NEWS TANGERANG– Geger! Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja membongkar praktik "palak" yang bikin geleng-geleng kepala di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). Seorang mantan Staf Ahli Menteri, Haryanto, diduga kuat meminta mobil mewah dari agen tenaga kerja asing (TKA). Bukan sekadar uang tunai, tapi langsung minta kendaraan roda empat!
Mobil Toyota Innova baru yang diminta Haryanto kini sudah disita KPK sebagai barang bukti. Ini hanyalah puncak gunung es dari skandal yang lebih besar, yang melibatkan pemerasan hingga puluhan miliar rupiah. Kasus ini menunjukkan betapa beraninya oknum-oknum di birokrasi dalam menyalahgunakan wewenang.
Modus Operandi: Mobil Gratis dari Agen TKA
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan bahwa Haryanto terang-terangan meminta dibelikan satu unit kendaraan roda empat. Permintaan itu diajukan kepada salah satu agen TKA di sebuah dealer ternama di Jakarta, menunjukkan betapa gamblangnya praktik ini dilakukan.
Haryanto sendiri bukan satu-satunya pelaku yang terseret. Ia adalah bagian dari delapan tersangka yang terlibat dalam kasus pemerasan terkait pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kemenaker. Sebuah jaringan yang terstruktur rapi untuk mengeruk keuntungan pribadi.
Aset Disita, Kerugian Negara Diincar
Mobil Toyota Innova yang diminta Haryanto sudah dibeli oleh agen TKA tersebut. Kini, kendaraan itu sudah diamankan dan disita oleh KPK sebagai bagian dari proses penyelidikan yang mendalam. Ini menjadi bukti konkret dari tindak pidana yang terjadi.
Budi Prasetyo menegaskan bahwa penyitaan aset ini krusial untuk pembuktian di pengadilan. Lebih dari itu, langkah ini juga menjadi upaya awal untuk "asset recovery" atau pemulihan kerugian keuangan negara yang ditimbulkan. Tujuannya jelas, mengembalikan apa yang seharusnya menjadi milik rakyat.
KPK sangat serius dalam upaya pemulihan aset ini. Setiap aset yang diduga terkait atau berasal dari tindak pidana korupsi akan diburu dan disita. Ini adalah pesan tegas bahwa korupsi tidak hanya berujung pada hukuman penjara, tetapi juga kehilangan harta hasil kejahatan.
Jaringan Pemerasan Rp53,7 Miliar: Siapa Saja yang Terlibat?
Kasus ini mulai terkuak pada 5 Juni 2025, ketika KPK mengumumkan delapan nama tersangka. Mereka semua adalah aparatur sipil negara (ASN) di Kemenaker yang diduga terlibat dalam pemerasan RPTKA. Sebuah tim yang solid dalam praktik lancung ini.
Daftar nama-nama yang terseret adalah Suhartono, Haryanto (si peminta Innova), Wisnu Pramono, Devi Anggraeni, Gatot Widiartono, Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad. Mereka semua adalah individu yang seharusnya melayani masyarakat, namun justru memanfaatkan posisi untuk memperkaya diri.
Angka yang fantastis! Dari tahun 2019 hingga 2024, para tersangka ini diduga berhasil mengumpulkan sekitar Rp53,7 miliar. Bayangkan, uang sebanyak itu bisa digunakan untuk apa saja bagi pembangunan dan kesejahteraan rakyat, namun malah masuk ke kantong-kantong pribadi. Ini adalah kerugian besar bagi negara dan kepercayaan publik.
RPTKA: Gerbang Masuk TKA yang Jadi "ATM Berjalan"
Mungkin banyak yang bertanya, apa itu RPTKA? Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) adalah dokumen wajib. Ini adalah "tiket masuk" bagi TKA agar bisa bekerja secara legal di Indonesia. Tanpa RPTKA, TKA tidak bisa mendapatkan izin kerja dan izin tinggal yang sah.
Nah, di sinilah celah dimanfaatkan para oknum. Jika RPTKA tidak diterbitkan oleh Kemenaker, izin kerja dan izin tinggal TKA akan otomatis terhambat. Konsekuensinya, TKA bisa didenda Rp1 juta per hari! Sebuah angka yang sangat memberatkan dan membuat mereka terpojok.
Tekanan denda yang besar ini membuat pemohon RPTKA tidak punya pilihan lain. Mereka terpaksa "menyuap" atau memberikan uang kepada para tersangka agar prosesnya lancar. Ini adalah modus pemerasan klasik yang memanfaatkan birokrasi dan ketidakberdayaan pemohon. Sistem ini menciptakan "ATM berjalan" bagi para koruptor.
Jejak Skandal dari Era Menteri ke Menteri
Yang lebih mengejutkan lagi, KPK menduga praktik pemerasan RPTKA ini bukan hal baru. Jejaknya sudah ada sejak lama, melintasi beberapa periode kepemimpinan Menteri Ketenagakerjaan. Ini menunjukkan adanya sistem yang korup yang terus berjalan dan sulit diberantas.
Praktik ini diduga dimulai dari era Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin yang menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada periode 2009-2014. Kemudian, berlanjut di masa Hanif Dhakiri (2014-2019), hingga era Ida Fauziyah (2019-2024). Fakta ini menimbulkan pertanyaan besar tentang pengawasan internal dan integritas di Kemenaker selama bertahun-tahun.
Ini bukan kasus tunggal yang berdiri sendiri, melainkan cerminan dari sebuah sistem yang rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Adanya praktik yang terus-menerus terjadi di bawah kepemimpinan yang berbeda mengindikasikan bahwa masalah ini sudah mengakar dan membutuhkan reformasi struktural yang serius.
Para Tersangka Kini Mendekam di Balik Jeruji
Setelah serangkaian penyelidikan dan pengumpulan bukti yang kuat, KPK akhirnya menahan kedelapan tersangka. Penahanan dilakukan dalam dua gelombang, menunjukkan keseriusan KPK dalam menangani kasus ini.
Kloter pertama empat tersangka ditahan pada 17 Juli 2025. Kemudian, kloter kedua menyusul pada 24 Juli 2025. Mereka kini harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka di mata hukum dan menghadapi konsekuensi dari tindakan korupsi yang mereka lakukan.
Kasus ini menjadi pengingat keras bagi kita semua. Praktik korupsi dan pemerasan masih mengakar di berbagai lini birokrasi, merugikan negara dan menghambat pembangunan. Semoga pengungkapan kasus ini bisa menjadi momentum untuk membersihkan Kemenaker dari oknum-oknum yang mencari keuntungan pribadi di atas penderitaan orang lain. Ini juga menjadi harapan agar tata kelola pemerintahan menjadi lebih transparan dan akuntabel.
Penulis: Arya N
Editor: Santika Reja
Terakhir disunting: September 29, 2025