Seedbacklink affiliate

Kupang Bergejolak! Tarif Lapak Nelayan Meroket 300%, Warga ‘Ngamuk’ Geruduk Kantor Gubernur NTT!

Pengemudi ojek online berjaket hijau berorasi di tengah keramaian, di samping bendera Merah Putih.
Pengemudi ojek online menyuarakan aspirasi saat aksi unjuk rasa, menuntut perhatian terhadap kesejahteraan mereka. Bendera Merah Putih turut berkibar.
banner 120x600

NEWS TANGERANGKupang, kota pesisir yang biasanya tenang, mendadak memanas pada Kamis (2/10) kemarin. Ratusan nelayan dan pedagang ikan tumpah ruah di depan Kantor Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), menyuarakan kemarahan mereka. Bukan tanpa alasan, gelombang protes ini dipicu oleh kebijakan baru yang dianggap mencekik: Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 33 Tahun 2025.

Pergub tersebut mengatur penyesuaian tarif retribusi daerah, dan yang paling disorot adalah kenaikan biaya sewa lapak jualan di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Oeba. Angkanya bikin kaget, bahkan mungkin bikin geleng-geleng kepala: melonjak hingga 300 persen! Dari yang semula Rp25 ribu per meter persegi per tahun, kini membengkak jadi Rp75 ribu.

Pergub 33/2025: Mimpi Buruk Para Nelayan

Kenaikan tarif retribusi ini bukan sekadar angka di atas kertas bagi para nelayan dan pedagang ikan. Ini adalah pukulan telak yang mengancam keberlangsungan hidup mereka. Bayangkan, biaya sewa lapak yang tadinya sudah terasa pas, kini melambung tiga kali lipat. Ini jelas memberatkan, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil.

Pergub Nomor 33 Tahun 2025 ini secara spesifik menargetkan berbagai jenis retribusi daerah, namun fokus utama kemarahan massa adalah pada sektor perikanan. Mereka merasa kebijakan ini disusun tanpa mempertimbangkan kondisi riil di lapangan, seolah-olah pemerintah lupa bahwa di balik setiap lapak ada keluarga yang bergantung.

Jeritan Hati di TPI Oeba: Beban Ganda yang Mencekik

TPI Oeba adalah jantung ekonomi bagi banyak nelayan di Kupang. Di sinilah mereka mendaratkan hasil tangkapan, bertemu pembeli, dan mengais rezeki. Kenaikan tarif sewa lapak sebesar 300 persen ini jelas bukan hal sepele. Bagi Hegru, salah seorang nelayan yang ikut berunjuk rasa, ini adalah beban yang tak tertanggungkan.

"Itu sangat memberatkan kita sebagai nelayan maupun penjual," keluhnya kepada awak media. Hegru menambahkan, dampak kenaikan ini tidak hanya akan dirasakan oleh para pedagang, tetapi juga oleh masyarakat luas. Harga ikan di pasaran otomatis akan ikut naik, membebani kantong konsumen yang juga sedang berjuang.

Pungli dan Transparansi yang Dipertanyakan

Masalah retribusi ternyata tidak berhenti pada tarif tahunan saja. Hegru juga mengungkap adanya pungutan harian sebesar Rp5.000 dan bulanan Rp10.000 yang rutin ditarik dari setiap pedagang di pasar Oeba. Ini adalah biaya tambahan yang harus mereka tanggung di luar retribusi sewa lapak.

"Kalau begitu kita pertanyakan uang-uang itu kemana saja," ujarnya dengan nada frustrasi. Pertanyaan ini bukan hanya soal besaran uang, tetapi juga tentang transparansi dan akuntabilitas. Para nelayan merasa sudah membayar banyak, namun tidak melihat adanya perbaikan signifikan atau fasilitas yang memadai sebagai imbalannya.

Aksi Massa yang Membara: Suara Rakyat di Depan Kantor Gubernur

Kamis siang, suasana di depan Kantor Gubernur NTT berubah drastis. Ratusan nelayan dengan semangat membara berkumpul, membawa spanduk dan poster berisi tuntutan. Mereka mendesak untuk bertemu langsung dengan Gubernur Emanuel Melkiades Laka Lena, berharap suara mereka didengar dan keluhan mereka ditanggapi serius.

Namun, harapan mereka sempat terhadang. Puluhan aparat kepolisian sudah berjaga ketat di gerbang masuk, membentuk barikade yang tak mudah ditembus. Meski demikian, semangat para nelayan tak surut. Orator dari atas mobil komando terus menyuarakan tuntutan, menggemakan yel-yel "Batalkan Pergub 33!" dan "Copot Kadis Perikanan Provinsi NTT!".

Tuntutan Tegas: Batalkan Pergub, Stop Pungli!

Poster-poster yang dibawa massa aksi bukan hanya sekadar hiasan. Setiap tulisan adalah representasi dari kemarahan dan kekecewaan yang mendalam. "Batalkan Pergub 33", "Copot Kadis Perikanan Provinsi NTT", hingga "Stop pungli di pasar Oeba/pasar Naikoten" menjadi pesan utama yang ingin mereka sampaikan.

"Batalkan sekarang juga Pergub 33, pemerintah jangan peras masyarakatnya sendiri," teriak orator dengan lantang, disambut sorakan setuju dari massa. Ini bukan hanya tentang tarif sewa, tapi juga tentang keadilan dan keberpihakan pemerintah terhadap rakyat kecil. Mereka merasa diperas, diabaikan, dan tidak lagi dianggap sebagai prioritas.

Dampak Domino: Bukan Hanya Nelayan, Tapi Kita Semua

Kenaikan tarif retribusi ini memiliki efek domino yang luas. Jika biaya operasional nelayan membengkak, otomatis harga jual ikan di pasar akan ikut naik. Ini berarti, masyarakat Kupang dan sekitarnya harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli kebutuhan protein harian mereka.

Bukan hanya itu, semangat para nelayan untuk melaut pun bisa menurun. Jika hasil tangkapan mereka tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan, termasuk retribusi yang tinggi, maka bukan tidak mungkin pasokan ikan segar di pasar akan berkurang. Ini akan berdampak pada ketahanan pangan lokal dan juga mata pencarian banyak pihak yang terkait dengan rantai distribusi ikan.

Pertemuan Perwakilan: Secercah Harapan di Tengah Ketidakpastian

Setelah beberapa jam berunjuk rasa di bawah terik matahari Kupang, akhirnya ada sedikit titik terang. Sebanyak 15 perwakilan dari nelayan dan pedagang diizinkan masuk untuk bertemu dengan perwakilan Pemerintah Provinsi NTT. Pertemuan ini menjadi harapan terakhir bagi mereka untuk menyampaikan aspirasi secara langsung dan mencari solusi.

Meskipun belum ada hasil konkret yang diumumkan hingga berita ini diturunkan, pertemuan ini setidaknya membuka ruang dialog. Para nelayan berharap pemerintah provinsi dapat mendengarkan keluhan mereka dengan hati nurani, mempertimbangkan kembali Pergub Nomor 33 Tahun 2025, dan mencari jalan tengah yang tidak memberatkan rakyat kecil.

Melihat ke Depan: Keadilan untuk Nelayan Kupang

Kasus kenaikan retribusi di TPI Oeba ini menjadi cerminan dari tantangan yang dihadapi banyak komunitas kecil di Indonesia. Kebijakan pemerintah, sekecil apapun, bisa memiliki dampak besar pada kehidupan masyarakat. Penting bagi setiap regulasi untuk disusun dengan melibatkan partisipasi publik dan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi secara menyeluruh.

Para nelayan Kupang berharap, suara mereka tidak hanya berhenti di gerbang kantor gubernur. Mereka menantikan keadilan, kebijakan yang berpihak, dan masa depan yang lebih cerah bagi profesi yang telah mereka geluti turun-temurun. Apakah Pergub 33/2025 akan dibatalkan atau direvisi? Kita tunggu saja kelanjutan dari drama tarif lapak yang mengguncang Kupang ini.

Penulis: Arya N

Editor: Santika Reja

Terakhir disunting: Oktober 3, 2025

Promo Akad Nikah Makeup