NEWS TANGERANG– Presiden ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri, baru-baru ini meluapkan kekesalannya. Sosok politikus senior ini geram bukan main karena dituduh telah menjual Pulau Sipadan dan Ligitan oleh para ‘buzzer’ di media sosial. Tuduhan yang terus berulang ini dianggapnya sebagai fitnah keji dan tidak berdasar, memicu reaksi keras dari Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tersebut.
Megawati ‘Semprot’ Buzzer di UGM
Momen kemarahan Megawati terjadi saat ia memberikan sambutan dalam acara Workshop ‘Pengelolaan Biodiversitas dan Penguatan HKI untuk Masa Depan Berkelanjutan: Sinergi UGM-BRIN’ di Balai Senat UGM, Sleman, DIY. Di hadapan para akademisi dan peneliti, Megawati tak segan mengungkapkan ketidaksukaannya pada praktik buzzer yang menyebarkan informasi palsu.
Dengan nada tegas, ia menantang para penyebar hoaks tersebut. "Saya paling nggak suka lho sama buzzer. Kok saya terus katanya Ibu Mega sampai jual pulau namanya Sipadan dan Ligitan. Pengecut kamu ya. Tak suruh cari orangnya. Buat apa aku jual," ujarnya, menunjukkan kekecewaan mendalam atas tuduhan yang tak berdasar.
Membongkar Fakta di Balik Isu Sipadan-Ligitan
Tuduhan bahwa Megawati menjual dua pulau strategis ini sebenarnya adalah narasi lama yang kerap dihembuskan di media sosial. Namun, fakta historis menunjukkan cerita yang jauh berbeda dari apa yang dituduhkan, jauh dari klaim ‘penjualan’ oleh seorang presiden.
Pulau Sipadan dan Ligitan, yang terletak di Selat Makassar, memang pernah menjadi sengketa panas antara Indonesia dan Malaysia. Konflik perebutan kedaulatan atas dua pulau tak berpenghuni ini telah berlangsung sejak tahun 1969, menandai babak panjang dalam sejarah perbatasan kedua negara.
Kronologi Sengketa Panjang
Ketegangan memuncak pada tahun 1991 ketika Malaysia mulai membangun fasilitas pariwisata di Pulau Sipadan, memicu protes keras dari Indonesia. Kedua negara akhirnya sepakat untuk membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag, sebuah langkah yang menunjukkan komitmen pada jalur hukum internasional.
Keputusan final dari ICJ baru keluar pada tahun 2002. Dalam putusannya, Mahkamah Internasional menyatakan bahwa kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan jatuh ke tangan Malaysia. Keputusan ini didasarkan pada argumen ‘effectivités’, yaitu bukti-bukti administrasi dan aktivitas yang lebih kuat yang dilakukan oleh Inggris (sebagai penjajah Malaysia) dan kemudian Malaysia di kedua pulau tersebut.
ICJ melihat adanya bukti otentik bahwa Inggris, yang pernah menjajah Malaysia, melakukan pembangunan dan pengelolaan di Pulau Sipadan dan Ligitan. Sementara itu, bukti yang diajukan Indonesia dinilai kurang kuat dalam menunjukkan "effective occupation" atau pendudukan yang efektif secara berkelanjutan.
Peran Megawati dalam Konteks Sejarah
Penting untuk dicatat, saat keputusan ICJ ini keluar pada tahun 2002, Megawati Soekarnoputri memang menjabat sebagai Presiden RI. Namun, proses sengketa dan upaya hukum di ICJ sudah berjalan jauh sebelum masa kepemimpinannya, bahkan sejak era Orde Baru.
Artinya, keputusan Mahkamah Internasional adalah hasil dari proses hukum internasional yang kompleks yang telah berjalan puluhan tahun, bukan sebuah tindakan ‘penjualan’ oleh seorang presiden. Indonesia, sebagai negara hukum, wajib menghormati putusan lembaga peradilan tertinggi dunia tersebut, meskipun terasa pahit.
Bahkan, secara de facto, kedua pulau itu sudah ‘lepas’ dari kontrol Indonesia sejak tahun 1969, jauh sebelum Megawati menjabat. Sengketa ini berakar pada perbedaan interpretasi peta perbatasan warisan kolonial Belanda-Inggris, khususnya Konvensi 1891, perjanjian 1915, dan perjanjian 1928 yang menjadi acuan kedua negara.
Pembelaan Berbasis Data dan Kebenaran
Megawati sendiri mengaku sangat mengapresiasi pihak-pihak yang membela dirinya dengan data dan fakta yang akurat. Ia sempat menyebut ada seorang perempuan yang gigih menyajikan bukti-bukti untuk meluruskan narasi sesat ini, meskipun ia lupa namanya.
"Ada namanya bagus deh namanya lucu deh. Perempuan nanti cari. Dia bela saya dengan data," katanya. Apresiasi Megawati ini menunjukkan betapa pentingnya peran informasi yang benar dalam melawan hoaks. Ini juga menjadi pengingat bagi publik untuk selalu mencari kebenaran dari sumber terpercaya, bukan sekadar ikut-ikutan.
Mengapa Isu Ini Terus Digoreng?
Munculnya kembali tuduhan seperti ini seringkali tidak lepas dari motif politik atau upaya disinformasi yang sengaja disebarkan. Isu sensitif yang melibatkan kedaulatan negara dan tokoh nasional mudah sekali dimanfaatkan untuk tujuan tertentu, terutama menjelang momen-momen politik penting.
Para buzzer, yang seringkali beroperasi secara anonim atau dengan identitas palsu, memanfaatkan celah ini untuk menyebarkan narasi yang menyesatkan. Mereka beroperasi tanpa peduli pada kebenaran atau dampak negatif yang ditimbulkan terhadap reputasi seseorang dan stabilitas informasi publik.
Fenomena ini menunjukkan betapa krusialnya literasi digital di era media sosial yang serba cepat. Masyarakat perlu lebih kritis dalam menyaring informasi dan tidak mudah termakan oleh judul bombastis atau tuduhan tanpa bukti yang jelas dan terverifikasi.
Pesan Megawati untuk Generasi Muda
Kekesalan Megawati bukan hanya soal pembelaan diri, melainkan juga tentang pentingnya keadilan informasi dan penegakan kebenaran. Ia menyerukan agar kebenaran ditegakkan dan tidak ada lagi pihak yang berani menyebarkan kebohongan yang merusak.
Bagi generasi muda, kasus Sipadan-Ligitan ini adalah pelajaran berharga. Ini bukan hanya tentang sejarah perebutan pulau, tetapi juga tentang bagaimana informasi bisa dimanipulasi dan pentingnya menjaga kedaulatan informasi di ruang digital. Mari kita bersama-sama menjadi agen penyebar kebenaran, bukan penyebar hoaks. Mencari tahu fakta sebenarnya adalah langkah awal untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan berintegritas.
Dengan klarifikasi tegas dari Megawati dan fakta sejarah yang ada, diharapkan narasi sesat mengenai penjualan Pulau Sipadan-Ligitan dapat diluruskan. Kebenaran selalu lebih kuat dari sekadar tuduhan tanpa dasar yang hanya bertujuan memecah belah.
Penulis: Arya N
Editor: Santika Reja
Terakhir disunting: Oktober 2, 2025