NEWS TANGERANG– Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset kini tengah jadi perbincangan hangat. Meski punya tujuan mulia untuk memberantas kejahatan, ada lima pasal di dalamnya yang disebut-sebut multitafsir dan berpotensi jadi bumerang. Para pakar hukum dan politisi mulai angkat bicara, mengingatkan bahaya tersembunyi yang bisa mengancam hak-hak masyarakat.
Mengapa RUU Perampasan Aset Jadi Sorotan?
RUU Perampasan Aset sebenarnya bertujuan baik, yaitu untuk memudahkan negara mengambil kembali aset hasil kejahatan. Ini penting banget buat melawan korupsi, pencucian uang, dan tindak pidana lainnya yang merugikan negara. Namun, niat baik ini ternyata menyimpan potensi masalah serius.
Profesor hukum dari Universitas Negeri Makassar (UNM), Harris Arthur Hedar, memperingatkan bahwa beberapa pasal di RUU ini bisa membuat hukum jadi "menakutkan" alih-alih melindungi. Jika tidak diperbaiki, ia khawatir kepercayaan rakyat terhadap hukum dan negara bisa menurun drastis.
Bongkar 5 Pasal ‘Jebakan’ Menurut Pakar Hukum
Harris Arthur Hedar secara spesifik menyoroti lima pasal yang menurutnya sangat krusial dan harus dicermati ulang. Pasal-pasal ini bisa mengubah banyak prinsip dasar hukum yang selama ini kita kenal. Mari kita bedah satu per satu:
Pasal 2: Aset Dirampas Tanpa Menunggu Putusan Pidana?
Bayangkan saja, negara bisa merampas aset seseorang tanpa perlu menunggu ada putusan pidana yang inkrah. Ini tentu saja menggeser prinsip praduga tak bersalah yang jadi pilar utama hukum kita. Seseorang belum terbukti bersalah, tapi hartanya sudah bisa disita.Pasal 3: Dualisme Hukum yang Bikin Bingung
Pasal ini memungkinkan aset dirampas, sementara proses pidana terhadap orangnya masih terus berjalan. Harris menyebut ini bisa menciptakan dualisme hukum perdata dan pidana. Risikonya, masyarakat bisa merasa dihukum dua kali: asetnya dirampas, tapi dirinya masih harus diadili.Pasal 5 Ayat (2) Huruf a: Harta Tak Seimbang Penghasilan
Menurut pasal ini, perampasan bisa dilakukan jika jumlah harta dianggap tidak seimbang dengan penghasilan yang sah. Ini bisa jadi area abu-abu yang rawan disalahgunakan. Bagaimana standar "tidak seimbang" itu diukur? Dan siapa yang menentukan?Pasal 6 Ayat (1): Aset Minimal Rp 100 Juta Bisa Dirampas
Pasal ini juga perlu dicermati, karena aset dengan nilai minimal Rp 100 juta saja sudah bisa menjadi target perampasan. Batasan ini tergolong rendah dan bisa menjangkau banyak lapisan masyarakat, bukan hanya koruptor kelas kakap.Pasal 7 Ayat (1): Aset Tetap Dirampas Meski Tersangka Meninggal, Kabur, atau Dibebaskan
Ini mungkin pasal yang paling "ngeri" menurut Harris. Aset tetap bisa dirampas meskipun tersangka meninggal dunia, kabur, atau bahkan sudah dibebaskan dari tuduhan. Pasal ini membalik beban pembuktian ke masyarakat. Rakyat yang tidak paham hukum atau tidak punya dokumen formal lengkap bisa kehilangan asetnya begitu saja.
Solusi dari Pakar: Agar Hukum Tak Jadi ‘Menakutkan’
Melihat potensi masalah ini, Harris Arthur Hedar menyarankan beberapa perbaikan penting. Pertama, definisi pasal-pasal kontroversial tersebut harus diperjelas agar tidak ada lagi multitafsir. Ini krusial untuk memberikan kepastian hukum.
Kedua, harus ada perlindungan bagi ahli waris jika harta yang mereka miliki berasal dari hasil beritikad baik dan bukan dari kejahatan. Siapa yang menuduh, wajib membuktikan, bukan rakyat. Ketiga, putusan pengadilan independen harus menjadi syarat mutlak perampasan aset. Tidak boleh ada perampasan tanpa persetujuan hakim.
Terakhir, proses perampasan harus transparan dan mengutamakan akuntabilitas publik. Sosialisasi dan literasi hukum juga harus digencarkan. Masyarakat harus diedukasi agar tahu hak-haknya dan tidak mudah ditakut-takuti oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Peringatan dari Senayan: Jangan Sampai Jadi ‘Alat Penguasa’!
Kekhawatiran terhadap RUU Perampasan Aset juga datang dari Gedung DPR. Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi PDIP, Sturman Panjaitan, secara tegas mewanti-wanti bahwa RUU ini berpotensi menjadi alat politik penguasa. Ini adalah alarm serius yang tidak boleh diabaikan.
Sturman menekankan bahwa pembahasan RUU ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Partisipasi publik yang luas sangat dibutuhkan, bahkan pihaknya berencana membawa RUU ini ke kampus-kampus. Tujuannya agar perspektif dari berbagai pihak, baik yang setuju maupun tidak setuju, bisa didengar.
"Jangan sampai itu alat penguasa," tegas Sturman. Ia khawatir jika RUU ini disahkan tanpa pertimbangan matang, seseorang yang baru diduga melakukan tindak pidana sudah bisa langsung dirampas asetnya. Ini tentu akan sangat merugikan dan bisa menciptakan ketidakadilan.
Kapan RUU Ini Bakal Disahkan?
DPR RI dan pemerintah sebelumnya telah bersepakat untuk segera menyelesaikan proses pembahasan RUU Perampasan Aset pada tahun 2025. Rencananya, DPR akan resmi memasukkan RUU tersebut ke dalam Prolegnas Prioritas 2025 dalam rapat di Baleg.
Meskipun naskah akademik RUU ini masih dalam tahap penyiapan di Badan Keahlian DPR, substansinya masih sangat mungkin berubah. Pemerintah pun belum tentu sepakat dengan semua poin yang disepakati DPR. Ini menunjukkan bahwa jalan RUU ini masih panjang dan penuh dinamika.
RUU Perampasan Aset memang memiliki tujuan yang mulia, namun potensi "jebakan" di beberapa pasalnya tidak bisa dianggap enteng. Kritik dari pakar hukum dan politisi menunjukkan bahwa RUU ini perlu pembahasan yang sangat cermat, transparan, dan melibatkan partisipasi publik. Jangan sampai niat baik justru melahirkan aturan yang menakutkan dan merugikan rakyat. Mari kita pantau terus perkembangannya!
Penulis: Arya N
Editor: Santika Reja
Terakhir disunting: September 17, 2025