NEWS TANGERANG– Dunia maya kembali dihebohkan dengan kisah seorang penjual durian di Thailand yang merespons protes pelanggannya dengan cara yang sangat tidak etis. Para pembeli yang merasa kecewa dengan kualitas durian yang mereka dapatkan justru malah dihina dan direndahkan oleh si penjual. Insiden ini sontak memicu kemarahan publik dan seruan boikot di media sosial.
Awal Mula Kekesalan: Janji Manis Durian Diskon
Semua bermula ketika sebuah lapak durian di Thailand gencar melakukan promosi besar-besaran. Mereka menawarkan harga durian yang jauh lebih murah dari pasaran, sebuah tawaran yang tentu saja sangat menggiurkan bagi para pencinta "raja buah" ini. Banyak orang tergiur dan berbondong-bondong membeli, berharap mendapatkan durian berkualitas dengan harga miring.
Promosi ini dilakukan secara aktif melalui siaran langsung di berbagai platform media sosial, menarik perhatian ribuan calon pembeli. Penjual dengan semangat memamerkan durian-duriannya, menciptakan ekspektasi tinggi di benak konsumen yang ingin mencicipi manisnya durian tanpa harus merogoh kocek terlalu dalam.
Gelombang Protes Netizen: Kualitas Durian yang Mengecewakan
Namun, harapan para pembeli ternyata jauh panggang dari api. Setelah durian sampai di tangan mereka, banyak yang menemukan bahwa kualitasnya sangat jauh dari ekspektasi. Keluhan mulai bermunculan, mulai dari durian yang busuk, hambar, dagingnya tipis, hingga kondisi buah yang sudah tidak layak konsumsi.
Siaran langsung yang awalnya menjadi sarana promosi, kini berubah menjadi medan perang komentar. Kolom komentar dibanjiri protes dan keluhan dari netizen yang merasa tertipu. Mereka menyuarakan kekecewaan atas durian yang dibeli, berharap mendapatkan penjelasan atau bahkan ganti rugi dari pihak penjual.
Respons Penjual yang Bikin Ngelus Dada: “Kalau Mau Bagus, Beli yang Mahal!”
Alih-alih menanggapi keluhan dengan profesionalisme, respons dari penjual durian tersebut justru sangat mengejutkan dan bikin geleng-geleng kepala. Dalam siaran langsungnya, ia terang-terangan menyatakan tidak akan melayani aduan pelanggan yang protes soal kualitas durian buruk. Sikapnya yang arogan membuat banyak orang terkejut.
"Saya nggak akan melayani, karena memang tidak perlu," ujarnya dengan nada dingin. "Kalau mau buah yang bagus, beli aja yang harganya mahal." Pernyataan ini sontak memicu gelombang kemarahan baru. Konsumen merasa hak mereka sebagai pembeli diabaikan begitu saja, seolah-olah protes mereka tidak ada artinya.
Puncak Kemarahan: Hinaan “Miskin” yang Menyakitkan Hati
Kemarahan netizen mencapai puncaknya ketika penjual durian itu melontarkan hinaan yang sangat menyakitkan. Ia menegaskan kepada pelanggannya untuk tidak berharap tinggi jika membeli durian dengan harga murah. Lebih parahnya lagi, ia sampai hati menghina pelanggannya dengan menyebut mereka "miskin" karena tidak mampu membeli durian berkualitas tinggi.
"Jangan berharap banyak kalau beli yang murah. Kalian miskin makanya beli yang murah," kira-kira begitulah intinya, sebuah pernyataan yang sangat merendahkan martabat pembeli. Hinaan ini bukan hanya sekadar respons buruk, melainkan serangan personal yang melukai perasaan banyak orang.
Lokasi dan Promosi yang Berbalik Arah
Dalam sesi siaran langsung yang penuh kontroversi itu, penjual durian juga mempromosikan lapaknya yang berlokasi di daerah Surin, Bangkok. Niatnya untuk menarik lebih banyak pengunjung ke lapak fisik justru berbalik 180 derajat. Alih-alih mendapatkan pelanggan baru, ia malah menuai badai kritik dan kemarahan.
Promosi yang seharusnya menjadi alat untuk membangun citra positif, kini menjadi bumerang. Insiden ini menunjukkan bagaimana kekuatan media sosial bisa dengan cepat mengubah narasi, dari promosi menjadi platform untuk meluapkan kekecewaan dan kemarahan publik.
Reaksi Publik dan Seruan Boikot: Kekuatan Netizen yang Tak Terbendung
Sikap tidak beretika dan hinaan yang dilontarkan penjual durian tersebut memicu reaksi keras dari seluruh penjuru internet. Banyak netizen yang meluapkan rasa kekecewaannya, tidak hanya terhadap kualitas durian, tetapi juga terhadap pelayanan dan etika bisnis penjual. Mereka merasa sangat kesal dan tidak terima dengan perlakuan tersebut.
Saking kesalnya, banyak netizen yang menyerukan untuk membuat gerakan boikot lapak durian tersebut. Seruan boikot ini bertujuan untuk memberi pelajaran kepada penjualnya agar lebih menghargai pelanggan dan memiliki etika dalam berbisnis. Kekuatan kolektif netizen yang bersatu untuk menolak praktik bisnis semacam ini menunjukkan betapa besar pengaruh opini publik di era digital.
Pelajaran Berharga dari Insiden Durian Ini
Insiden penjual durian di Thailand ini menjadi pengingat penting bagi semua pelaku usaha, terutama yang bergerak di ranah daring. Pertama, kualitas produk adalah kunci, bahkan untuk barang diskon sekalipun. Konsumen berhak mendapatkan kualitas yang layak sesuai dengan harga yang mereka bayar, meskipun itu harga promosi.
Kedua, pelayanan pelanggan yang baik adalah segalanya. Menanggapi keluhan dengan empati dan profesionalisme adalah cara terbaik untuk membangun kepercayaan. Menghina atau merendahkan pelanggan, apalagi di platform publik, adalah resep instan menuju kehancuran reputasi bisnis.
Ketiga, kekuatan media sosial tidak bisa diremehkan. Reputasi bisnis bisa dibangun dalam semalam, namun juga bisa hancur dalam hitungan jam karena satu kesalahan fatal. Opini publik yang terbentuk di media sosial memiliki daya ungkit yang sangat besar, mampu memengaruhi keputusan pembelian jutaan orang.
Terakhir, insiden ini juga menyoroti pentingnya etika berbisnis. Setiap pengusaha, besar maupun kecil, memiliki tanggung jawab untuk memperlakukan pelanggan dengan hormat dan jujur. Kejadian ini menjadi cermin bahwa integritas dan rasa hormat adalah modal utama yang tak ternilai dalam menjalankan usaha di era modern.
Kisah penjual durian ini berakhir dengan pelajaran pahit. Alih-alih untung besar dari diskon, ia justru harus menghadapi badai kemarahan netizen dan ancaman boikot yang bisa menghancurkan bisnisnya. Ini adalah bukti nyata bahwa di era digital, suara konsumen adalah raja, dan tidak ada tempat bagi kesombongan dalam dunia bisnis.
Penulis: Tammy
Editor: Santika Reja
Terakhir disunting: September 17, 2025