Seedbacklink affiliate

RUU Perampasan Aset: Bom Waktu Hak Asasi? DPR Ungkap Syarat Mutlak Agar Tak Jadi Bumerang!

Ilustrasi RUU Perampasan Aset dengan palu hakim, timbangan, dan buku hukum.
RUU Perampasan Aset kembali menjadi sorotan, berpotensi jadi "bom waktu."
banner 120x600

NEWS TANGERANG– Siapa sangka, di balik semangat membara untuk memberantas korupsi dan kejahatan ekonomi, tersimpan potensi "bom waktu" yang bisa mengancam hak asasi warga negara? Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset, yang digadang-gadang sebagai senjata ampuh, ternyata menyimpan risiko besar jika tidak digodok dengan sangat hati-hati.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PAN, Sarifuddin Sudding, baru-baru ini melontarkan peringatan keras. Menurutnya, implementasi RUU Perampasan Aset bisa berujung pada kesewenang-wenangan jika fondasi hukum acaranya belum kokoh. Ini bukan sekadar kekhawatiran biasa, melainkan sebuah alarm penting bagi masa depan hukum di Indonesia.

Mengapa RUU Perampasan Aset Jadi Sorotan?

RUU Perampasan Aset memang jadi perbincangan hangat belakangan ini. Banyak pihak, termasuk masyarakat, berharap RUU ini bisa jadi alat yang efektif untuk memiskinkan koruptor dan mengembalikan kerugian negara. Bayangkan saja, aset hasil kejahatan bisa langsung disita tanpa harus menunggu putusan pengadilan yang berlarut-larut.

Namun, di balik harapan besar itu, ada prinsip fundamental yang tidak boleh diabaikan: keadilan dan kepastian hukum. Sudding mengingatkan bahwa setiap langkah hukum harus didasari oleh prinsip due process of law, atau proses hukum yang adil dan sesuai prosedur. Tanpa itu, niat baik bisa berujung pada malapetaka.

Ancaman ‘Kesewenang-wenangan’ di Balik RUU Perampasan Aset

Kekhawatiran utama Sudding adalah potensi kesewenang-wenangan. Jika RUU Perampasan Aset ini diterapkan tanpa payung hukum acara yang kuat dan menyeluruh, ia bisa menjadi alat yang sangat berbahaya. Bayangkan, aset seseorang bisa saja dirampas hanya berdasarkan dugaan tanpa proses pembuktian yang transparan dan akuntabel.

Ini bukan sekadar masalah teknis hukum, melainkan menyangkut hak-hak dasar warga negara. Pelanggaran hak asasi bisa terjadi, dan potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum penegak hukum pun sangat terbuka lebar. Sudding menegaskan, tindakan seperti itu bisa dipersoalkan secara hukum di kemudian hari, menciptakan ketidakpastian dan konflik baru.

KUHAP: Fondasi Hukum yang Tak Bisa Ditawar

Lalu, apa solusinya menurut Sudding? Jawabannya jelas: Revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) harus diselesaikan terlebih dahulu. KUHAP ini adalah "kitab suci" yang mengatur bagaimana proses hukum pidana harus berjalan, mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga persidangan.

RKUHAP inilah yang akan menjadi fondasi kuat untuk RUU Perampasan Aset. Ia memastikan bahwa semua penegakan hukum, termasuk perampasan aset, dilakukan dengan prosedur yang sah, transparan, dan tidak melanggar hak asasi. Tanpa KUHAP yang diperbarui, RUU Perampasan Aset ibarat membangun rumah tanpa pondasi yang kokoh, rentan roboh dan menimbulkan masalah.

Prioritas yang Mendesak: RKUHAP Dulu, Baru RUU Perampasan Aset

Menurut Sudding, proses pembahasan RKUHAP sebenarnya sudah hampir rampung. Tinggal menunggu rapat pleno untuk meminta pandangan fraksi-fraksi di Komisi III DPR agar bisa disahkan di tingkat satu. Ini berarti, RKUHAP sudah di depan mata dan seharusnya menjadi prioritas utama.

"RKUHAP harus menjadi prioritas utama sebelum melangkah lebih jauh ke RUU Perampasan Aset," tegas Sudding. Logikanya sederhana: selesaikan dulu kerangka proseduralnya, baru kemudian isi dengan aturan-aturan substantif seperti perampasan aset. Langkah ini bukan berarti menghambat pemberantasan korupsi, melainkan memastikan prosesnya benar dan adil.

Harmonisasi Hukum: Kunci Sistem yang Kuat

Sudding juga menyoroti fakta bahwa aturan hukum terkait perampasan aset saat ini tersebar di berbagai undang-undang. Ada di UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), dan UU Kejaksaan. Ini menunjukkan bahwa isu perampasan aset bukanlah hal baru, namun memang belum terintegrasi dalam satu payung hukum yang komprehensif.

Oleh karena itu, penting sekali untuk memastikan semua aturan ini, termasuk KUHAP yang baru, bisa harmonis dan tidak tumpang tindih. Sistem hukum yang sinkron akan menciptakan kepastian dan efektivitas. Bayangkan jika setiap UU punya prosedur perampasan aset yang berbeda-beda, pasti akan membingungkan dan rawan celah hukum.

Membangun Kepercayaan Publik dan Keadilan

Masyarakat tentu mendambakan pemberantasan korupsi yang bukan hanya efektif, tetapi juga adil. Sudding memahami betul keinginan publik ini. Menyelesaikan RKUHAP sebelum RUU Perampasan Aset adalah langkah strategis untuk membangun kepercayaan publik terhadap sistem hukum nasional. Ini menunjukkan bahwa negara serius dalam menegakkan hukum, namun tetap menjunjung tinggi keadilan.

"Bukan berarti kita tidak serius dalam mengejar koruptor dan menindak pidana ekonomi. Tapi pendekatannya harus komprehensif," ujar Legislator dari Dapil Sulawesi Tengah itu. Pendekatan komprehensif berarti melihat keseluruhan sistem hukum, tidak hanya fokus pada satu aspek saja.

Langkah Selanjutnya: Prolegnas 2025 dan Harapan

DPR RI dan pemerintah sendiri sebelumnya telah bersepakat untuk segera menyelesaikan proses pembahasan RUU Perampasan Aset pada tahun 2025. Rencananya, RUU ini akan resmi dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas 2025 dalam rapat di Baleg DPR. Sebelumnya, RUU Perampasan Aset sudah masuk dalam Prolegnas jangka menengah 2024-2029.

Ketua Baleg DPR Bob Hasan bahkan sempat mengatakan, "Targetnya tahun ini semuanya harus dibereskan, tetapi kemudian kita ini namanya meaningful." Kata "meaningful" ini penting, artinya tidak hanya selesai, tetapi juga punya makna dan dampak positif yang nyata, bukan sekadar formalitas.

Dengan demikian, perjalanan RUU Perampasan Aset masih panjang dan penuh tantangan. Peringatan dari Sarifuddin Sudding ini menjadi pengingat penting bagi para pembuat kebijakan. Keseimbangan antara efektivitas pemberantasan kejahatan dan perlindungan hak asasi warga negara harus menjadi prioritas utama. Jangan sampai niat baik berujung pada "bom waktu" yang merugikan semua pihak.

Penulis: Arya N

Editor: Santika Reja

Terakhir disunting: September 18, 2025

Promo Akad Nikah Makeup