NEWS TANGERANG– Pengakuan mengejutkan datang dari seorang penyintas kecelakaan truk tambang di Rumpin, Kabupaten Bogor. Devi, nama korban, mengungkap dugaan praktik mengerikan di balik insiden-insiden fatal yang kerap terjadi di jalanan. Ia menuduh sopir truk tambang sengaja membuat korban meninggal dunia demi menekan biaya santunan dan ganti rugi.
Kisah Devi ini bukan sekadar cerita horor, melainkan dugaan "tradisi" gelap yang telah lama berakar di kawasan pertambangan tersebut. Sebuah pengakuan yang mengguncang dan membuka mata tentang sisi kelam di balik aktivitas industri yang padat.
Detik-detik Mengerikan: Kesaksian Devi
Devi sendiri adalah korban selamat dari kecelakaan tragis yang ia alami pada 19 Agustus 2020. Saat itu, ia bersama temannya sedang dalam perjalanan pulang sekolah, melintasi jalanan Rumpin yang padat oleh lalu lalang truk tambang. Mereka hendak berbelok ke SPBU.
Tiba-tiba, sebuah truk tambang menabrak mereka. "Awalnya kan cuma keserempet. Tapi bemper udah kena pinggang. Udah kerasa patah," cerita Devi, yang kini harus duduk di kursi roda, di hadapan Dedi Mulyadi, yang kala itu menjabat Gubernur Jawa Barat.
Teman Devi yang mengemudikan motor sempat kaget dan bengong, syok dengan insiden mendadak itu. Devi berusaha menyadarkannya dengan menepuk-nepuk. Namun, dalam kepanikan, temannya justru refleks melompat meninggalkan sepeda motor dan Devi.
Motor yang tak lagi terkendali itu pun oleng dan terjatuh, membawa Devi ikut terhempas ke aspal. Di sinilah dugaan praktik keji itu terungkap, sebuah momen yang mengubah hidup Devi selamanya.
"Dibablasin" Demi Santunan Murah?
Menurut Devi, saat motornya terjatuh dan ia tergeletak di jalan, sopir truk justru sengaja melanjutkan lajunya. "Si motor jatuh lah ke bawah. Si supir karena udah tahu jatuh, jadi dibablasin," ungkap Devi dengan nada getir.
Alasannya sungguh mencengangkan dan membuat bulu kuduk merinding. "Kalau meninggal kan itu biayanya kayak sedikit," lanjutnya. "Tapi kalau masih selamat, itu berkelanjutan. Jadi dibablasin sama supir."
Ekspresi Dedi Mulyadi, yang kini menjadi anggota DPR RI, tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Ia seolah tak percaya mendengar sisi gelap yang diungkapkan Devi. "Maka kalau meninggal, santunannya kecil?" tanya Dedi, memastikan.
Tradisi Gelap di Kawasan Tambang Rumpin
Devi menegaskan bahwa praktik ini bukan hal baru atau insiden tunggal. "Biasanya pertambangan itu kayak gitu, Pak," katanya, mengisyaratkan bahwa ini adalah semacam "tradisi" atau modus operandi yang umum di kawasan pertambangan Rumpin, Kabupaten Bogor.
Logikanya, menurut Devi, jika korban meninggal dunia di tempat, biaya santunan atau ganti rugi yang harus dikeluarkan oleh sopir atau perusahaan tambang relatif kecil dan bersifat sekali bayar. Namun, jika korban selamat dan mengalami luka berat atau cacat permanen seperti Devi, ganti rugi yang harus dikeluarkan akan jauh lebih besar, berkelanjutan, dan memakan waktu panjang.
Hal ini tentu menjadi beban finansial yang signifikan bagi pihak penabrak. Dugaan ini menguak motif ekonomi di balik tindakan yang sangat tidak manusiawi, mengorbankan nyawa demi menekan biaya.
Krisis Truk Tambang: Masalah Klasik di Bogor
Kisah Devi ini menambah panjang daftar masalah yang ditimbulkan oleh aktivitas truk tambang di Bogor. Persoalan antara warga dan truk tambang memang kerap mencuat dan menjadi sorotan, terutama di Kecamatan Parung Panjang, Rumpin, dan Cigudeg.
Mulai dari kemacetan parah yang melumpuhkan jalanan, polusi udara dan suara yang mengganggu kesehatan, hingga kerusakan infrastruktur jalan yang tak kunjung diperbaiki, semuanya menjadi keluhan sehari-hari warga. Namun, yang paling mengerikan adalah ancaman keselamatan jiwa yang terus menghantui.
Warga sering merasa tak berdaya menghadapi dominasi truk-truk raksasa ini, yang seolah memiliki hak istimewa di jalanan. Kondisi ini menciptakan ketegangan sosial yang tinggi antara masyarakat lokal dan para pekerja tambang.
Tindakan Tegas Pemerintah Provinsi Jawa Barat
Menyikapi krisis yang tak berkesudahan ini, Dedi Mulyadi, saat menjabat Gubernur Jawa Barat, mengambil langkah tegas. Ia menghentikan sementara aktivitas pertambangan di wilayah tersebut. Sebuah keputusan yang berani dan sempat menuai pro-kontra.
Surat bernomor 7920/ES.09/PEREK yang ditandatangani Dedi memerintahkan penghentian kegiatan usaha pertambangan sejak 26 September 2023 hingga waktu yang tidak ditentukan. Ini adalah upaya untuk memberikan jeda dan mencari solusi komprehensif.
Alasan penghentian ini sangat jelas dan mendesak: permasalahan aspek lingkungan dan keselamatan yang akut. Ini menyebabkan terganggunya ketertiban umum, kemacetan parah, polusi yang membahayakan, kerusakan infrastruktur jalan dan jembatan, serta potensi terjadinya kecelakaan yang terus meningkat. Selain itu, pelaksanaan tata kelola kegiatan tambang termasuk rantai pasok dinilai masih belum sesuai dengan amanat surat edaran sebelumnya dan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
Korban Berjatuhan: Angka yang Mengerikan
Keputusan penghentian tambang ini sempat menuai penolakan keras dari para penambang hingga sopir truk yang merasa dirugikan secara ekonomi. Namun, Dedi Mulyadi punya argumen kuat yang tak terbantahkan, sebuah data yang berbicara tentang nyawa.
"Tetapi Anda juga harus paham, dari 2019 sampai 2024 ada 195 orang meninggal di jalanan karena terlindas truk, tersenggol, bertabrakan," kata Dedi dalam sebuah video yang diunggahnya. "Ada 104 luka berat."
Ia kemudian melontarkan pertanyaan retoris yang menohok, menyoroti dampak sosial yang masif dari insiden-insiden ini. "Pertanyaannya adalah, ke mana Anda semua ketika banyak anak-anak yang kehilangan bapaknya?" Sebuah pertanyaan yang seharusnya membuat semua pihak merenung.
Mencari Titik Temu: Antara Ekonomi dan Nyawa
Kisah Devi, angka-angka korban yang mengerikan, dan penghentian aktivitas tambang ini menjadi pengingat pahit bagi kita semua. Di satu sisi, industri tambang adalah roda penggerak ekonomi yang menyediakan lapangan kerja dan pendapatan. Namun, di sisi lain, keselamatan dan nyawa warga sipil tak bisa ditawar atau dianggap remeh.
Pemerintah daerah dan pusat kini dihadapkan pada tantangan besar. Mereka harus menemukan solusi komprehensif yang bisa menyeimbangkan kepentingan ekonomi dengan perlindungan hak hidup dan kesejahteraan masyarakat. Penegakan hukum yang tegas, regulasi yang lebih ketat, serta pengawasan yang konsisten adalah kunci untuk mengakhiri "tradisi" gelap dan krisis kemanusiaan di jalanan Bogor ini.
Penulis: Arya N
Editor: Santika Reja
Terakhir disunting: Oktober 4, 2025