NEWS TANGERANG– Aceh Utara sedang diguncang kabar yang mengiris hati dan membuat banyak pihak geram. Seorang pimpinan dayah atau pesantren di wilayah tersebut baru saja diciduk oleh Satuan Reserse Kriminal Polres Aceh Utara. Ia diduga kuat terlibat dalam kasus rudapaksa terhadap salah satu santriwatinya yang masih berusia 16 tahun, sebuah tindakan yang mencoreng kepercayaan dan nilai-nilai luhur pendidikan agama.
Penangkapan ini menjadi sorotan tajam, mengingat posisi pelaku sebagai figur yang seharusnya menjadi panutan dan pelindung. Kasus ini bukan hanya sekadar tindak pidana, melainkan juga pengkhianatan terhadap amanah dan kehancuran masa depan seorang anak.
Awal Mula Terungkapnya Kisah Pilu
Kasus ini mulai terkuak setelah pihak kepolisian menerima laporan pada tanggal 6 September 2025. Laporan tersebut disampaikan oleh kakak korban, yang dengan keberaniannya berusaha mencari keadilan untuk adiknya. Informasi ini menjadi titik awal penyelidikan yang mendalam.
Dari hasil penyelidikan dan pemeriksaan yang intensif, aparat kepolisian akhirnya menetapkan pimpinan pesantren tersebut sebagai tersangka. Ini menunjukkan keseriusan pihak berwajib dalam menindaklanakuti laporan sensitif seperti ini, demi memastikan keadilan bagi korban.
Modus Bejat di Balik Dinding Dayah
Menurut keterangan dari Kasat Reskrim Polres Aceh Utara, AKP Dr Boestani, aksi bejat ini diduga terjadi sebanyak dua kali, yaitu pada tanggal 19 dan 20 Agustus 2025. Lokasi kejadiannya pun sangat miris, yakni di rumah tersangka yang berada di dalam kompleks dayah, tempat yang seharusnya menjadi zona aman bagi para santri.
Korban dipanggil ke rumah tersangka pada dini hari, dengan dalih yang cukup licik. Ia dituduh melakukan panggilan video dengan seorang pria, sebuah pelanggaran aturan yang mungkin umum di lingkungan pesantren. Namun, alih-alih mendapatkan teguran atau hukuman yang sesuai, korban justru dipaksa melakukan perbuatan cabul yang tak termaafkan.
Tragisnya, perbuatan keji itu tidak berhenti di situ. Pelaku diduga melanjutkan aksinya di kamar tidur, memanfaatkan situasi dan kekuasaan yang dimilikinya. Ini adalah penyalahgunaan wewenang yang sangat keji dan tak bisa ditolerir.
Setelah melancarkan aksinya, tersangka bahkan mengancam korban agar tidak menceritakan kejadian tersebut kepada siapa pun. Ancaman ini tentu saja menambah beban psikologis dan ketakutan yang mendalam bagi korban yang masih belia. Tersangka diketahui sendirian di rumahnya saat peristiwa itu terjadi, sehingga ia merasa leluasa melakukan perbuatan bejatnya tanpa ada saksi mata.
Keberanian Korban Membuka Suara
Perkara ini baru benar-benar terungkap ketika seluruh santri diizinkan pulang ke rumah masing-masing pada tanggal 28 Agustus 2025. Momen kepulangan ini menjadi kesempatan bagi korban untuk akhirnya memberanikan diri. Setelah menanggung beban berat sendirian, ia akhirnya mengisahkan pengalaman pahitnya kepada keluarganya.
Mendengar cerita pilu dari sang adik, pihak keluarga tentu saja terkejut dan sangat terpukul. Mereka tidak bisa menerima perlakuan keji yang menimpa anggota keluarga mereka. Tanpa ragu, keluarga korban langsung melaporkan kasus ini ke Polres Aceh Utara, berharap keadilan bisa ditegakkan.
Keputusan korban untuk berbicara adalah langkah yang sangat berani dan patut diapresiasi. Dalam situasi traumatis seperti ini, seringkali korban merasa takut, malu, atau terancam, sehingga sulit untuk mengungkapkan apa yang telah terjadi. Keberaniannya ini menjadi kunci terungkapnya kejahatan dan langkah awal menuju pemulihan.
Tindakan Tegas dari Kepolisian
Saat ini, tersangka sudah diamankan dan ditahan di Rutan Polres Aceh Utara. Proses hukum terus berjalan, dan pihak kepolisian masih gencar melakukan pemeriksaan terhadap korban, pelaku, serta sejumlah saksi. Pengumpulan alat bukti yang kuat menjadi prioritas untuk memperkuat kasus ini di mata hukum.
Penyelidikan yang cermat dan komprehensif sangat penting dalam kasus-kasus sensitif seperti ini. Polisi harus memastikan setiap detail terungkap, agar tidak ada celah bagi pelaku untuk lolos dari jeratan hukum. Ini juga demi memberikan rasa aman dan kepercayaan kepada masyarakat bahwa kejahatan tidak akan dibiarkan begitu saja.
Ancaman Hukuman Berat Menanti
Atas perbuatannya yang keji, pimpinan pesantren itu dijerat dengan tindak pidana jarimah pemerkosaan serta pelecehan seksual terhadap anak. Dasar hukum yang digunakan adalah Pasal 50 Jo Pasal 47 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, yang berlaku di Provinsi Aceh.
Ancaman hukuman yang menanti pelaku tidaklah ringan. Ia bisa dikenai uqubat cambuk hingga 200 kali, sebuah hukuman yang sangat berat dan menimbulkan efek jera. Alternatif lain adalah hukuman penjara paling lama 200 bulan, yang setara dengan 16 tahun 8 bulan. Ini menunjukkan betapa seriusnya pelanggaran yang telah dilakukan oleh tersangka.
Hukuman ini diharapkan dapat memberikan keadilan bagi korban dan menjadi peringatan keras bagi siapa pun yang berani melakukan tindakan serupa. Kasus ini juga menegaskan bahwa tidak ada seorang pun yang kebal hukum, terlepas dari posisi atau status sosialnya.
Pentingnya Lingkungan Aman untuk Anak dan Remaja
Kasus tragis ini sekali lagi mengingatkan kita semua betapa krusialnya menciptakan lingkungan yang aman dan terlindungi bagi anak-anak serta remaja, terutama di institusi pendidikan. Pesantren, sekolah, atau lembaga pendidikan lainnya harus benar-benar menjadi tempat di mana siswa merasa aman, dihormati, dan terbebas dari segala bentuk ancaman.
Orang tua juga memiliki peran yang sangat vital. Komunikasi yang terbuka dan rutin dengan anak-anak menjadi kunci untuk mendeteksi dini jika ada hal-hal yang tidak beres. Anak-anak harus merasa nyaman untuk bercerita tentang apa pun yang mereka alami, tanpa rasa takut atau malu.
Masyarakat secara luas juga perlu lebih peka dan berani untuk melapor jika menemukan indikasi pelecehan atau kekerasan. Jangan pernah ragu atau takut untuk bersuara, karena setiap laporan bisa menyelamatkan nyawa atau masa depan seseorang. Pemerintah dan lembaga terkait juga harus terus memperkuat pengawasan dan sistem perlindungan anak, agar kasus serupa tidak terulang kembali.
Semoga kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Dan yang terpenting, semoga korban bisa mendapatkan pendampingan psikologis yang memadai dan pulih dari trauma yang mendalam. Keadilan harus ditegakkan, dan masa depan generasi muda harus dilindungi.
Penulis: Dyandra
Editor: Santika Reja
Terakhir disunting: September 17, 2025