Seedbacklink affiliate
Hukum  

MIRIS! Guru Olahraga Lecehkan 23 Murid SD di Labuhanbatu Selatan, Pelaku Masih Buron dan Bikin Geram!

Menteri PPPA memberikan keterangan pers terkait kasus kekerasan seksual di Labuhanbatu Selatan.
Menteri PPPA bersuara keras atas kasus dugaan pelecehan di Labuhanbatu Selatan.
banner 120x600

NEWS TANGERANG– Minggu, 31 Agustus 2025 – Sebuah kabar mengejutkan mengguncang dunia pendidikan di Indonesia. Sebanyak 23 murid Sekolah Dasar (SD) di Kabupaten Labuhanbatu Selatan, Sumatera Utara, diduga menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang guru olahraga mereka sendiri. Kasus yang sangat memilukan ini sontak menarik perhatian publik dan memicu kemarahan berbagai pihak, terutama dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).

Kejadian tragis ini bukan hanya sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap kepercayaan yang diberikan oleh orang tua dan masyarakat kepada institusi pendidikan. Guru, yang seharusnya menjadi pelindung dan pembimbing, justru diduga menjadi predator bagi anak-anak didiknya.

Menteri Arifah Fauzi Bersuara Keras

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Arifah Fauzi, tidak tinggal diam. Beliau secara tegas mengecam keras tindakan keji yang diduga dilakukan oleh oknum guru tersebut, menegaskan bahwa perbuatan semacam ini tidak bisa ditoleransi.

"KemenPPPA mengecam kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan oknum guru pada 23 orang murid sekolah dasar di Labuhanbatu Selatan," ujar Menteri Arifah Fauzi di Jakarta, Minggu. Pernyataan ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menanggapi isu perlindungan anak.

Desakan untuk Penegak Hukum

KemenPPPA juga tidak hanya berhenti pada kecaman. Pihaknya secara aktif mendorong aparat kepolisian untuk segera mengusut tuntas kasus ini tanpa pandang bulu dan dengan kecepatan penuh. Prioritas utama adalah menangkap terduga pelaku yang saat ini masih berstatus buron.

Keberadaan pelaku yang masih bebas tentu menimbulkan kekhawatiran besar di tengah masyarakat, terutama para orang tua yang kini merasa cemas akan keselamatan anak-anak mereka. Penangkapan segera adalah kunci untuk mengembalikan rasa aman dan keadilan.

UU TPKS: Senjata Melawan Kekerasan Seksual

Menteri Arifah Fauzi menekankan pentingnya penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dalam kasus ini. UU ini menjadi payung hukum yang kuat untuk melindungi korban dan memastikan pelaku tidak lolos dari jerat hukum.

"Kami minta pihak kepolisian dapat melaksanakan proses hukum secara tegas tanpa toleransi," tegas Arifah Fauzi. Beliau menambahkan bahwa kasus ini termasuk delik biasa, yang berarti proses hukum dapat berjalan tanpa harus menunggu aduan dari korban atau keluarga. Ini sangat krusial untuk kasus yang melibatkan anak-anak, yang seringkali sulit untuk bersuara.

Sekolah Bukan Lagi Tempat Aman?

Pernyataan Menteri Arifah Fauzi juga menyoroti ironi yang menyakitkan. Lingkungan sekolah, yang seharusnya menjadi benteng keamanan dan tempat tumbuh kembang anak, justru tercoreng oleh tindakan keji ini. Ini adalah pukulan telak bagi kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan.

"Kekerasan seksual di institusi pendidikan tidak bisa ditoleransi karena lingkungan sekolah dan guru seharusnya menjadi tempat aman bagi anak," tegas Menteri Arifatul Choiri Fauzi, menegaskan kembali prinsip dasar perlindungan anak yang harus dijunjung tinggi.

Kronologi Terungkapnya Kasus

Dugaan kasus kekerasan seksual ini mulai mencuat setelah lima orang tua murid memberanikan diri untuk melaporkan tindakan bejat pelaku. Mereka melaporkan ANS (31), seorang guru olahraga di salah satu SD Negeri di Kabupaten Labuhanbatu Selatan. Keberanian para orang tua ini patut diacungi jempol.

Mengingat betapa sulitnya mengungkap kasus kekerasan seksual yang seringkali dibayangi rasa takut, stigma, dan ancaman, laporan mereka menjadi titik terang untuk keadilan. Mereka telah membuka jalan bagi 23 korban lainnya untuk mendapatkan hak mereka.

Modus dan Durasi Kejahatan

Tindakan kekerasan seksual tersebut diduga telah berlangsung sejak Agustus 2024, artinya sudah hampir setahun lamanya. Ini menunjukkan pola kejahatan yang terstruktur, berulang, dan dilakukan dengan perencanaan.

Peristiwa tragis ini bahkan terjadi saat pelajaran berlangsung, memanfaatkan momen di mana para murid seharusnya merasa aman dan fokus belajar. Ini adalah pengkhianatan kepercayaan yang sangat mendalam, memanfaatkan posisi kekuasaan dan kerentanan anak-anak.

Ancaman Hukuman Berat Menanti Pelaku

Jika terbukti bersalah, terduga pelaku ANS akan menghadapi ancaman hukuman yang sangat berat. Hukum di Indonesia memiliki pasal-pasal khusus yang dirancang untuk melindungi anak-anak dari kejahatan semacam ini dengan serius.

Pelaku dapat dijerat dengan tindak pidana pencabulan terhadap anak, sebagaimana diatur dalam Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun dan denda hingga Rp5 miliar menanti.

Faktor Pemberat Hukuman

Namun, hukuman tersebut bisa menjadi jauh lebih berat. Karena pelaku adalah seorang tenaga pendidik, dan melibatkan lebih dari satu anak sebagai korban, ancaman pidana dapat diperberat hingga sepertiga dari hukuman pokok. Ini adalah konsekuensi dari penyalahgunaan wewenang dan kepercayaan.

Ini adalah penegasan bahwa profesi guru memiliki tanggung jawab moral dan etika yang tinggi. Pelanggaran terhadapnya akan diganjar dengan konsekuensi hukum yang lebih berat, sebagai bentuk perlindungan ekstra bagi anak-anak.

Sanksi Tambahan yang Mengikat

Selain hukuman pokok, pelaku juga dapat dikenai sanksi tambahan yang bertujuan untuk memberikan efek jera dan melindungi masyarakat dari potensi bahaya di masa depan. Sanksi ini diatur dalam Pasal 82 ayat (5) dan (6) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Sanksi tambahan tersebut meliputi pengumuman identitas pelaku, rehabilitasi, dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. Ini adalah langkah-langkah penting untuk memastikan pelaku tidak lagi membahayakan anak-anak di masa depan, serta memberikan peringatan kepada masyarakat.

Membangun Lingkungan Aman untuk Anak

Kasus di Labuhanbatu Selatan ini menjadi pengingat pahit bagi kita semua akan pentingnya perlindungan anak. Lingkungan pendidikan harus benar-benar menjadi zona aman, bebas dari segala bentuk kekerasan, baik fisik maupun seksual.

Peran aktif orang tua, sekolah, dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk menciptakan sistem pengawasan yang kuat. Jangan biarkan ada celah sedikit pun bagi predator anak untuk beraksi dan merusak masa depan generasi penerus bangsa.

Pentingnya Edukasi dan Pelaporan

Edukasi tentang kekerasan seksual perlu terus digalakkan, baik untuk anak-anak agar mereka tahu cara melindungi diri dan mengenali tanda-tanda bahaya, maupun untuk orang dewasa agar lebih peka terhadap tanda-tanda kekerasan pada anak-anak di sekitar mereka.

Jangan pernah ragu untuk melapor jika menemukan atau mencurigai adanya tindakan kekerasan seksual. Satu laporan bisa menyelamatkan banyak nyawa dan masa depan anak-anak yang tak bersalah. Keberanian melapor adalah langkah awal menuju keadilan.

Menanti Keadilan untuk Para Korban

Saat ini, seluruh mata tertuju pada aparat penegak hukum. Masyarakat menanti keadilan yang setimpal bagi para korban dan hukuman yang tegas bagi pelaku. Penangkapan dan pengadilan yang transparan adalah harapan semua pihak.

Semoga kasus ini segera terungkap tuntas, pelaku tertangkap, dan para korban mendapatkan pendampingan serta pemulihan yang layak agar dapat kembali meraih masa depan cerah mereka. Mereka berhak mendapatkan kembali rasa aman dan kepercayaan yang telah direnggut.

Penulis: Dyandra

Editor: Santika Reja

Terakhir disunting: September 26, 2025

Promo Akad Nikah Makeup