Menteri Agama Buka Halaqah Internasional: ‘Iqra’ Bukan Cuma Baca, Tapi Kunci Revolusi Jaga Bumi! Ngerinya!

Dini Susilowati

Pria berkacamata dan berbaju batik gelap duduk serius dengan tangan terkatup.
Pria berkemeja batik dan berkacamata duduk serius di sebuah ruangan. Gambar ini mengilustrasikan suasana formal dan profesional.

NEWS TNG – Menteri Agama RI, Prof Nasaruddin Umar, baru-baru ini bikin gebrakan di Pesantren As’adiyah Pusat Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Dalam sebuah Halaqah Internasional yang resmi dibukanya pada Kamis (2/10/2025) malam, Menag mengajak semua pihak untuk melihat makna "iqra’" dari sudut pandang yang lebih luas dan relevan dengan tantangan zaman.

Acara bergengsi ini mengangkat tema yang cukup dalam: "Transformasi Sosio-Ekologis dan Solusi Epistemologis Berbasis Turats." Kedengarannya mungkin berat, tapi intinya adalah bagaimana kita bisa mengubah masyarakat dan lingkungan, serta mencari solusi pengetahuan, dengan berpegang pada warisan intelektual Islam.

Bukan Sekadar Baca Huruf: Makna ‘Iqra’ yang Bikin Melek

Dalam pidatonya yang inspiratif, Menag Nasaruddin Umar mengurai makna perintah "iqra’" dalam Alquran yang seringkali kita pahami sebatas "membaca" teks. Padahal, menurutnya, "iqra’" itu jauh lebih dari sekadar melafalkan huruf atau kata. Ini adalah aktivitas menghimpun, menghubungkan, dan memahami pengetahuan secara menyeluruh.

Ada tiga lapis "iqra’" yang ditekankan oleh Menag. Pertama, membaca alam semesta dengan segala keajaiban dan hukum-hukumnya. Kedua, membaca ayat-ayat dalam diri manusia itu sendiri, memahami potensi dan kelemahan kita. Dan yang ketiga, tentu saja, membaca Alquran sebagai petunjuk hidup.

"Gak cuma baca tulisan di buku, tapi juga baca ‘buku’ alam dan ‘buku’ diri kita sendiri," tegas Menag, seolah ingin menyadarkan bahwa ilmu itu tersebar di mana-mana, bukan hanya di lembaran kertas. Ini adalah ajakan untuk berpikir kritis dan observatif, seperti yang sering kita lihat di Kumparan.com.

Manusia: Makrokosmos Sejati dan Pesantren Anti-Tekstualis

Menag Nasaruddin Umar juga menjelaskan bahwa manusia adalah himpunan ciptaan yang paling sempurna. Saking sempurnanya, para sufi besar seperti Ibnu Arabi sampai menyebut manusia sebagai makrokosmos sejati, alam semesta kecil yang merefleksikan alam semesta besar.

Karena itu, Menag menekankan, pesantren tidak boleh berhenti pada bacaan tekstual semata. Pesantren harus bisa melampaui batas-batas teks dan menggali makna yang lebih dalam, menghubungkannya dengan realitas kehidupan dan tantangan global.

Pendekatan ini penting agar pesantren tidak dicap ketinggalan zaman. Justru, pesantren diharapkan menjadi garda terdepan dalam melahirkan pemikir-pemikir yang mampu beradaptasi dan memberikan solusi konkret untuk masalah-masalah modern.

Lapisan-Lapisan ‘Iqra’: Dari Teks Sampai Haqaiq yang Bikin Gak Habis Pikir

Lebih jauh, Menag Nasaruddin menyinggung empat lapisan "iqra’" yang menunjukkan kedalaman pemahaman terhadap Alquran. Ada Alquran itu sendiri sebagai teks, lalu isyarat Alquran yang tersirat, lathaif Alquran yang merupakan kelembutan makna, dan puncaknya adalah haqaiq Alquran, yaitu kebenaran-kebenaran hakiki yang mendalam.

"Jangan kita hanya bangga hafal atau menafsirkan Alquran," katanya, mengingatkan. "Masih ada langit di atas langit, yakni haqaiq Alquran." Ini seperti level game yang lebih tinggi, di mana kita diajak untuk tidak hanya memahami permukaan, tapi juga menyelami inti terdalam dari wahyu Ilahi.

Mendengar ini, rasanya bikin "Gak Habis Pikir" betapa luasnya lautan ilmu dalam Islam. Ini bukan cuma soal menghafal, tapi juga soal merenung dan menemukan kebenaran sejati yang bisa mengubah cara pandang kita terhadap dunia.

Ekoteologi: Teologi Baru untuk Bumi yang Lebih Baik

Yang paling menarik, Menag mengaitkan semua konsep "iqra’" ini dengan tema halaqah, khususnya dalam bingkai ekoteologi. Apa itu ekoteologi? Sederhananya, ini adalah cara pandang keagamaan yang berfokus pada hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam semesta, dengan penekanan pada tanggung jawab kita terhadap lingkungan.

"Mustahil kita mengubah perilaku tanpa mengubah cara berpikir, dan mustahil mengubah cara berpikir tanpa meninjau ulang teologi," ujarnya. Ini adalah pesan yang sangat kuat. Artinya, kalau kita mau bumi ini lestari, kita harus mulai dari mengubah cara kita memahami agama dan peran kita di dalamnya.

Konsep ini mengajak kita untuk tidak hanya peduli pada ibadah ritual, tapi juga pada "ibadah" menjaga lingkungan. Lingkungan yang rusak bukan hanya masalah teknis, tapi juga masalah teologis. "Ngerinya" kalau kita tidak segera sadar dan bertindak.

Pesantren Garda Terdepan: Mengkaji Turats dengan Kacamata Kekinian

Menag juga menekankan peran krusial pesantren dalam mengkaji "turats" atau warisan intelektual Islam klasik. Namun, kajian ini tidak boleh dilakukan secara kaku. Pesantren harus menggunakan pendekatan multidisipliner, mulai dari semantik (ilmu makna bahasa) hingga antropologi (ilmu tentang manusia dan budayanya).

Dengan pendekatan yang kaya ini, pesantren diharapkan mampu melahirkan solusi keilmuan dan peradaban yang relevan. Bukan cuma melahirkan ulama, tapi juga ilmuwan, aktivis lingkungan, dan pemimpin yang punya akar kuat dalam tradisi Islam namun tetap berpikiran maju.

Ini adalah tantangan sekaligus peluang bagi para santri dan generasi muda. Pesantren bisa menjadi inkubator ide-ide cemerlang untuk masa depan, asalkan mereka mau membuka diri dan mengkaji ilmu dengan perspektif yang lebih luas.

"Alquran itu bukan sekadar informasi, tapi konfirmasi," pungkas Menag. Membaca Alquran berarti membaca alam, membaca diri, lalu mengkonfirmasikan semuanya dengan wahyu. Inilah tradisi ilmiah pesantren yang harus terus dikembangkan dan diwariskan kepada generasi selanjutnya.

Melihat visi Menag Nasaruddin Umar ini, rasanya "Mantap Bos!" Pesantren bukan lagi sekadar tempat belajar agama, tapi juga pusat peradaban yang siap menghadapi tantangan zaman dengan bekal ilmu dan iman yang kokoh. Sebuah revolusi pemikiran yang patut kita dukung.

Penulis: Dini Susilowati

Editor: Santika Reja

Terakhir disunting: Oktober 3, 2025

Komentar Pembaca

pos terkait