NEWS TANGERANG– Dunia politik Indonesia kembali dihebohkan dengan drama internal Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Setelah Muktamar ke-10 yang digelar di Ancol, Jakarta, publik dibuat bingung dengan munculnya dua nama yang sama-sama mengklaim sebagai Ketua Umum PPP periode 2025-2030. Situasi ini tentu saja memicu pertanyaan besar: sebenarnya siapa yang sah memimpin partai berlambang Ka’bah ini?
Muktamar ke-10: Awal Mula Drama Kepemimpinan
Muktamar ke-10 PPP seharusnya menjadi ajang konsolidasi dan penentuan arah partai untuk lima tahun ke depan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Acara penting ini malah melahirkan dualisme kepemimpinan yang berpotensi memecah belah partai. Konflik internal ini bukan kali pertama bagi PPP, namun kali ini terjadi di momen krusial menjelang Pemilu 2024 dan persiapan Pilkada serentak.
Kabar mengenai dua Ketua Umum ini sontak menjadi perbincangan hangat di kalangan pengamat politik dan masyarakat. Bagaimana bisa sebuah partai besar seperti PPP memiliki dua pucuk pimpinan dari satu Muktamar yang sama? Ini adalah pertanyaan yang perlu dijawab tuntas agar tidak menimbulkan kekacauan lebih lanjut.
Kubur Rommy: Agus Suparmanto Sah Sesuai Konstitusi Partai?
Salah satu pihak yang menegaskan hasil Muktamar adalah Muhammad Romahurmuziy, atau akrab disapa Rommy. Mantan Ketua Majelis Pertimbangan PPP sekaligus anggota Tim Formatur ini dengan lugas menyatakan bahwa Agus Suparmanto, mantan Menteri Perdagangan, telah terpilih secara sah sebagai Ketua Umum PPP periode 2025-2030. Rommy menjelaskan bahwa pemilihan Agus Suparmanto telah sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai.
Menurut Rommy, Agus Suparmanto memenuhi semua persyaratan yang diatur dalam AD/ART. Ini termasuk kepemilikan Kartu Tanda Anggota (KTA) dan pengalaman menjabat di bidang eksekutif, legislatif, atau yudikatif pada tingkat pusat. Poin-poin ini menjadi dasar kuat bagi kubu Rommy untuk mengklaim legitimasi kepemimpinan Agus Suparmanto.
Dukungan terhadap Agus Suparmanto juga datang dari Silaturahmi Nasional (Silatnas) Ulama’il Ka’bah yang digelar di Pondok Pesantren Khas Kempek Cirebon. Para ulama yang berkumpul pada 8 September 2025 (asumsi 2024, red.) tersebut, menurut Rommy, memberikan restu dan konsistensi terhadap pemilihan ini. Kehadiran Ketua Mahkamah Partai Persatuan Pembangunan, Irfan Pulungan, juga menjadi saksi dan penegas bahwa proses ini adalah konstitusional.
Rommy menegaskan bahwa seluruh ketua majelis, pimpinan, kiai, dan pejabat partai di tingkat pusat yang hadir di Ancol menjadi saksi atas proses yang sah ini. Tim Formatur yang terdiri dari Agus Suparmanto dan 12 orang perwakilan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) serta Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PPP seluruh Indonesia akan mulai bekerja menyusun kepengurusan baru dalam 30 hari ke depan.
Kubur Mardiono: Aklamasi Demi "Situasi Darurat"
Di sisi lain, muncul nama Mardiono yang juga mengklaim diri sebagai Ketua Umum PPP periode 2025-2030. Mardiono, yang sebelumnya menjabat sebagai Plt. Ketua Umum PPP, menyatakan terpilih secara aklamasi dalam Muktamar ke-10 yang sama, pada Sabtu (27/9) malam. Klaim ini tentu saja menambah kerumitan dan kebingungan di tubuh partai.
Mardiono menjelaskan bahwa keputusan aklamasi diambil untuk "menyelamatkan jalannya Muktamar" yang dinilai sudah berada dalam situasi darurat. Situasi darurat ini, menurutnya, memerlukan langkah cepat dan tegas untuk menjaga stabilitas partai. Ia mengklaim bahwa sekitar 80 persen dari total peserta Muktamar menyatakan setuju untuk mengambil langkah aklamasi dalam pemilihan ketua umum.
Argumen Mardiono berpusat pada urgensi dan dukungan mayoritas peserta Muktamar. Dalam kondisi darurat, aklamasi dianggap sebagai jalan keluar tercepat untuk menghindari kekosongan kepemimpinan atau perpecahan yang lebih parah. Ini menunjukkan adanya perbedaan pandangan yang fundamental mengenai bagaimana sebuah keputusan krusial harus diambil dalam partai.
Dua Ketum, Satu Partai: Apa Kata AD/ART?
Munculnya dua Ketua Umum dari satu Muktamar yang sama jelas merupakan anomali. Pertanyaan besar yang muncul adalah, bagaimana Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PPP menyikapi situasi seperti ini? Apakah ada celah dalam aturan partai yang memungkinkan terjadinya dualisme? Atau, apakah salah satu pihak telah melanggar prosedur yang ditetapkan?
AD/ART partai politik adalah konstitusi internal yang mengatur segala aspek, mulai dari struktur organisasi, mekanisme pemilihan, hingga penyelesaian sengketa. Jika kedua belah pihak sama-sama mengklaim sesuai AD/ART, maka ini menunjukkan adanya interpretasi yang berbeda atau bahkan potensi pelanggaran. Mahkamah Partai, sebagai lembaga yudikatif internal, seharusnya menjadi penentu utama dalam menyelesaikan sengketa semacam ini.
Kehadiran Ketua Mahkamah Partai Irfan Pulungan di kubu Rommy mengindikasikan bahwa kubu Agus Suparmanto merasa memiliki landasan hukum internal yang kuat. Namun, klaim aklamasi dari kubu Mardiono juga tidak bisa diabaikan begitu saja, terutama jika didukung oleh mayoritas peserta. Konflik interpretasi AD/ART ini bisa menjadi medan pertempuran hukum yang panjang di internal partai.
Dampak dan Masa Depan PPP: Menuju Perpecahan atau Rekonsiliasi?
Dualisme kepemimpinan ini tentu saja membawa dampak serius bagi masa depan PPP. Sebagai partai Islam tertua di Indonesia, PPP memiliki sejarah panjang dan basis massa yang loyal. Namun, konflik internal yang berulang kali terjadi dapat mengikis kepercayaan publik dan melemahkan posisi partai di kancah politik nasional.
Dalam jangka pendek, dualisme ini akan menghambat konsolidasi partai dan persiapan menghadapi Pemilu 2024 serta Pilkada serentak. Fokus partai akan terpecah pada penyelesaian konflik internal, bukan pada strategi pemenangan. Ini bisa berujung pada penurunan perolehan suara dan hilangnya kursi di parlemen.
Dalam jangka panjang, jika tidak segera diselesaikan, dualisme ini bisa berujung pada perpecahan partai. Sejarah politik Indonesia mencatat banyak partai yang pecah akibat konflik internal yang tidak terselesaikan. Rekonsiliasi menjadi kunci utama untuk menyelamatkan PPP dari jurang perpecahan. Mediasi, dialog, atau putusan Mahkamah Partai yang tegas dan diterima semua pihak adalah jalan yang harus ditempuh.
Analisis: Mengapa Konflik Internal Ini Penting?
Konflik internal di PPP bukan sekadar urusan internal partai. Ini adalah cerminan dinamika politik yang kerap terjadi di Indonesia, di mana perebutan kekuasaan dan interpretasi aturan partai seringkali menjadi pemicu utama. Bagi anak muda yang tertarik dengan politik, kasus PPP ini adalah studi kasus menarik tentang bagaimana sebuah partai besar menghadapi tantangan kepemimpinan.
Penting untuk memahami bahwa stabilitas internal partai politik sangat krusial bagi demokrasi. Partai yang solid dan bersatu akan lebih efektif dalam menyuarakan aspirasi rakyat dan menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintah. Sebaliknya, partai yang terpecah belah akan kehilangan relevansi dan daya tawar politiknya.
Masyarakat, khususnya pemilih muda, perlu mencermati bagaimana konflik ini diselesaikan. Apakah akan ada solusi yang adil dan transparan? Atau justru akan berakhir dengan perpecahan yang merugikan semua pihak? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan arah PPP ke depan, dan juga memberikan pelajaran berharga bagi partai-partai politik lainnya di Indonesia.
Penulis: Arya N
Editor: Santika Reja
Terakhir disunting: September 28, 2025