Seedbacklink affiliate
Hukum  

Minggu, 31 Agustus 2025 – 15:16 WIB

Pejabat berhijab menjelaskan program pemerintah di depan poster 'Lima Arahan Presiden' tentang perlindungan anak.
Seorang pejabat menjelaskan strategi pemerintah dalam menurunkan pekerja anak dan mencegah perkawinan anak, sesuai Lima Arahan Presiden.
banner 120x600

NEWS TANGERANGKemenPPPA Murka! Guru Cabul di Labuhanbatu Selatan Diduga Lecehkan 23 Murid SD, Polisi Diminta Gercep!

Jakarta – Kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan seorang guru dan puluhan murid Sekolah Dasar (SD) di Labuhanbatu Selatan, Sumatera Utara, sukses bikin geger. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, langsung melayangkan kecaman keras terhadap insiden memilukan ini.

Reaksi Keras KemenPPPA: Desak Polisi Gercep!

"KemenPPPA mengecam kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan oknum guru pada 23 orang murid sekolah dasar di Labuhanbatu Selatan," kata Menteri PPPA Arifah Fauzi di Jakarta, Minggu. Pernyataan ini menunjukkan betapa seriusnya pemerintah menyikapi kejahatan terhadap anak.

Pihaknya tidak hanya mengecam, tapi juga mendesak aparat kepolisian untuk segera bergerak cepat. KemenPPPA meminta polisi mengusut tuntas kasus ini dan menangkap terduga pelaku yang kini masih buron. Ini adalah prioritas utama untuk memastikan keadilan bagi para korban.

"Kami minta pihak kepolisian dapat melaksanakan proses hukum secara tegas tanpa toleransi," tegas Arifah Fauzi. Beliau menekankan bahwa tidak ada ruang untuk kompromi dalam kasus kekerasan seksual, apalagi yang menimpa anak-anak di lingkungan pendidikan.

UU TPKS Jadi Senjata Lawan Predator Anak

Menteri Arifah Fauzi mengingatkan bahwa Indonesia memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang sangat kuat. Dalam kasus ini, kejahatan tersebut termasuk delik biasa, yang berarti proses hukum bisa langsung berjalan.

Artinya, polisi dapat memproses hukum tanpa perlu menunggu adanya pengaduan resmi dari pihak korban atau keluarga. Ini adalah langkah maju dalam melindungi anak-anak, memastikan pelaku tidak bisa lolos begitu saja.

Keberadaan UU TPKS menjadi senjata ampuh untuk melawan predator anak. Dengan adanya payung hukum ini, diharapkan setiap kasus kekerasan seksual dapat ditangani dengan cepat dan tuntas, memberikan efek jera bagi para pelaku.

Sekolah Seharusnya Zona Aman, Bukan Zona Bahaya

Menteri Arifah Fauzi menegaskan, kekerasan seksual di institusi pendidikan tidak bisa ditoleransi sama sekali. Lingkungan sekolah dan para guru seharusnya menjadi tempat yang paling aman dan nyaman bagi anak-anak untuk belajar dan berkembang.

"Gak habis pikir, bagaimana bisa tempat yang seharusnya jadi benteng perlindungan malah jadi arena kejahatan," ujar Arifah, menunjukkan kekecewaannya. Kepercayaan orang tua dan anak-anak telah dikhianati oleh oknum yang seharusnya menjadi teladan.

Insiden ini menjadi pengingat pahit bagi kita semua tentang pentingnya pengawasan dan perlindungan ekstra di lingkungan sekolah. Anak-anak berhak mendapatkan pendidikan tanpa rasa takut, dan itu adalah tanggung jawab bersama.

Kronologi Kasus yang Bikin Hati Miris

Dugaan kasus kekerasan seksual ini mulai mencuat setelah lima orang tua murid memberanikan diri melapor. Mereka melaporkan tindakan bejat yang dilakukan oleh pelaku berinisial ANS (31).

ANS diketahui berprofesi sebagai guru olahraga di salah satu SD Negeri di Kabupaten Labuhanbatu Selatan. Ngerinya, tindakan kekerasan seksual tersebut diduga telah berlangsung sejak Agustus 2024 lalu.

Parahnya lagi, peristiwa memilukan ini terjadi saat jam pelajaran berlangsung. Di momen-momen tersebut, anak-anak seharusnya fokus belajar dan merasa aman di bawah bimbingan guru.

Ancaman Hukuman Berat Menanti Pelaku

Atas perbuatannya yang keji, terduga pelaku ANS dapat dijerat dengan tindak pidana pencabulan terhadap anak. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Ancaman pidana penjara yang menanti ANS tidak main-main, bisa mencapai 15 tahun. Selain itu, pelaku juga terancam denda maksimal hingga Rp5 miliar, sebuah hukuman yang diharapkan bisa memberikan efek jera.

Yang lebih bikin miris, hukuman tersebut dapat diperberat hingga sepertiga dari ancaman pokok. Pemberatan ini berlaku karena pelaku adalah seorang tenaga pendidik, yang seharusnya melindungi, dan melibatkan lebih dari satu anak sebagai korban.

Selain hukuman pokok, pelaku juga berpotensi dikenai sanksi tambahan yang cukup berat. Sanksi tersebut meliputi pengumuman identitas, rehabilitasi, dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

Semua sanksi tambahan ini diatur dalam Pasal 82 ayat (5) dan (6) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Langkah-langkah ini diambil untuk memberikan perlindungan maksimal bagi anak-anak dan memastikan pelaku tidak bisa lagi membahayakan.

Semoga para korban bisa segera pulih dari trauma mendalam ini, dan keadilan segera ditegakkan. Kasus ini menjadi peringatan keras bagi kita semua untuk lebih peduli dan proaktif dalam melindungi generasi penerus bangsa.

Penulis: Dyandra

Editor: Santika Reja

Terakhir disunting: Oktober 4, 2025

Promo Akad Nikah Makeup