NEWS TANGERANG– Wakatobi lagi geger, dan kali ini bukan karena keindahan bawah lautnya. Sebuah fakta mengejutkan terkuak: Litao, anggota DPRD Kabupaten Wakatobi yang baru saja dilantik pada 1 Oktober 2024, ternyata adalah buronan kasus pembunuhan sejak tahun 2014. Berita ini sontak bikin heboh dan memicu pertanyaan besar: bagaimana bisa seorang buronan pembunuhan duduk di kursi wakil rakyat?
Kisah ini bermula dari peristiwa tragis pembunuhan anak di Wakatobi pada tahun 2014. Litao ditetapkan sebagai tersangka utama dalam kasus tersebut. Setelah kejadian itu, ia langsung melarikan diri, masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Polres Wakatobi, dan seolah menghilang ditelan bumi.
Namun, yang bikin geleng-geleng kepala adalah perjalanan hidup Litao selanjutnya. Alih-alih tertangkap, ia justru berhasil menghindari jerat hukum selama satu dekade penuh. Bahkan, di tengah statusnya sebagai buronan, ia nekat maju sebagai calon legislatif pada Pemilu 2024 dan, yang lebih mencengangkan, berhasil memenangkan kursi di DPRD Wakatobi.
Terungkapnya Fakta Mengejutkan: Buronan Jadi Pejabat Publik
Kini, pelarian panjang Litao akhirnya berakhir. Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Sultra telah mengeluarkan surat resmi penetapan tersangka bernomor Tap/126/VIII/RES.1.7/2025. Ini adalah langkah tegas yang diambil setelah sekian lama kasus ini menggantung.
Kabid Humas Polda Sultra, Kombes Pol Iis Kristian, membenarkan kabar ini. "Iya benar, yang bersangkutan telah ditetapkan sebagai tersangka," ujarnya di Kendari pada Kamis (11/9/2025) lalu. Ia menambahkan bahwa Litao akan segera dipanggil dan diproses lebih lanjut sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Pengungkapan ini tentu saja disambut dengan lega oleh banyak pihak, terutama keluarga korban yang telah menanti keadilan selama bertahun-tahun. Mereka akhirnya melihat secercah harapan setelah penantian panjang yang melelahkan.
Keluarga Korban Berharap Keadilan Segera Terwujud
Bagi keluarga korban, penetapan tersangka ini adalah angin segar. Kuasa hukum keluarga dari Kantor Hukum Wa Ode Nur Zainab & Partners, La Ode Muhammad Sofyan Nurhasan, menyatakan rasa syukurnya. "Kita menyambut baik penetapan tersangka oleh pihak Polda Sultra," kata Sofyan.
Ia juga menepis tudingan yang menyebut kasus ini dipolitisasi. Menurut Sofyan, penetapan tersangka Litao sudah ada sejak 2014, jauh sebelum ia mencalonkan diri sebagai anggota dewan. "Terkait tudingan-tudingan soal politisasi, itu terbantahkan dengan sendirinya karena faktanya pelaku sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak 2014," tegasnya. Ini membuktikan bahwa kasus ini murni penegakan hukum.
Kini, fokus utama adalah memastikan proses hukum berjalan lancar dan adil. Keluarga korban berharap Litao segera mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum, mengakhiri penantian panjang mereka akan keadilan.
Skandal SKCK: Kok Bisa Buronan Punya Surat Keterangan Baik?
Namun, cerita ini tidak berhenti di situ. Kasus Litao juga membongkar adanya kelalaian serius di internal kepolisian, khususnya terkait penerbitan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Bagaimana mungkin seorang buronan bisa mendapatkan SKCK yang menyatakan dirinya "bersih" dari catatan kriminal?
Salah satu personel Polres Wakatobi, Aiptu S, menjadi pihak yang harus menanggung konsekuensi. Ia dijatuhi sanksi demosi selama tiga tahun dan dipindahkan ke Polres Buton Utara. Sanksi ini diberikan karena Aiptu S dianggap lalai dalam menerbitkan SKCK untuk Litao.
Padahal, Litao sudah berstatus DPO sejak tahun 2014. Kelalaian Aiptu S ini jelas menjadi sorotan tajam, menunjukkan adanya celah dalam sistem yang seharusnya sangat ketat. Ini memunculkan pertanyaan tentang integritas dan akuntabilitas dalam prosedur administrasi kepolisian.
Prosedur Standar Diabaikan, Konsekuensi Menanti
Kombes Pol Iis Kristian menjelaskan bahwa ada prosedur standar yang harus dijalankan dalam penerbitan SKCK. Setiap permohonan harus melalui pengecekan rekam jejak pemohon di unit Reskrim, Narkoba, dan Lantas. Ini adalah langkah krusial untuk memastikan tidak ada catatan kriminal yang terlewat.
Namun, dalam kasus Litao, Aiptu S tidak mencantumkan status hukum Litao yang saat itu merupakan DPO. "Nah, di situ ada kelalaian hasil temuannya tidak mencantumkan," jelas Iis. Ia menambahkan bahwa petugas di Reskrim itu tidak menyampaikan informasi penting bahwa pemohon termasuk dalam DPO. "Kelalaiannya tidak melihat register itu," imbuhnya.
Kelalaian ini bukan sekadar kesalahan administratif biasa. Ini adalah kegagalan sistem yang memungkinkan seorang buronan bisa melenggang bebas, bahkan sampai menduduki jabatan publik. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum bisa terkikis.
Sanksi Tegas untuk Polisi Lalai dan Pelajaran Berharga
Atas kelalaian fatal tersebut, Aiptu S tidak hanya dijatuhi sanksi demosi. Ia juga dibatalkan untuk mengikuti pendidikan perwira, sebuah kesempatan emas yang hilang karena keteledorannya. Polisi menegaskan bahwa langkah ini merupakan konsekuensi tegas atas kelalaian yang terjadi.
Ini juga menjadi bentuk tanggung jawab institusi dalam menindaklanjuti kasus ini. Diharapkan, sanksi ini menjadi pelajaran berharga bagi seluruh personel kepolisian agar lebih teliti dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya, terutama yang berkaitan dengan data dan rekam jejak hukum seseorang.
Kasus Litao ini adalah tamparan keras bagi sistem hukum dan pengawasan di Indonesia. Bagaimana seorang buronan pembunuhan bisa lolos dari pencarian selama 10 tahun, bahkan sampai terpilih sebagai anggota dewan, adalah pertanyaan besar yang harus dijawab tuntas. Ini adalah pengingat bahwa keadilan mungkin lambat, tapi pasti akan menemukan jalannya, dan bahwa tidak ada yang bisa bersembunyi dari hukum selamanya. Semoga kasus ini menjadi momentum untuk perbaikan sistem yang lebih baik dan transparan.
Penulis: Dyandra
Editor: Santika Reja
Terakhir disunting: September 18, 2025