Seedbacklink affiliate
Hukum  

Bjorka Ditangkap! Dalang Peretasan Jutaan Data Nasabah Terungkap, Gak Nyangka Pelakunya!

Ponsel dengan logo BSI, tasbih, dan Al-Qur'an di atas meja kayu.
Bank Syariah Indonesia (BSI) terus berinovasi dalam layanan digital sesuai nilai-nilai keislaman.
banner 120x600

NEWS TANGERANG– Setelah berbulan-bulan jadi buronan siber yang bikin geger, sosok di balik akun ‘Bjorka’ akhirnya diciduk. Direktorat Siber Polda Metro Jaya berhasil membekuk pria berinisial WFT, dalang di balik klaim peretasan jutaan data nasabah bank swasta yang sempat bikin publik auto panik.

Pria berusia 22 tahun ini diketahui berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara. Penangkapan WFT dilakukan di kediamannya yang tenang di Desa Totolan, Kakas Barat, Minahasa, pada Selasa, 23 September 2025.

Identitas Bjorka Terbongkar

Penangkapan ini menandai akhir dari pengejaran intensif yang memakan waktu hingga enam bulan. AKBP Reonald Simanjuntak, Kepala Sub Bidang Penerangan Masyarakat Polda Metro Jaya, pada Kamis, 2 Oktober 2025, mengonfirmasi identitas WFT. Ia adalah pemilik akun X (dulu Twitter) Bjorka dan @bjorkanesiaa yang selama ini menebar ancaman di dunia maya.

WFT, yang kini berstatus tersangka, telah menjadi target utama aparat penegak hukum. Namanya sempat melambung dan jadi buah bibir karena klaim-klaim peretasan data besar-besaran yang ia publikasikan.

Awal Mula Penangkapan dan Klaim Bombastis

Kasus ini bermula dari laporan sebuah bank swasta yang mendeteksi adanya akses ilegal ke sistem mereka. Bank tersebut tidak tinggal diam dan segera melaporkan insiden ini ke pihak berwajib setelah akun ‘Bjorka’ mulai beraksi dengan klaim-klaim bombastisnya.

WFT, melalui akun media sosialnya, dengan berani memamerkan tampilan data nasabah yang berhasil diretas. Ia bahkan mengirim pesan langsung ke akun resmi bank, mengklaim telah menguasai 4,9 juta database nasabah. Ngerinya, klaim ini tentu saja membuat pihak bank dan nasabah merasa terancam.

Modus Operandi: Peretasan Berujung Pemerasan

Kepala Subdirektorat IV Siber Polda Metro Jaya, AKBP Herman Edco, menjelaskan bahwa motif utama pelaku adalah pemerasan. WFT berharap pihak bank akan menuruti permintaannya setelah ancaman peretasan tersebut dipublikasikan secara luas.

Namun, rencana jahatnya kandas di tengah jalan. Untungnya, pihak bank memilih untuk tidak menuruti permintaan pelaku dan segera melapor ke polisi. Ini adalah langkah tepat yang berhasil menggagalkan upaya pemerasan WFT sebelum sempat terjadi.

Dari Dark Web ke Jual Beli Data

Di hadapan penyidik, WFT mengaku mendapatkan data-data sensitif tersebut dari dark web, sebuah sudut internet yang sulit dilacak. Gak habis pikir, data-data ini kemudian dijual bebas di media sosial dengan harga yang fantastis, mencapai puluhan juta rupiah.

Pelaku juga mengakui bahwa dirinya sudah beraksi sebagai ‘Bjorka’ sejak tahun 2020. Ini berarti aksi peretasan dan jual beli data ini sudah berlangsung cukup lama, jauh sebelum namanya viral.

AKBP Reonald Simanjuntak menambahkan, tidak hanya data perbankan, WFT juga mengklaim telah memperoleh dan menjual data dari berbagai perusahaan. Termasuk data perusahaan kesehatan dan perusahaan swasta lainnya di Indonesia. Aksi jual beli data ini dilakukan melalui berbagai akun media sosial yang berbeda, memperluas jangkauan kejahatannya di dunia maya.

Pentingnya Keamanan Data di Era Digital

Kasus Bjorka ini menjadi pengingat keras betapa rentannya data pribadi di era digital. Baik institusi maupun individu harus semakin meningkatkan kewaspadaan dan keamanan siber. Peretasan data bisa berdampak serius, mulai dari kerugian finansial hingga penyalahgunaan identitas.

Masyarakat juga perlu lebih bijak dalam membagikan informasi pribadi di internet. Jangan mudah percaya pada tautan atau pesan mencurigakan yang bisa menjadi pintu masuk bagi para peretas.

Ancaman Hukuman Berat Menanti

Kini, WFT resmi ditahan dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ia dijerat dengan Pasal 46 Juncto Pasal 30 dan atau Pasal 48 Jo Pasal 32 dan atau Pasal 51 Ayat (1) Jo Pasal 35 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008.

Aturan tersebut telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ancaman pidana yang menanti WFT tidak main-main, yaitu paling lama 12 tahun penjara. Kasus ini menjadi peringatan keras bagi para pelaku kejahatan siber, bahwa di balik anonimitas dunia maya, aparat penegak hukum akan terus memburu dan membawa mereka ke meja hijau.

Penulis: Dyandra

Editor: Santika Reja

Terakhir disunting: Oktober 2, 2025

Promo Akad Nikah Makeup