NEWS TANGERANG– Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah Prabowo Subianto kini jadi sorotan tajam publik. Ribuan anak dikabarkan keracunan setelah mengonsumsi makanan dari program ini, memicu desakan agar dihentikan sementara. Namun, pemerintah tetap bergeming, memilih untuk melanjutkan program sembari melakukan evaluasi. Mengapa keputusan ini diambil di tengah ribuan korban yang terus berjatuhan?
Ribuan Anak Jadi Korban, Program Makan Gratis Prabowo Digugat
Data terbaru dari Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, sungguh mengejutkan. Sejak diluncurkan pada Januari 2025, total 6.517 anak menjadi korban keracunan akibat mengonsumsi makanan dari program MBG. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan dari masalah serius yang terjadi di lapangan.
Korban keracunan tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Rinciannya, 1.307 korban di wilayah I atau Pulau Sumatera, 4.207 korban di wilayah pemantauan II atau Pulau Jawa, dan 1.003 korban di wilayah pemantauan III atau Indonesia bagian timur. Jumlah ini tentu saja menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan masyarakat dan para orang tua.
Fakta Miris di Balik Program Makan Bergizi Gratis
Dadan Hindayana membeberkan penyebab maraknya kasus keracunan ini. Ia menyebutkan bahwa Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur MBG, yang bertanggung jawab atas pengolahan makanan, tidak mematuhi Standar Operasional Prosedur (SOP) yang telah ditetapkan. Pelanggaran SOP inilah yang menjadi biang keladi di balik petaka yang menimpa ribuan anak.
Dalam beberapa kasus, ditemukan SPPG membeli bahan baku sejak H-4 sebelum pengolahan. Padahal, aturan yang berlaku mewajibkan pembelian bahan baku maksimal H-2. Praktik ini jelas meningkatkan risiko bahan makanan tidak lagi segar dan rentan terkontaminasi bakteri.
Bukan Cuma Angka: Ini Penyebab Keracunan Massal MBG
Selain masalah bahan baku, Dadan juga menyoroti proses memasak hingga pengiriman yang tidak sesuai standar. Hasil investigasi di Bandung, Jawa Barat, menunjukkan adanya durasi memasak dan pengiriman yang melewati ketentuan, bahkan hingga lebih dari 6 jam.
Padahal, durasi optimal dari proses memasak hingga makanan didistribusikan adalah 4 jam. "Seperti di Bandung itu ada yang memasak dari jam 9 dan kemudian di delivery-nya ada yang sampai jam 12, ada yang jam 12 lebih," tuturnya dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (1/10). Waktu tunggu yang terlalu lama ini membuat makanan berisiko tinggi basi dan menyebabkan keracunan.
Pemerintah Pilih Evaluasi, Enggan Hentikan Sementara
Di tengah gelombang desakan publik untuk menghentikan sementara program MBG, pemerintah tetap pada pendiriannya. Hingga saat ini, belum ada langkah untuk menghentikan program, melainkan fokus pada evaluasi dan perbaikan tata kelola.
Sebagai tindak lanjut, Dadan menyebut Presiden Prabowo akan segera mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tata Kelola Makan Bergizi. Perpres ini tengah dirancang dan ditargetkan rampung pekan ini, sebagai upaya untuk memperketat pengawasan dan memastikan kualitas makanan. Namun, pertanyaan besar tetap menggantung: mengapa tidak ada penghentian sementara?
Dehumanisasi dan Antikritik: Sorotan Tajam Pengamat
Cusdiawan, pengamat kebijakan publik dari Universitas Pamulang, punya pandangan keras mengenai sikap pemerintah. Menurutnya, pemerintah memiliki pandangan yang keliru dalam melihat jumlah korban keracunan MBG, bahkan sudah mengarah ke dehumanisasi.
"Ini dibuktikan dengan memandang manusia seolah terbatas pada angka statistik belaka," kata Cusdiawan. Pemerintah cenderung menganggap program masih berjalan baik karena jumlah korban keracunan "kurang dari 1 persen" dari total penerima manfaat. Padahal, menurutnya, satu nyawa saja yang terancam harus dipandang sebagai sesuatu yang sangat berharga.
Cusdiawan juga menyoroti gaya komunikasi dari pihak istana yang cenderung defensif dalam menanggapi kritik publik. Hal ini menunjukkan sikap antikritik yang justru bisa merusak kewibawaan pemerintah.
Janji Politik dan Misi Besar di Balik MBG
Alasan lain mengapa pemerintah enggan menghentikan program ini adalah karena MBG merupakan salah satu program unggulan dan prioritas Prabowo. Hal ini merupakan janji politik Prabowo saat masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 lalu, sehingga harus ditunaikan.
Ali Rifan, Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia (ASI), mengamini pandangan ini. "MBG merupakan janji politik Prabowo saat kampanye, sehingga janji tersebut harus ditunaikan," ucapnya.
Di balik maraknya kasus keracunan, Ali Rifan juga mengingatkan bahwa MBG memiliki tujuan mulia. Program ini dibuat pemerintah dengan tujuan meningkatkan kualitas SDM Indonesia agar bisa bersaing dengan negara lain. Apalagi, saat ini indeks pembangunan manusia dan tingkat produktivitas SDM di Indonesia masih rendah.
"Kalau menurut saya, untuk kasus MBG ini, persoalannya harus diselesaikan, lalu dilanjutkan. Karena memang MBG ini pondasi untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia di masa mendatang," ujarnya.
Kuantitas vs. Kualitas: Ketika Risiko Dianggap Wajar
Pakar kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, menyoroti fokus pemerintah pada kuantitas. Selama ini, pemerintah selalu menilai program MBG ini sukses lantaran hanya berfokus pada jumlah penerima manfaat yang terus bertambah.
Trubus menduga, maraknya kasus keracunan MBG di berbagai daerah ini bisa saja hanya dianggap sebagai sebuah risiko dari sebuah kebijakan yang diambil. "Pemerintah menganggap program MBG itu sukses, bahwa di situ ada keracunan, itu bagian dari risiko kebijakan," tutur Trubus.
Menurutnya, pemerintah punya asumsi bahwa sebuah kebijakan tidak akan sempurna dan tidak bisa memuaskan semua pihak. Intinya, kebijakan lebih mengutamakan kuantitas. "Jadi, kalau kuantitas itu tercapai ya itu dia enggak berpikir kualitasnya," tambahnya.
Solusi Konkret: Mengawal Kualitas, Bukan Sekadar Angka
Kendati demikian, Trubus menilai menghentikan sementara program MBG ini bukan opsi yang tepat. Pasalnya, anggaran untuk program MBG sudah dialokasikan. "Enggak mungkin kalau kita setop, itu uangnya jadi ke mana-mana, enggak akan balik ke negara atau ke kepentingan publik lainnya. Jadi istilahnya orang nyebrang sungai ya sudah basah," kata dia.
Trubus menawarkan solusi alternatif yang lebih konkret. "Jadi lebih baik sekarang SPPG itu satu tata kelolanya dikendalikan," ujarnya. Pengawasan harus diperketat, misalnya dengan membatasi SPPG hanya menangani 500 piring saja.
Selain itu, tanggung jawab bisa dikembalikan ke sekolah, melibatkan kepala sekolah, komite sekolah, dan orang tua. "Masaknya di sekolah, dapur SPPG-nya ya sekolah itu," imbuhnya. Dengan begitu, pengawasan kualitas dan keamanan makanan bisa lebih optimal, memastikan setiap anak menerima makanan yang benar-benar bergizi dan aman.
Polemik program Makan Bergizi Gratis ini menjadi cerminan kompleksitas kebijakan publik. Di satu sisi, ada tujuan mulia untuk meningkatkan kualitas SDM. Namun, di sisi lain, implementasi yang cacat telah menelan ribuan korban. Tantangan pemerintah kini adalah menemukan keseimbangan antara ambisi dan tanggung jawab, memastikan setiap gigitan makanan yang disajikan aman dan benar-benar bergizi.
Penulis: Arya N
Editor: Santika Reja
Terakhir disunting: Oktober 2, 2025