Seedbacklink affiliate
Hukum  

Terbongkar! Modus Keji Pimpinan Pesantren Aceh Utara Rudapaksa Santriwati 16 Tahun: Awalnya Dituduh Video Call, Berakhir Tragis di Kamar Tidur!

Polisi bersenjata mengawasi hukuman cambuk di Aceh, terkait Qanun Jinayat.
Ilustrasi: Hukuman cambuk di Aceh Utara. Kasus pesantren jadi sorotan.
banner 120x600

NEWS TANGERANGAceh Utara kembali digegerkan oleh sebuah kasus yang mencoreng nama baik institusi pendidikan agama. Seorang pimpinan dayah, atau pesantren, di wilayah tersebut telah ditangkap oleh Satuan Reserse Kriminal Polres Aceh Utara. Ia diduga kuat terlibat dalam kasus rudapaksa yang menimpa salah seorang santriwatinya yang masih berusia 16 tahun.

Peristiwa memilukan ini menjadi sorotan tajam, mengingatkan kita akan pentingnya pengawasan dan perlindungan di lingkungan pendidikan. Kasus ini bukan hanya tentang kejahatan seksual, tetapi juga tentang pengkhianatan kepercayaan yang mendalam dari seorang figur yang seharusnya menjadi pelindung dan pembimbing.

Awal Mula Terungkapnya Kisah Pilu

Menurut keterangan yang disampaikan oleh Kasat Reskrim Polres Aceh Utara, AKP Dr Boestani, pelaku diduga melakukan tindakan keji tersebut di rumahnya sendiri. Lokasi rumah pelaku berada persis di dalam kompleks dayah, tempat para santri menimba ilmu dan mencari ketenangan spiritual.

Laporan mengenai insiden tragis ini pertama kali diterima oleh pihak kepolisian pada tanggal 6 September 2025. Kakak korban yang memberanikan diri melapor, menjadi titik awal terkuaknya tabir kelam di balik dinding pesantren tersebut. Setelah melalui serangkaian penyelidikan dan pemeriksaan mendalam, aparat akhirnya menetapkan pimpinan pesantren itu sebagai tersangka.

Modus Keji di Balik Dinding Dayah

Aksi bejat tersebut, berdasarkan hasil penyelidikan, terjadi dalam dua kesempatan, yakni pada tanggal 19 dan 20 Agustus 2025. Korban dipanggil ke rumah tersangka pada dini hari, sebuah waktu yang seharusnya menjadi saat istirahat dan ketenangan. Alasan pemanggilan itu pun sangat manipulatif.

Tersangka menuduh korban telah melakukan panggilan video (video call) dengan seorang pria, sebuah pelanggaran yang kerap menjadi alasan untuk memberikan hukuman di lingkungan pesantren. Namun, bukan hukuman yang diterima korban, melainkan perbuatan cabul yang dipaksakan. Ironisnya, tindakan tersebut tidak berhenti di situ.

Pelaku melanjutkan aksinya yang lebih keji di kamar tidurnya. Momen tersebut dimanfaatkan sepenuhnya oleh tersangka, mengingat saat kejadian berlangsung, ia diketahui sendirian di rumahnya. Kondisi ini memberinya keleluasaan penuh untuk melancarkan perbuatan tercela tanpa ada saksi mata.

Ancaman dan Ketakutan yang Membisu

Setelah melakukan perbuatan tersebut, tersangka tidak hanya meninggalkan korban dengan trauma fisik dan psikis yang mendalam. Ia juga melontarkan ancaman serius kepada korban, memerintahkannya untuk tidak menceritakan kejadian pahit itu kepada siapa pun. Ancaman ini menciptakan dinding ketakutan yang membuat korban terpaksa membisu.

Beban berat harus ditanggung oleh santriwati muda itu sendirian, menyimpan rahasia kelam yang menggerogoti jiwanya. Rasa takut, malu, dan bingung bercampur aduk, membuatnya sulit untuk mencari pertolongan atau sekadar berbagi cerita dengan orang lain. Kepercayaan yang seharusnya ia miliki terhadap figur guru dan pemimpin dayah telah hancur berkeping-keping.

Keberanian yang Memecah Kesunyian

Titik balik terungkapnya kasus ini terjadi ketika seluruh santri diizinkan pulang ke rumah masing-masing pada tanggal 28 Agustus 2025. Jauh dari lingkungan dayah dan tekanan dari pelaku, korban akhirnya memberanikan diri. Ia memutuskan untuk mengisahkan pengalaman pahit yang dialaminya kepada keluarganya.

Kepada keluarganya, korban dengan susah payah menceritakan setiap detail kejadian yang menimpanya. Mendengar pengakuan pilu tersebut, pihak keluarga tentu saja terkejut dan marah. Mereka tidak tinggal diam dan segera mengambil langkah tegas untuk mencari keadilan bagi putri mereka.

Tanpa menunda waktu, pihak keluarga korban langsung melaporkan kasus ini ke Polres Aceh Utara. Keberanian korban untuk berbicara dan dukungan penuh dari keluarga menjadi kunci utama dalam upaya penegakan hukum ini. Laporan tersebut menjadi dasar bagi pihak kepolisian untuk memulai penyelidikan serius.

Respons Cepat Pihak Berwajib

Menindaklanjuti laporan yang masuk, Polres Aceh Utara melalui Satuan Reserse Kriminal segera bergerak cepat. Proses penyelidikan dilakukan secara intensif, mengumpulkan berbagai alat bukti dan keterangan dari saksi-saksi terkait. Setiap detail diperiksa dengan cermat untuk memastikan kebenaran dan kejelasan kasus.

Dari hasil penyelidikan dan pemeriksaan yang mendalam, aparat kepolisian akhirnya memiliki cukup bukti untuk menetapkan pimpinan pesantren tersebut sebagai tersangka. Penangkapan pun dilakukan, dan saat ini, tersangka sudah ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Polres Aceh Utara.

Pihak kepolisian masih terus melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap korban, pelaku, dan sejumlah saksi lainnya. Langkah ini bertujuan untuk memperkuat alat bukti dan memastikan bahwa seluruh aspek kasus dapat terungkap secara tuntas. Komitmen untuk memberikan keadilan bagi korban menjadi prioritas utama.

Jerat Hukum yang Menanti Pelaku

Atas perbuatannya yang keji, pimpinan pesantren itu kini dijerat dengan tindak pidana jarimah pemerkosaan serta pelecehan seksual terhadap anak. Dasar hukum yang digunakan adalah Pasal 50 Jo Pasal 47 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Ini menunjukkan bahwa Aceh memiliki regulasi khusus yang mengatur kejahatan semacam ini.

Qanun Jinayat merupakan hukum pidana Islam yang berlaku di Provinsi Aceh, memberikan ancaman hukuman yang tidak ringan bagi pelaku kejahatan seksual. Ancaman hukuman yang menanti pelaku sangat berat, yakni uqubat cambuk hingga 200 kali. Selain itu, pelaku juga bisa dijatuhi hukuman penjara paling lama 200 bulan, yang setara dengan 16 tahun 8 bulan.

Hukuman ini mencerminkan keseriusan pemerintah Aceh dalam melindungi anak-anak dari kejahatan seksual dan memberikan efek jera bagi para pelaku. Diharapkan, proses hukum yang berjalan akan memberikan keadilan seadil-adilnya bagi korban dan keluarganya, serta menjadi peringatan bagi siapa pun yang berniat melakukan perbuatan serupa.

Pentingnya Perlindungan dan Kesadaran

Kasus ini menjadi pengingat pahit bagi kita semua akan pentingnya perlindungan anak, terutama di lingkungan yang seharusnya aman dan mendidik. Institusi pendidikan, termasuk pesantren, memiliki tanggung jawab besar untuk menciptakan lingkungan yang bebas dari kekerasan dan pelecehan. Kepercayaan masyarakat yang begitu besar harus dijaga dengan integritas dan moralitas yang tinggi.

Masyarakat juga memiliki peran krusial dalam menciptakan sistem pengawasan yang efektif. Penting untuk selalu peka terhadap perubahan perilaku anak, mendengarkan cerita mereka, dan memberikan ruang aman bagi mereka untuk berbicara tanpa rasa takut. Jangan pernah meremehkan keluhan atau indikasi adanya pelecehan, sekecil apa pun itu.

Dukungan psikologis bagi korban pelecehan seksual adalah hal yang mutlak diperlukan. Trauma yang dialami korban bisa sangat mendalam dan membutuhkan waktu serta bantuan profesional untuk pulih. Kita harus memastikan bahwa korban tidak hanya mendapatkan keadilan hukum, tetapi juga pemulihan mental dan emosional.

Kasus pimpinan dayah di Aceh Utara ini harus menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Perlindungan anak adalah tanggung jawab bersama, dan tidak ada toleransi bagi pelaku kejahatan seksual, apalagi mereka yang menyalahgunakan posisi dan kepercayaan. Semoga keadilan segera ditegakkan dan kasus serupa tidak terulang kembali di masa mendatang.

Penulis: Dyandra

Editor: Santika Reja

Terakhir disunting: September 24, 2025

Promo Akad Nikah Makeup