NEWS TANGERANG– Pada Selasa malam (30/9), Perumahan Binong Permai di Kabupaten Tangerang, Banten, kembali dilanda banjir setinggi 60 sentimeter. Genangan air ini merendam ratusan rumah dan secara langsung berdampak pada sedikitnya 210 keluarga, mengubah pemukiman menjadi lautan air dalam sekejap. Ini bukan kali pertama, melainkan drama tahunan yang sudah berlangsung selama 19 tahun.
Hidup di Tengah Genangan: Kisah Pilu Warga Binong Permai
Pemandangan di lokasi begitu memilukan. Warga terlihat sibuk berjibaku menyelamatkan barang-barang berharga, mengangkat perabotan ke tempat yang lebih tinggi, dan mengungsikan kendaraan mereka dari ancaman air. Ada pula yang bergotong-royong, bahu-membahu membagikan makanan dan sembako, menunjukkan solidaritas di tengah kesulitan.
Banjir bukan hanya sekadar genangan air; ia adalah mimpi buruk yang merenggut ketenangan. Aktivitas sehari-hari terhenti, anak-anak tidak bisa sekolah, dan orang dewasa kesulitan bekerja. Kerugian materiil tak terhitung, belum lagi dampak psikologis yang membuat warga merasa lelah dan putus asa.
Akar Masalah yang Tak Kunjung Selesai: Sejak 2006!
Rani (39), salah seorang warga yang sudah bermukim di sana selama 19 tahun, mengungkapkan kekesalannya. "Ini udah dari 2006 banjirnya, enggak ada solusinya sampai sekarang," ujarnya dengan nada lelah. Ia menjelaskan, penyebab utama adalah aliran anak Kali Sabi yang tidak mampu menampung debit air, diperparah dengan maraknya pembangunan perumahan baru yang mengikis area resapan.
Senada dengan Rani, Roni (61) juga mengeluhkan hal yang sama. Baginya, permasalahan saluran air yang tidak memadai menjadi biang kerok utama. "Dari dulu kalau banjir, jadinya saya enggak berani beli prabotan yang dari kayu," tuturnya, menggambarkan bagaimana banjir telah memengaruhi pilihan hidup dan pengeluaran rumah tangganya selama bertahun-tahun.
Janji dan Harapan yang Terus Diulang: Apa Kata Pemerintah?
Camat Curug, Arif Rahman, mengakui bahwa banjir yang merendam 210 rumah warga ini disebabkan oleh curah hujan yang deras dan minimnya area resapan air. "Artinya ada pembangunan kawasan perumahan baru sementara saluran air utamanya masih tetap sama," jelas Arif, menyoroti ketidakseimbangan antara pembangunan dan infrastruktur penunjang. Ini adalah dilema klasik di banyak daerah urban.
Ia menambahkan, pihaknya akan segera mengambil langkah jangka pendek berupa normalisasi anak Kali Sabi. Normalisasi ini diharapkan dapat memperlancar aliran air dan mengurangi risiko banjir. Namun, warga bertanya-tanya, apakah ini akan menjadi solusi permanen atau hanya tambal sulam belaka, mengingat masalah ini sudah berlangsung hampir dua dekade.
Normalisasi Kali Sabi: Solusi Jangka Pendek atau Harapan Baru?
Normalisasi Kali Sabi, menurut Arif, akan dilakukan di titik-titik yang menjadi penyebab terhambatnya saluran air. Ini bisa berarti pengerukan sedimen, pelebaran, atau perbaikan tanggul. Langkah ini memang penting, tetapi efektivitasnya sangat bergantung pada seberapa komprehensif pelaksanaannya dan apakah ada upaya berkelanjutan setelahnya.
Selain itu, Camat Arif juga berjanji akan melaporkan permasalahan ini kepada Bupati. Ia menekankan pentingnya kolaborasi antar stakeholder, terutama BBWS (Balai Besar Wilayah Sungai) yang bertanggung jawab atas pengelolaan sungai, dan Jasamarga yang memiliki saluran di jalan tol. Koordinasi lintas instansi seringkali menjadi kunci, namun juga tantangan terbesar dalam menyelesaikan masalah kompleks seperti banjir.
Menanti Solusi Permanen: Bisakah Binong Permai Bebas Banjir?
Warga Binong Permai sangat berharap pemerintah daerah dapat memberikan solusi yang konkret dan berkelanjutan. Mereka tidak ingin lagi hidup dalam ketakutan setiap kali hujan deras mengguyur. Solusi yang mereka inginkan bukan sekadar janji, melainkan tindakan nyata yang bisa mengakhiri penderitaan tahunan ini.
Mengatasi banjir di Binong Permai membutuhkan pendekatan holistik. Tidak cukup hanya dengan normalisasi sungai, tetapi juga perlu penataan tata ruang yang lebih baik, pengelolaan sampah yang efektif agar tidak menyumbat saluran air, serta penambahan area resapan air. Kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat menjadi krusial untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan nyaman bagi semua.
Kisah Binong Permai adalah cerminan dari banyak daerah lain yang menghadapi masalah serupa. Ini adalah panggilan bagi semua pihak untuk lebih serius dalam merencanakan pembangunan yang berkelanjutan dan tanggap terhadap perubahan iklim. Semoga 19 tahun derita ini tidak bertambah panjang, dan warga Binong Permai bisa segera merasakan hidup bebas dari ancaman banjir.
Penulis: Arya N
Editor: Santika Reja
Terakhir disunting: Oktober 1, 2025