Seedbacklink affiliate
Hukum  

Terbongkar! Mahasiswi 21 Tahun Dituntut 12 Tahun Penjara dalam Kasus ‘Gelap’ Bareng Eks Kapolres Ngada

Suasana persidangan kasus TPPO dan kekerasan seksual di Pengadilan Negeri Kupang.
Sidang tuntutan mahasiswi dalam kasus TPPO dan kekerasan seksual, Kupang.
banner 120x600

NEWS TANGERANG– Kupang digegerkan dengan tuntutan pidana penjara 12 tahun yang dijatuhkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada Stefani Heidi Doko Rehi, seorang mahasiswi berusia 21 tahun. Ia terseret dalam pusaran kasus serius yang melibatkan mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar, terkait dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan kekerasan seksual terhadap anak. Kasus ini sontak menjadi sorotan publik, mengungkap sisi gelap yang tak terduga.

Pada persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Kupang pada Senin, 22 September 2025, tim JPU yang dipimpin oleh Putu Andy Sutadharma membacakan tuntutan yang memberatkan. Stefani, yang akrab disapa Fani, dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar sejumlah pasal krusial dalam hukum pidana Indonesia.

Jejak Kelam di Balik Kasus Mengerikan

Fani didakwa melanggar Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Anak juncto Pasal 65 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu, ia juga dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 17 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Tuntutan ini menunjukkan betapa seriusnya kejahatan yang dituduhkan kepadanya.

Tidak hanya pidana badan, Fani juga dituntut untuk membayar denda sebesar Rp2 miliar. Jika denda tersebut tidak mampu dibayarkan, maka ia harus menjalani kurungan pengganti selama satu tahun. Selain itu, biaya perkara sebesar Rp5.000 juga dibebankan kepadanya, menambah daftar sanksi yang harus ia hadapi.

Peran Kunci dalam Jaringan Terlarang

Dalam pusaran kasus ini, Fani diketahui memiliki peran yang cukup sentral. Ia dituding terlibat aktif dalam memasok anak di bawah umur kepada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmadja, mantan Kapolres Ngada. Keterlibatannya tidak hanya sebatas itu, Fani juga disebut-sebut bertugas mengantar korban anak tersebut ke hotel tempat AKBP Fajar menginap.

Barang bukti yang terkumpul dalam perkara Fani akan menjadi bagian penting dalam persidangan terdakwa lain, yaitu AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmadja. Hal ini menunjukkan bahwa kasus ini memiliki dimensi yang lebih luas, melibatkan beberapa pihak dengan peran yang berbeda namun saling terkait dalam kejahatan yang sama.

Dampak Mengerikan bagi Korban dan Masyarakat

JPU menegaskan bahwa perbuatan terdakwa telah menimbulkan trauma mendalam bagi korban anak yang baru berusia enam tahun. Usia yang sangat belia ini membuat dampak psikologis yang dialami korban menjadi jauh lebih parah dan mungkin akan membekas seumur hidup. Kejahatan semacam ini jelas meninggalkan luka yang sulit disembuhkan.

Lebih lanjut, kasus ini juga menimbulkan keresahan yang signifikan di tengah masyarakat. Kejahatan seksual terhadap anak dan TPPO adalah ancaman serius yang merusak tatanan sosial dan moral. Perbuatan Fani dianggap bertentangan secara frontal dengan program pemerintah yang gencar mengupayakan penciptaan lingkungan yang ramah dan aman bagi anak-anak.

Pesan Tegas dari Penegak Hukum

Meskipun tuntutan yang diajukan sangat berat, JPU juga mempertimbangkan beberapa hal yang meringankan. Salah satunya adalah usia terdakwa yang masih muda, yakni 21 tahun. Usia ini dianggap masih memberikan kesempatan bagi Fani untuk memperbaiki diri dan menata kembali kehidupannya di masa depan, setelah menjalani hukuman yang setimpal.

Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Timur (NTT), Zet Tadung Alo, secara terbuka menyatakan kepada awak media di Kupang bahwa kasus ini adalah bukti nyata keseriusan penegak hukum. Pihaknya berkomitmen penuh dalam memberantas kejahatan seksual terhadap anak dan TPPO. Tuntutan berat ini diharapkan dapat memberikan efek jera yang kuat bagi para pelaku kejahatan serupa.

Langkah Selanjutnya di Meja Hijau

Kasus ini masih akan terus bergulir di meja hijau. Sidang selanjutnya dijadwalkan pada Senin, 29 September 2025, dengan agenda pembacaan nota pembelaan atau pledoi dari penasihat hukum terdakwa. Ini adalah kesempatan bagi pihak Fani untuk menyampaikan argumen dan pembelaan mereka di hadapan majelis hakim, menanggapi tuntutan yang telah diajukan JPU.

Sebelumnya, mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar, juga telah menghadapi tuntutan yang jauh lebih berat, yakni 20 tahun penjara. Ia dituntut oleh JPU dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang sama. Tuntutan ini menunjukkan bahwa penegak hukum tidak pandang bulu dalam menindak tegas siapapun yang terlibat dalam kejahatan keji ini, bahkan jika itu adalah seorang pejabat tinggi.

Kasus Stefani Heidi Doko Rehi dan AKBP Fajar menjadi pengingat pahit bagi kita semua tentang bahaya kejahatan yang mengintai anak-anak. Ini juga menjadi penekanan akan pentingnya peran serta seluruh elemen masyarakat dalam melindungi generasi penerus bangsa dari segala bentuk eksploitasi dan kekerasan. Keadilan harus ditegakkan demi masa depan anak-anak Indonesia yang lebih aman dan cerah.

Penulis: Dyandra

Editor: Santika Reja

Terakhir disunting: September 24, 2025

Promo Akad Nikah Makeup