NEWS TANGERANG– Kabupaten Yalimo, Papua Pegunungan, mendadak heboh pada Jumat (3/10) lalu. Sebuah acara bakar batu yang seharusnya menjadi simbol perdamaian dan rekonsiliasi antarwarga justru berakhir ricuh, memicu kekacauan yang tak terduga. Insiden ini bahkan melukai dua pejabat penting daerah: Bupati Yalimo Nahor Nekwek dan Wakapolres Yalimo Kompol Elias Endang, yang menjadi korban lemparan batu massa.
Awal Mula Kericuhan: Upaya Damai yang Berujung Petaka
Peristiwa nahas ini bermula dari niat baik pemerintah daerah Kabupaten Yalimo. Mereka berencana menggelar kegiatan bakar batu, sebuah tradisi adat yang sakral, untuk mendamaikan kelompok warga yang sebelumnya sempat terlibat konflik sosial. Harapannya, melalui ritual ini, ketegangan bisa mereda dan kebersamaan kembali terjalin di tengah masyarakat.
Namun, harapan itu sirna. Alih-alih damai, suasana justru memanas dan berujung pada kericuhan besar. Kabid Humas Polda Papua, Kombes Cahyo Sukarnito, menjelaskan bahwa upaya perdamaian ini malah berujung pada insiden yang tidak diinginkan, menciptakan ketegangan baru di Yalimo.
Detik-detik Insiden: Dari Kios Terbakar hingga Lemparan Batu
Sebelum acara bakar batu dimulai, tanda-tanda ketegangan sudah muncul. Sekitar pukul 11.40 WIT, sebuah kios di Kampung Soba, depan Puskesmas Elelim, hangus terbakar. Aparat yang melakukan pengecekan menemukan bangunan tersebut sudah rata dengan tanah, beruntung pemilik kios sedang tidak berada di lokasi.
Pembakaran kios ini bukan tanpa sebab. Menurut Kombes Cahyo, insiden tersebut dipicu oleh kekecewaan mendalam dari sekelompok masyarakat. Mereka merasa tidak dilibatkan dalam acara bakar batu, khususnya empat distrik penting seperti Apalapsili, Welarek, Benawa, dan Abenaho, yang merasa diabaikan oleh panitia penyelenggara.
Kekecewaan ini kemudian memuncak menjadi aksi protes massa. Sekitar pukul 13.15 WIT, ratusan warga yang merasa tidak adil datang berbondong-bondong ke halaman kantor Bupati Yalimo, lokasi acara bakar batu. Suasana semakin tegang saat Wakil Gubernur Papua Pegunungan Ones Pahabol dan beberapa anggota DPRD Papua Pegunungan tiba di lokasi.
Protes keras dari masyarakat yang tidak setuju dengan jalannya acara pun tak terhindarkan. Situasi memburuk dengan cepat, dan massa mulai melancarkan lemparan batu ke arah podium. Kekacauan pun pecah, mengubah acara damai menjadi medan kericuhan yang mencekam.
Dampak dan Korban: Pejabat Terluka, Fasilitas Rusak
Lemparan batu yang bertubi-tubi itu menimbulkan korban dan kerusakan. Wakapolres Yalimo, Kompol Elias Endang, mengalami luka di kepala akibat hantaman batu. Sementara itu, Bupati Yalimo, Dr. Nahor Nekwek, juga menderita memar di pelipis, menunjukkan betapa dahsyatnya insiden tersebut.
Tidak hanya pejabat, fasilitas umum pun tak luput dari amukan massa. Kaca kantor Bupati Yalimo pecah berserakan, dan dua mobil dinas juga mengalami kerusakan parah. Pemandangan ini menjadi saksi bisu betapa parahnya kericuhan yang terjadi di jantung pemerintahan Yalimo.
Reaksi dan Penanganan: Aparat Bergerak Cepat
Melihat situasi yang semakin tidak terkendali dan membahayakan, aparat keamanan segera bertindak. Wakil Gubernur Papua Pegunungan dievakuasi melalui jalur darat menuju Wamena untuk memastikan keselamatannya. Sementara itu, Bupati Yalimo dan sejumlah pejabat Pemkab Yalimo diamankan ke Polres Yalimo.
Kapolres Yalimo, Kompol Joni Samonsabra, menegaskan bahwa pasca-insiden, pihaknya bersama Brimob langsung bergerak cepat. Mereka mengamankan titik-titik rawan, melakukan penyekatan, dan mengevakuasi para pejabat daerah. Langkah ini diambil untuk mencegah jatuhnya korban lebih banyak dan mengembalikan ketertiban.
Mengapa "Bakar Batu" Penting? Memahami Konteks Budaya
Tradisi bakar batu, atau yang dikenal juga dengan nama barapen, adalah salah satu ritual adat yang sangat dihormati di Papua. Lebih dari sekadar memasak makanan dengan batu panas, bakar batu adalah simbol kebersamaan, syukur, dan yang terpenting, perdamaian. Ritual ini sering digunakan untuk merayakan momen penting, menyambut tamu, atau sebagai sarana rekonsiliasi setelah konflik.
Ironisnya, acara yang seharusnya menjadi jembatan perdamaian di Yalimo justru menjadi pemicu kericuhan. Ini menunjukkan betapa kompleksnya dinamika sosial dan politik di daerah tersebut, di mana niat baik pun bisa salah tafsir dan memicu gejolak jika tidak dikelola dengan hati-hati dan melibatkan semua pihak.
Tensi di Balik Kericuhan: Suara Warga yang Terpinggirkan
Kekecewaan empat distrik yang merasa tidak dilibatkan dalam acara bakar batu ini bukanlah sekadar masalah teknis penyelenggaraan. Ini mencerminkan adanya tensi yang lebih dalam, perasaan terpinggirkan, atau ketidakadilan yang mungkin sudah lama terpendam di tengah masyarakat. Dalam konteks sosial Papua, keterlibatan dan representasi setiap kelompok adat atau distrik sangatlah krusial.
Ketika sebuah acara yang bersifat komunal dan simbolis seperti bakar batu tidak melibatkan semua elemen masyarakat, hal itu bisa dianggap sebagai bentuk pengabaian atau diskriminasi. Perasaan ini, jika terus menumpuk, dapat dengan mudah meledak menjadi kemarahan massa, terutama di tengah kondisi sosial yang rentan.
Situasi Terkini: Kondusif Namun Tetap Waspada
Setelah insiden yang mengejutkan itu, Kapolres Yalimo Kompol Joni Samonsabra memastikan bahwa situasi di Kabupaten Yalimo berangsur kondusif. Namun, aparat keamanan tidak lengah. Sejumlah titik rawan masih dijaga ketat oleh petugas gabungan untuk mengantisipasi kemungkinan kericuhan susulan.
Pemerintah daerah dan aparat keamanan kini dihadapkan pada tugas berat untuk memulihkan kepercayaan masyarakat dan mencari solusi jangka panjang. Penting untuk mendengarkan aspirasi semua pihak, termasuk mereka yang merasa terpinggirkan, agar perdamaian sejati bisa terwujud di Yalimo. Insiden ini menjadi pengingat pentingnya komunikasi yang inklusif dan keadilan dalam setiap upaya pembangunan dan rekonsiliasi.
Penulis: Arya N
Editor: Santika Reja
Terakhir disunting: Oktober 4, 2025