NEWS TANGERANG– Insiden mengejutkan terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. Sejumlah jurnalis yang tengah meliput lokasi ambruknya gedung Pondok Pesantren Al Khoziny di Buduran, Sidoarjo, justru mengalami dugaan penghalang-halangan kerja jurnalistik hingga intimidasi serius. Pelakunya? Sekelompok orang beratribut ormas keagamaan dan juga para santri.
Kejadian ini sontak memicu kekhawatiran serius tentang kebebasan pers di tengah upaya pencarian dan penanganan korban. Para jurnalis, yang seharusnya menjadi mata dan telinga publik, justru dihadapkan pada ancaman dan pembatasan akses yang tidak masuk akal.
Kronologi Intimidasi yang Mencekam
Seorang jurnalis media internasional menjadi salah satu korban intimidasi ini. Ia menceritakan bagaimana ancaman mulai datang saat ia mencoba mengambil gambar plang nama pesantren, bukan gedung yang runtuh. Ini terjadi pada Selasa pagi hingga Rabu malam.
"Saat itu saya baru akan gambar plang nama pesantren padahal, bukan gedung yang runtuh, tapi saya diteriaki ‘apa kameramu mau saya banting?’ Dengan nada keras, oleh orang berpakaian seragam paramiliter," ungkap jurnalis tersebut. Ancaman ini tentu saja menciptakan suasana mencekam dan menghambat kerja profesionalnya.
Tidak hanya ancaman verbal, sejumlah wartawan lain yang sedang melakukan observasi dan live report di sekitar lokasi kejadian juga diusir. Mereka dikerumuni oleh sekitar lima santri yang terus-menerus meneriakkan "enggak boleh diliput, enggak boleh diliput."
Garis Kuning Misterius dan Pertanyaan Besar
Situasi semakin rumit ketika santri dan anggota ormas keagamaan ini memasang garis kuning secara mandiri. Garis ini membentang di sepanjang kampung, membatasi akses jalan masuk menuju pesantren, membuat para jurnalis tidak bisa mendekati lokasi kejadian.
Para jurnalis mempertanyakan alasan di balik pemasangan garis kuning tersebut. Mereka yakin bahwa garis itu bukan dipasang oleh petugas resmi atau tim SAR. Jika alasannya adalah faktor keamanan, mengapa para santri yang tidak memakai atribut pelindung diri justru bisa leluasa mendekat ke lokasi, sementara jurnalis diusir dan tertahan jauh?
"Kami yakin yang memasang garis tak boleh melintas di kampung itu bukan petugas atau tim SAR. Kalau memang alasannya itu untuk keselamatan, kenapa justru santri yang tak memakai atribut pelindung diri bisa leluasa mendekat ke titik lokasi kejadian, sedangkan jurnalis justru diusir," tambah seorang jurnalis, menyuarakan kebingungan dan kekecewaannya.
AJI dan PFI Bersuara: Pelanggaran UU Pers!
Merespons dugaan intimidasi dan penghalang-halangan ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya dan Pewarta Foto Indonesia (PFI) Surabaya segera menyatakan sikap tegas. Mereka menyampaikan duka cita mendalam atas korban reruntuhan, namun juga menyoroti pentingnya peran jurnalis.
AJI Surabaya dan PFI Surabaya menegaskan bahwa di tengah upaya evakuasi dan penanganan korban, jurnalis memiliki peran krusial. Mereka bertugas menyampaikan informasi yang telah diverifikasi kepada publik, memastikan transparansi dan akuntabilitas.
Namun, laporan yang mereka terima justru menunjukkan hal sebaliknya. Jurnalis dan pewarta foto dilarang memasuki area pondok oleh para santri dan sekelompok orang berseragam paramiliter dari sebuah ormas keagamaan. Beberapa jurnalis bahkan diusir, dan salah seorang pewarta foto diancam kameranya akan dirusak.
Ancaman Pidana bagi Penghalang Kerja Jurnalistik
AJI dan PFI Surabaya dengan tegas menyatakan bahwa tindakan semacam ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 18 ayat 1 UU Pers secara jelas mengatur sanksi pidana bagi siapa pun yang menghalang-halangi kerja jurnalistik. Ini bukan hanya soal etika, tapi juga pelanggaran hukum serius.
Atas peristiwa tersebut, kedua organisasi jurnalis ini mengecam keras tindakan pembatasan, penghalang-halangan kerja jurnalistik, dan intimidasi terhadap jurnalis. Mereka mendesak pengurus pondok pesantren dan semua pihak terkait untuk segera menghentikan segala bentuk ancaman dan pembatasan tersebut.
Tujuannya jelas: demi terpenuhinya hak publik atas informasi yang akurat dan terpercaya. Publik berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi di lokasi bencana, dan jurnalis adalah garda terdepan dalam menyajikan informasi tersebut.
Mengapa Kebebasan Pers Penting di Tengah Bencana?
Kebebasan pers bukan sekadar hak bagi jurnalis, melainkan hak fundamental bagi masyarakat. Dalam situasi krisis seperti bencana, peran media menjadi sangat vital. Jurnalis membantu memastikan informasi yang diterima publik terverifikasi, mencegah hoaks, dan mendorong upaya penanganan yang transparan serta akuntabel.
Ketika akses jurnalis dibatasi atau mereka diintimidasi, ini berarti hak publik untuk tahu juga terancam. Ada potensi informasi penting yang tidak sampai ke masyarakat, atau bahkan informasi yang bias dan tidak akurat yang justru beredar. Transparansi adalah kunci dalam penanganan bencana, dan media adalah salah satu pilar utamanya.
AJI dan PFI kembali menegaskan bahwa kerja jurnalistik dan liputan media dalam situasi krisis bertujuan untuk memastikan informasi yang diterima publik terverifikasi. Ini juga untuk mendorong upaya penanganan yang transparan dan akuntabel. Pembatasan akses hanya akan menimbulkan pertanyaan dan kecurigaan.
Insiden di Sidoarjo ini menjadi pengingat keras bagi semua pihak. Kebebasan pers adalah pilar demokrasi yang harus dijaga, terutama di saat-saat genting. Menghalangi kerja jurnalis berarti menghalangi hak publik untuk mendapatkan informasi yang benar dan akurat. Semua pihak harus menghormati profesi jurnalis dan memastikan mereka dapat bekerja tanpa rasa takut.
Penulis: Arya N
Editor: Santika Reja
Terakhir disunting: Oktober 2, 2025