NEWS TANGERANG– Sidoarjo digegerkan dengan sebuah tragedi memilukan yang terjadi di Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran. Sebuah musala di asrama putra ambruk secara tiba-tiba pada Senin (29/9) sore, saat ratusan santri sedang khusyuk menunaikan salat Asar berjemaah. Insiden mengerikan ini sontak mengubah suasana damai pesantren menjadi kepanikan dan duka mendalam.
Jumlah korban akibat ambruknya bangunan musala tersebut terus bertambah, mencapai angka yang mengkhawatirkan. Total 87 orang dilaporkan menjadi korban, dengan berbagai tingkat luka dan cedera yang membutuhkan penanganan medis serius. Peristiwa ini menjadi pengingat pahit akan pentingnya keselamatan bangunan, terutama di tempat ibadah dan pendidikan.
Detik-detik Mencekam di Tengah Salat Asar
Muhammad Rijalul Qoib (13), seorang santri asal Sampang, Madura, menjadi saksi mata langsung dari kejadian nahas ini. Ia menceritakan momen-momen mengerikan saat musala itu ambruk di tengah salat Asar berjemaah. Kala itu, ratusan santri sedang beribadah, tak menyadari bahaya besar yang mengintai di atas kepala mereka.
Sekitar pukul 15.00 WIB, suasana hening ibadah tiba-tiba pecah oleh suara aneh. Rijalul mendengar suara retakan yang berasal dari arah atas bangunan musala. Suara itu mulanya pelan, namun perlahan semakin keras dan intens, menciptakan firasat buruk di benak para santri.
"Dengar suara seperti material jatuh retak-retak tambah lama tambah keras akhirnya jatuh [ambruk]," kenang Rijalul dengan nada bergetar. Dalam hitungan detik, langit-langit musala yang terbuat dari material bangunan itu runtuh menimpa jemaah di bawahnya. Kepanikan tak terhindarkan, jeritan dan tangisan bercampur aduk dengan suara reruntuhan.
Korban Berjatuhan: Angka Fantastis dan Kondisi Miris
Data terbaru menunjukkan bahwa total 87 korban telah dievakuasi dan mendapatkan penanganan medis. Mereka tersebar di beberapa rumah sakit di Sidoarjo, menunjukkan skala tragedi yang cukup besar. RSUD R.T. Notopuro Sidoarjo, RS Delta Surya, dan RS Islam Siti Hajar menjadi tujuan utama para korban.
Direktur Utama RSUD R.T. Notopuro Sidoarjo, dr. Atok Irawan, merinci kondisi para korban yang dirawat di rumah sakitnya. Sebanyak 38 korban luka dirawat di RSUD R.T. Notopuro, sementara empat lainnya di RS Delta Surya. Sisanya, 45 korban dilarikan ke RS Islam Siti Hajar, di mana satu di antaranya dilaporkan meninggal dunia.
Kondisi luka para santri bervariasi, mulai dari yang ringan hingga sangat parah. Di RSUD R.T. Notopuro, 27 pasien menjalani rawat jalan, sementara lima lainnya harus opname. Dua pasien bahkan harus menjalani operasi, dan satu lainnya dalam observasi karena cedera otak ringan yang serius.
Beberapa korban mengalami patah tulang, dan dua di antaranya sudah diizinkan pulang setelah mendapatkan penanganan awal. Namun, ada satu kasus yang sangat memilukan: seorang pasien baru masuk harus menjalani amputasi lengan kiri. Lengan korban hancur tertimpa reruntuhan bangunan, memaksa tim medis mengambil keputusan sulit demi menyelamatkan nyawanya.
Musala “Setengah Jadi” yang Sudah Difungsikan?
Fakta mengejutkan terungkap di balik tragedi ini. Menurut kesaksian Rijalul, musala yang ambruk itu ternyata masih dalam proses pembangunan. Bangunan tersebut rencananya akan memiliki tiga lantai, namun belum sepenuhnya rampung. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai standar keselamatan.
Meskipun masih dalam tahap konstruksi, musala ini sudah difungsikan untuk berbagai kegiatan santri. Setiap hari, para santri menggunakannya untuk salat berjemaah, mengaji, dan kegiatan keagamaan lainnya. Keputusan untuk menggunakan bangunan yang belum selesai ini patut dipertanyakan, mengingat risiko yang sangat tinggi.
Tragedi ini menyoroti celah dalam pengawasan dan penerapan standar keamanan bangunan. Bagaimana mungkin sebuah struktur yang belum sepenuhnya kokoh dan bersertifikat layak pakai sudah digunakan untuk menampung ratusan orang? Insiden ini menjadi pelajaran berharga yang harus diusut tuntas agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.
Jeritan dan Upaya Penyelamatan di Bawah Reruntuhan
Pasca-ambruknya musala, suasana di Pondok Pesantren Al Khoziny berubah menjadi medan evakuasi yang dramatis. Santri-santri yang selamat, pengurus pesantren, warga sekitar, hingga aparat kepolisian dan tim SAR segera bahu-membahu melakukan pencarian. Mereka berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan korban yang tertimbun di bawah puing-puing bangunan.
Suara jeritan dan tangisan pilu terdengar di antara reruntuhan, menandakan masih ada korban yang terjebak. Proses pencarian difokuskan pada titik-titik di mana korban diperkirakan tertimbun. Dengan peralatan seadanya, dan kemudian dibantu alat berat, tim penyelamat bekerja keras menyingkirkan material bangunan yang berat.
Kabid Humas Polda Jatim, Jules Abraham Abast, sebelumnya telah mengonfirmasi adanya satu korban meninggal dunia. Kabar ini menambah duka mendalam bagi seluruh komunitas pesantren dan keluarga korban. Upaya penyelamatan terus dilakukan dengan hati-hati, memastikan tidak ada lagi korban yang tertinggal di bawah tumpukan material.
Trauma Mendalam bagi Santri dan Keluarga
Tragedi musala ambruk ini tidak hanya meninggalkan luka fisik, tetapi juga trauma psikologis yang mendalam bagi para santri. Muhammad Rijalul Qoib, meski selamat, tentu akan membawa kenangan mengerikan itu sepanjang hidupnya. Bagaimana tidak, ia menyaksikan sendiri bangunan yang menjadi tempat ibadahnya runtuh di depan mata.
Bagi santri-santri yang terluka, proses pemulihan akan membutuhkan waktu dan dukungan yang besar. Mereka tidak hanya harus menyembuhkan luka fisik, tetapi juga mengatasi ketakutan dan kecemasan pasca-kejadian. Keluarga korban juga merasakan duka yang tak terhingga, terutama bagi mereka yang kehilangan orang terkasih.
Dampak emosional ini akan terasa dalam jangka panjang, tidak hanya bagi para korban langsung, tetapi juga seluruh komunitas pesantren. Penting bagi pihak terkait untuk memberikan dukungan psikologis dan konseling bagi mereka yang membutuhkan, membantu mereka bangkit dari keterpurukan ini.
Investigasi dan Harapan untuk Masa Depan
Melihat skala dan penyebab tragedi ini, investigasi menyeluruh mutlak diperlukan. Pihak berwenang harus mengusut tuntas mengapa bangunan yang masih dalam proses pembangunan sudah difungsikan, dan apakah ada kelalaian dalam proses konstruksi atau pengawasan. Hasil investigasi ini diharapkan dapat memberikan kejelasan dan pertanggungjawaban.
Tragedi di Pondok Pesantren Al Khoziny ini harus menjadi momentum untuk mengevaluasi standar keselamatan bangunan, khususnya di fasilitas umum dan pendidikan. Setiap pembangunan, terutama yang melibatkan banyak orang, harus memprioritaskan keamanan di atas segalanya. Sertifikasi kelayakan bangunan dan inspeksi rutin adalah hal yang tidak bisa ditawar.
Kita semua berharap agar para korban dapat segera pulih, baik fisik maupun mental. Solidaritas dan dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan untuk membantu pesantren dan para santri melewati masa sulit ini. Semoga kejadian ini menjadi pelajaran berharga agar tragedi serupa tidak terulang di masa depan, dan setiap bangunan dapat berdiri kokoh, aman, dan nyaman bagi penggunanya.
Penulis: Arya N
Editor: Santika Reja
Terakhir disunting: September 30, 2025