Seedbacklink affiliate

Menteri Kena Semprot! Sekjen KPA Ungkap Borok Agraria: Data Numpuk, Petani Merana!

Menteri ATR/BPN Nusron Wahid berjalan di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Menteri ATR/BPN hadir di Komisi XII DPR, Kamis (25/9), terkait masalah agraria.
banner 120x600

NEWS TANGERANG– Jakarta – Suasana Ruang Rapat Komisi XII Kompleks Parlemen mendadak memanas pada Kamis (25/9) lalu. Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, melayangkan teguran keras kepada dua menteri sekaligus: Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid. Audiensi yang seharusnya menjadi ajang diskusi, justru berubah menjadi momen "semprotan" yang membongkar carut-marut persoalan agraria di Indonesia.

Dewi Kartika tak ragu menyuarakan keluh kesah yang selama ini membelenggu masyarakat, terutama petani. Ia menyoroti bagaimana berbagai kanal pengaduan di kementerian dan DPR seolah hanya menjadi tempat menampung keluhan, tanpa ada solusi konkret yang tuntas. "Kami harus selalu mengulang," tegas Dewi, menggambarkan frustrasi yang mendalam.

Aduan yang Tak Kunjung Berujung

Bukan rahasia lagi jika masalah agraria di Indonesia ibarat benang kusut yang tak berujung. Masyarakat, khususnya para petani dan komunitas adat, seringkali merasa seperti dilempar-lempar antara satu instansi ke instansi lain. Mereka mengadu, menyerahkan data, berharap ada titik terang, namun yang didapat hanyalah janji dan tumpukan berkas yang tak kunjung diproses.

Kondisi ini menciptakan lingkaran setan yang melelahkan. Setiap kali ada kesempatan audiensi, mereka harus mengulang cerita yang sama, menyerahkan data yang sama, dan menghadapi persoalan yang sama. Ini bukan hanya membuang waktu dan tenaga, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap birokrasi yang seharusnya melayani.

Data Menumpuk, Petani Menjerit

Salah satu contoh nyata yang diungkap Dewi adalah permasalahan di Kementerian Agraria. Ia mengaku sudah berkali-kali bertemu langsung dengan Menteri Nusron Wahid, menyerahkan segunung data terkait konflik agraria. Namun, mirisnya, pihak kementerian berkali-kali pula meminta data yang sama.

"Jadi ada problem data, data kami itu ditumpuk mungkin diarsipkan tapi tidak dikerjakan," ucap Dewi dengan nada kecewa. Pernyataan ini menunjukkan adanya masalah serius dalam pengelolaan data dan koordinasi internal kementerian. Data yang seharusnya menjadi kunci penyelesaian masalah, justru hanya berakhir sebagai tumpukan arsip.

Menanggapi teguran tersebut, Menteri Nusron Wahid mengakui bahwa banyak data dari KPA yang memang belum digarap. Namun, ia juga menyatakan sepakat dengan prinsip keadilan dalam redistribusi tanah yang diusulkan KPA. Sebagai bentuk komitmen, Nusron mengklaim selama 10 bulan menjabat, ia belum menandatangani satupun perpanjangan atau pembaruan izin. Ini mungkin menunjukkan kehati-hatian, namun di sisi lain juga mengindikasikan stagnasi dalam proses yang seharusnya berjalan.

Ironi di Lumbung Pangan Nasional

Tak hanya Kementerian Agraria, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni juga tak luput dari teguran keras Dewi Kartika. Dewi mengingatkan Raja Juli tentang kunjungan mereka ke sebuah desa di Cilacap yang telah puluhan tahun dilanda konflik agraria. Desa tersebut, yang ironisnya merupakan lumbung pangan nasional dengan 9 ribu hektare tanah produktif, berkonflik dengan Perhutani.

"Saya menunjukkan ke Bapak Raja Juli, pak lihat mana ada tegakkan pohon, mana ada hutan, kenapa tanah-tanah pertanian produktif yang dikerjakan oleh kaum tani itu tidak kunjung dibebaskan dari klaim-klaim kawasan hutan," ujar Dewi. Ini adalah pertanyaan krusial: mengapa lahan pertanian yang jelas-jelas dikelola petani dan berkontribusi pada ketahanan pangan, masih saja diklaim sebagai kawasan hutan?

Konflik ini memiliki dampak yang sangat merugikan bagi masyarakat setempat. Mereka tidak bisa membangun infrastruktur dasar seperti jalan, karena status tanah masih menjadi kawasan hutan atau klaim Perhutani/PTPN. Akibatnya, petani kesulitan mengangkut hasil panen mereka, yang secara langsung memengaruhi pendapatan dan kesejahteraan mereka.

Perhutani Jadi Kunci Masalah?

Raja Juli Antoni mengakui pernah datang ke Cilacap dan berupaya melepaskan lahan pertanian tersebut dari kawasan hutan. Namun, ia menyatakan prosesnya terhambat. "Karena memang ada macet di Perhutani. Jadi memang kehutanan Perhutani ini menjadi satu kunci penting," kata Raja Juli. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa Perhutani memiliki peran sentral dalam penyelesaian konflik agraria, namun juga menjadi biang keladi kemacetan.

Permasalahan dengan Perhutani seringkali menjadi batu sandungan dalam reforma agraria. Klaim atas kawasan hutan yang tumpang tindih dengan lahan garapan masyarakat adat atau petani, seringkali berujung pada konflik berkepanjangan. Padahal, tujuan reforma agraria adalah untuk memberikan kepastian hukum atas tanah kepada masyarakat yang berhak.

Dampak Buruk Reforma Agraria yang Mandek

Dewi Kartika menegaskan bahwa semua masalah ini adalah dampak buruk dari konflik agraria dan reforma agraria yang tak kunjung dijalankan secara serius. Bagaimana mungkin masyarakat bisa sejahtera jika hak atas tanah mereka tidak jelas? Bagaimana Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, yang menjamin bumi, air, dan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat, bisa terwujud jika rakyat kecil justru terpinggirkan dari tanahnya sendiri?

Janji-janji reforma agraria yang sering digaungkan, termasuk oleh Presiden, seolah hanya menjadi slogan belaka. Realitas di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat yang hanya menginginkan keadilan atas tanah mereka, masih harus berjuang keras tanpa kepastian. Ini adalah ironi besar di negara agraris seperti Indonesia.

Kemiskinan Struktural dan Masa Depan Bangsa

Lebih jauh, Dewi Kartika menyoroti dampak sistemik dari ketiadaan akses pemilikan tanah. Ia mencatat bahwa 58 persen desa miskin dan tertinggal, termasuk 15 provinsi yang menjadi episentrum kemiskinan, juga merupakan episentrum konflik agraria. "Artinya kalau ketiadaan akses pemilikan kepada tanah maka otomatis ada kemiskinan struktural di pedesaan," jelasnya.

Kemiskinan struktural ini bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga sosial. Generasi muda di pedesaan kehilangan harapan dan kesempatan untuk bekerja di sektor pertanian karena tidak memiliki tanah. Mereka akhirnya terpaksa mencari penghidupan di kota, yang seringkali juga tidak menjanjikan. Ini adalah bom waktu demografi yang bisa mengancam masa depan bangsa.

Desakan untuk Perubahan Nyata

KPA telah mencatat setidaknya 24 masalah struktural agraria yang terjadi di pedesaan dan perkotaan. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan dari penderitaan jutaan rakyat Indonesia. Mulai dari petani yang melarat hingga konflik lahan yang tak berkesudahan, semua menuntut perhatian serius.

Pemerintah dan DPR didesak untuk segera melakukan perbaikan fundamental di sektor agraria. Bukan hanya sekadar menampung aduan, tetapi benar-benar mencari solusi, menuntaskan konflik, dan memastikan reforma agraria berjalan sesuai amanat konstitusi. Tanpa keadilan agraria, kesejahteraan rakyat hanya akan menjadi mimpi di siang bolong. Informasi lebih lanjut mengenai 24 masalah struktural agraria dapat ditemukan di tautan ini.

Penulis: Arya N

Editor: Santika Reja

Terakhir disunting: September 25, 2025

Promo Akad Nikah Makeup