keadilan dan pemulihan yang layak.
Disunting oleh: S. Reja
Terakhir disunting: Oktober 1, 2025
















