
NEWS TANGERANG– Eddy D Iskandar, nama ini mungkin asing bagi sebagian anak muda zaman sekarang. Tapi bagi generasi yang tumbuh di era 80-an, ia adalah idola. Seorang penulis novel remaja yang sangat produktif, dan yang paling ikonik, tentu saja Gita Cinta dari SMA. Novel ini sukses besar hingga diadaptasi menjadi film layar lebar, dan lagu soundtrack-nya meledak di pasaran.
Gue sendiri punya kenangan manis dengan karya-karya Eddy D Iskandar. Dulu, gue baca novel-novelnya dengan penuh semangat. Pas film Gita Cinta dari SMA tayang, gue nggak mau ketinggalan buat nonton di bioskop. Tapi, anehnya, gue nggak terlalu keranjingan sama soundtrack filmnya. Cuma sekadar tahu aja, dan kadang bergumam kecil ikut nyanyi.
Nah, gimana ceritanya gue bisa kenal sama pengarang keren ini, terus baca novel-novelnya, sampai akhirnya nonton film adaptasi karyanya di bioskop? Ini dia cerita gue!
Bertemu Bacaan dan Eddy D Iskandar
Buat gue, “pulang kampung” itu nggak selalu berarti dari kota ke desa. Atau kayak cerita-cerita zaman sekolah, liburan dari kota ke kampung halaman. Itu sih udah biasa banget, bukan pengalaman gue.
Dulu, pas libur sekolah, sekitar satu atau dua kali dalam beberapa tahun, gue punya kesempatan istimewa. Dari kota kecil Donggala di Sulawesi Tengah, gue liburan ke rumah nenek di Surabaya.
Di Surabaya inilah gue menemukan surga bacaan! Banyak banget penjual buku, koran, dan majalah. Bahkan majalah-majalah impor juga ada. Dan yang paling asyik, gampang banget nemuin lapak-lapak penjual buku bekas yang berjejer di jalanan.
Di Surabaya inilah gue mulai kenal sama komik dan novel. Beli atau nyewa, dua-duanya gue jabanin! Termasuk karya-karya dari penulis remaja, Eddy D Iskandar. Dan di antara semua novelnya, yang paling membekas di hati gue ya Gita Cinta dari SMA.
Nggak butuh waktu lama, novel ini langsung jadi bacaan favorit gue! Soalnya, Eddy D Iskandar nulis dengan gaya yang ringan, bahasa yang populer, dan sentuhan romansa yang bikin karakter-karakternya jadi hidup banget.
Gita Cinta dari SMA Berlanjut Puspa Indah Taman Hati
Kesuksesan Gita Cinta dari SMA mendorong Eddy D Iskandar untuk nulis sekuelnya. Lahirlah Puspa Indah Taman Hati. Begitu mulai baca, gue langsung sadar kalau konteks ceritanya udah beda.
Kalau Gita Cinta dari SMA jelas-jelas berlatar di lingkungan sekolah, dengan tokoh-tokoh pelajar, Puspa Indah Taman Hati membawa Ratna, salah satu tokoh utamanya, memasuki dunia perkuliahan.
Gue yang saat itu masih jauh dari kehidupan kampus, menikmati novel ini sebagai jendela informasi baru. Yang paling terasa bedanya, tentu saja karakter-karakternya yang jauh lebih dewasa dari novel sebelumnya.
Ratna yang udah cukup matang di Gita Cinta dari SMA, semakin dewasa di Puspa Indah Taman Hati. Masalah hidup yang dihadapi pun “lebih” berat.
Gita Cinta dari SMA dan Puspa Indah Taman Hati dalam Film
Gue nonton kedua film yang diadaptasi dari novel Eddy D Iskandar. Yang pertama tentu saja Gita Cinta dari SMA. Dibintangi sama Rano Karno dan Yessy Gusman, dua remaja yang lagi naik daun dan jadi idola saat itu.
Pemilihan pemainnya menurut gue udah pas banget, sesuai sama ekspektasi pembaca novel dan penonton film remaja. Tapi, lewat film ini gue jadi tahu suara Yessy Gusman itu unik banget.
Film Gita Cinta dari SMA bikin gue ngerti, imajinasi yang selama ini bermain di kepala gue pas baca novel, tiba-tiba muncul di depan mata. Dari sini gue belajar, dunia membaca itu jauh lebih indah daripada dunia visual.
Ya, gue ngerasa apa yang ditampilkan di layar lebar itu nggak seindah apa yang ada di imajinasi gue. Pas baca novelnya, teater di dalam benak gue bermain sesuai dengan imajinasi yang gue bangun sendiri.
Belakangan gue baru sadar, untuk mengadaptasi sebuah cerita, dibutuhkan penanganan yang sesuai dengan genrenya. Kisah romansa yang indah dalam novel, bisa jadi biasa aja kalau nggak ditangani dengan visual yang juga romantis.
Seingat gue, film Puspa Indah Taman Hati malah semakin mengikis imajinasi yang udah terpatri di benak gue. Tapi, kedua film ini tetap memberikan kontribusi dalam cara berpikir gue. Ini jadi bekal yang berguna buat gue dalam memahami proses adaptasi sebuah karya.
Dua Gaya Rambut di Gita Cinta dari SMA dan Puspa Indah Taman Hati
Selain dari segi cerita, ada satu hal lagi yang gue perhatikan dari kedua film ini: penampilan Ratna. Ada perbedaan yang mencolok antara Ratna di Gita Cinta dari SMA dan Puspa Indah Taman Hati.
Di film Gita Cinta, Ratna berambut keriting dan pendek. Sementara di film Puspa Indah, Ratna berambut lurus dan panjang, dengan poni yang menutupi keningnya.
Sebagai mahasiswi, Ratna digambarkan berpenampilan modis dengan tubuh ramping dan celana jeans. Penampilannya mirip sama cewek-cewek di film drama Korea.
Seiring berjalannya waktu, gue jadi paham, karakter tokoh itu harus berkembang seiring dengan cerita. Nggak cuma kepribadiannya aja (inside), tapi juga penampilannya (outside).
Itulah pengalaman kecil dan kesan gue setelah baca novel dan nonton film Gita Cinta dari SMA dan Puspa Indah Taman Hati.
Pengalaman ini ikut memperkaya hidup gue, terutama pas gue memutuskan untuk berkarir sebagai editor di dunia penerbitan. Sekaligus, sesekali nulis fiksi dan nonfiksi dengan gaya naratif pilihan gue.
Eddy D Iskandar adalah penulis novel remaja produktif era 80-an, dikenal luas melalui karya ikoniknya, “Gita Cinta dari SMA”. Novel tersebut meraih kesuksesan besar, kemudian diadaptasi menjadi film layar lebar yang populer dengan lagu tema yang meledak di pasaran. Penulis artikel ini mulai mengenal dan menggemari novel-novel Eddy D Iskandar, khususnya “Gita Cinta dari SMA”, saat berlibur di Surabaya. Gaya penulisan yang ringan, bahasa populer, dan sentuhan romansa membuat novelnya sangat membekas.
Kesuksesan “Gita Cinta dari SMA” mendorong Eddy D Iskandar menulis sekuelnya, “Puspa Indah Taman Hati”, yang mengisahkan transisi tokoh utama ke kehidupan perkuliahan. Kedua novel ini kemudian diadaptasi ke film layar lebar, dibintangi Rano Karno dan Yessy Gusman. Penulis merasa bahwa visualisasi film tidak selalu seindah imajinasi pribadi dari membaca, namun pengalaman ini memberikan pemahaman tentang proses adaptasi karya. Perbedaan penampilan karakter utama, Ratna, di kedua film juga diamati, menunjukkan pengembangan karakter seiring waktu.
Penulis: Santika Reja
Editor: Santika Reja
Terakhir disunting: Juni 1, 2025