NEWS TANGERANG– Drama internal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tampaknya belum akan mereda. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Supratman Andi Agtas, baru-baru ini membuat pernyataan tegas terkait pengesahan kepengurusan PPP kubu Muhammad Mardiono. Ia mempersilakan kubu Agus Suparmanto, yang merasa dirugikan, untuk membawa sengketa ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ini sinyal jelas bahwa pemerintah tidak akan ikut campur dalam urusan internal partai, namun juga membuka pintu bagi jalur hukum.
Menkumham Buka Suara: Pemerintah Tak Campuri Urusan Internal
Dalam sebuah kesempatan di Jakarta, Supratman menegaskan posisi pemerintah yang netral. "Pemerintah sama sekali tidak mencampuri apa yang terjadi di urusan internal partai politik," ujarnya, seperti dikutip dari Antara. Pernyataan ini seolah menjadi tameng bagi keputusan Kemenkumham yang telah mengesahkan kepengurusan PPP di bawah pimpinan Muhammad Mardiono. Ini juga menjadi lampu hijau bagi kubu yang tidak puas untuk menempuh jalur hukum.
Supratman menekankan bahwa peran Kemenkumham adalah memastikan kelengkapan administrasi dan kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku. Ia tidak ingin terjebak dalam pusaran konflik internal yang kerap melanda partai politik. Dengan demikian, keputusan yang diambil adalah berdasarkan data dan dokumen yang diserahkan, bukan berdasarkan preferensi politik.
Kilatnya Proses Pengesahan SK Mardiono yang Jadi Sorotan
Supratman menjelaskan bahwa Kemenkumham mengesahkan kepengurusan Mardiono berdasarkan prosedur yang ada. Ia menyebutkan bahwa pendaftaran kepengurusan kubu Mardiono dilakukan pada Selasa, 30 September, melalui Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH). Hanya berselang sehari, pada Rabu, 1 Oktober, Menkumham mengaku telah menerima seluruh dokumen kepengurusan PPP secara lengkap dari Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU). Prosesnya terbilang sangat cepat dan efisien.
"Jam 10.00 pagi saya tanda tangan, tidak ada keberatan sama sekali," ucap Supratman, menggambarkan kecepatan pengambilan keputusan. Ia menambahkan bahwa tidak ada pengaduan dari pihak mana pun atas pendaftaran kepengurusan yang dilakukan oleh kubu Mardiono sebelum SK tersebut diteken. Kecepatan ini, menurut Supratman, adalah bagian dari transformasi pelayanan publik yang diterapkan Kemenkumham.
Ia bahkan membandingkan dengan kasus Golkar dan PKB yang SK-nya keluar dalam hitungan jam. "Jadi kalau ada yang bilang SK-nya keluar terlalu cepat, malah terlalu lambat karena dulu kepengurusan Golkar saya keluarkan SK-nya dua jam setelah ditetapkan, PKB juga tiga jam setelahnya. Partai politik lainnya juga kami perlakukan sama," tuturnya. Ini menunjukkan bahwa kecepatan proses adalah standar pelayanan Kemenkumham, bukan perlakuan khusus.
Klaim "Tidak Ada Masalah Internal" yang Jadi Sorotan
Kemenkumham berpegang pada informasi awal bahwa tidak ada permasalahan internal terkait kepengurusan PPP. Supratman menjelaskan bahwa kubu Agus dan Mahkamah PPP pada awalnya telah menyatakan tidak ada sengketa internal. Hal ini menjadi dasar bagi Kemenkumham untuk memproses dan mengesahkan SK kepengurusan kubu Mardiono tanpa hambatan.
Namun, setelah SK pengesahan kepengurusan Mardiono diterbitkan dan diambil, barulah muncul pihak lain yang mendaftarkan kepengurusan PPP. Inilah yang kemudian memicu polemik dan menjadi akar permasalahan yang semakin memanas. Menkumham menegaskan bahwa sepanjang dokumen kepengurusan yang dibutuhkan sudah dilengkapi, pihaknya akan memproses SK dengan cepat. Ini menunjukkan bahwa fokus Kemenkumham adalah pada kelengkapan administrasi, bukan pada substansi perselisihan internal yang belum dilaporkan secara resmi pada saat itu.
Kubu Agus Menolak Keras: SK Cacat Hukum!
Di sisi lain, Ketua Majelis Pertimbangan PPP, Muhammad Romahurmuziy, yang mewakili kubu Agus Suparmanto, dengan tegas menolak SK yang diteken Menkumham. Rommy, sapaan akrabnya, menyatakan SK tersebut cacat hukum dan tidak sah secara prosedur. Penolakan ini disampaikan Rommy setelah SK Menkumham tentang kepengurusan PPP yang menetapkan Mardiono sebagai Ketua Umum dan Imam Fauzan Amir Uskara sebagai Sekjen beredar di media. Ia menegaskan bahwa seluruh muktamirin dan kader PPP se-Indonesia menolak SK tersebut.
Menurut Rommy, SK tersebut tidak memenuhi delapan poin yang disyaratkan oleh Permenkumham RI No. 34/2017. Secara spesifik, ia menyoroti poin 6 Permenkumham 34/2017 sebagai salah satu pelanggaran krusial. Poin tersebut mensyaratkan adanya "Surat Keterangan tidak dalam Perselisihan Internal Partai Politik dari Mahkamah Partai Politik." Rommy mengklaim bahwa pengajuan SK kepengurusan Mardiono tidak mendapatkan persyaratan penting ini, sehingga menjadikannya tidak valid.
Ketidaksesuaian ini menjadi inti argumen kubu Agus untuk menolak SK tersebut. Mereka berpendapat bahwa tanpa surat keterangan dari Mahkamah Partai, pengesahan kepengurusan oleh Kemenkumham menjadi tidak berdasar. Ini menunjukkan adanya perbedaan interpretasi yang tajam antara Kemenkumham dan kubu Agus mengenai status perselisihan internal PPP pada saat SK diterbitkan.
Tantangan ke PTUN: Babak Baru Konflik PPP?
Dengan adanya perbedaan klaim dan penolakan keras dari kubu Agus, opsi untuk membawa sengketa ini ke PTUN menjadi sangat relevan. Menkumham sendiri telah mempersilakan langkah hukum tersebut, menunjukkan bahwa pemerintah siap menghadapi gugatan di ranah peradilan. PTUN adalah jalur hukum yang tepat untuk menguji keabsahan sebuah Surat Keputusan Tata Usaha Negara, dalam hal ini SK pengesahan kepengurusan partai. Ini akan menjadi medan pertempuran baru bagi kedua kubu PPP.
Jika gugatan di PTUN dikabulkan, maka SK Menkumham bisa dibatalkan atau dinyatakan tidak sah, yang berarti kepengurusan Mardiono akan kembali dipertanyakan. Namun, proses di PTUN bisa memakan waktu dan energi yang tidak sedikit, menambah panjang daftar drama internal partai berlambang Ka’bah ini. Hasil putusan PTUN akan sangat menentukan arah masa depan PPP dan siapa yang berhak memimpin partai ini secara sah.
Mengapa Stabilitas Internal Partai Penting?
Konflik internal partai seperti yang terjadi di PPP ini bukan hanya sekadar perebutan kekuasaan semata. Lebih dari itu, stabilitas internal partai politik sangat krusial bagi kesehatan demokrasi sebuah negara. Partai politik adalah pilar demokrasi yang berfungsi menyalurkan aspirasi rakyat dan menjadi jembatan antara masyarakat dengan pemerintah. Jika internalnya terus bergejolak, fokus partai bisa terpecah dari fungsi utamanya, yaitu berkontribusi pada pembangunan bangsa dan melayani konstituen.
Bagi para kader dan simpatisan di akar rumput, konflik ini tentu menimbulkan kebingungan dan potensi perpecahan. Mereka bisa kehilangan arah dan semangat untuk mendukung partai. Ini pada akhirnya bisa berdampak pada elektabilitas partai di masa depan, mengurangi kepercayaan publik terhadap institusi politik, dan bahkan mengganggu jalannya roda pemerintahan jika partai tersebut merupakan bagian dari koalisi. Oleh karena itu, penyelesaian konflik secara cepat dan adil menjadi sangat penting.
Dengan Menkumham yang telah "lepas tangan" dan mempersilakan jalur hukum, bola panas kini ada di tangan kubu Agus Suparmanto. Apakah mereka akan benar-benar membawa sengketa ini ke PTUN untuk mencari keadilan? Hanya waktu yang akan menjawab bagaimana babak baru konflik PPP ini akan bergulir. Yang jelas, mata publik akan terus tertuju pada dinamika partai berlambang Ka’bah ini, menanti resolusi yang adil dan sesuai hukum, demi stabilitas politik nasional.
Penulis: Arya N
Editor: Santika Reja
Terakhir disunting: Oktober 4, 2025