Seedbacklink affiliate
Opini  

Subsidi Rp1.700 Buat Rakyat Kecil, Rp30.000 Buat yang Punya Mobil Mewah, Kok Bisa?

Mentri Keuangan RI Purbaya Yudhi Sadewa saat Memberikan Keterangan di DPR
Mentri Keuangan RI Purbaya Yudhi Sadewa. Foto: Kemenkeu Biro
banner 120x600

NEWS TANGERANG– Bayangkan Kamu seorang tukang ojek yang setiap hari harus isi Pertalite. Pagi-pagi buta sudah standby di pangkalan, siang terik-terikan ngantar penumpang, malam masih ngojek buat tambal setoran. Setiap kali ke SPBU, dompet terasa makin tipis. Lalu Kamu dengar kabar: pemerintah kasih subsidi BBM! Wah, syukurlah, pikir Kamu. Mungkin beban bisa sedikit ringan.

Eh, tunggu dulu.

Minggu ini, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa turun gunung dengan paparan yang bikin hati panas dingin. Beliau membongkar habis-habisan berapa sih sebenarnya subsidi yang dikasih negara untuk rakyat. Dan begitu angkanya keluar, jangan salahkan kalau banyak orang langsung kesal sambil tepuk jidat.

Pertalite yang Kamu andalkan setiap hari? Subsidinya cuma Rp1.700 per liter. Ya, seribu tujuh ratus rupiah. Bahkan nggak cukup buat beli sebungkus kopi sachet. Harga keekonomiannya Rp11.700 per liter, tapi kita bayar Rp10.000. Subsidinya? Cuma 15%. Lima belas persen! Angka yang bahkan lebih kecil dari potongan diskon di e-commerce pas hari biasa.

Sementara itu, di ujung kota sana, ada pengusaha yang punya tiga truk pengangkut barang. Setiap hari truknya isi solar. Dan tahu berapa subsidi yang dia dapat? Rp5.150 per liter, atau 43% dari harga keekonomian! Truknya ngisi 100 liter? Dia dapat subsidi lebih dari setengah juta rupiah sekali isi. Sehari bisa beberapa kali. Kamu? Masih berjuang dengan subsidi Rp1.700 yang bahkan nggak cukup buat bayar parkir.

Rasanya gimana? Kesal? Marah? Atau malah pasrah sambil senyum meringis?

Tapi cerita belum selesai…

Sekarang coba bayangkan tetangga Kamu yang punya rumah dua lantai, mobil di garasi, tapi tetap pakai LPG 3 kg. Kenapa? Karena murah. Bahkan gratis kalau dibandingkan dengan yang 12 kg. Harga keekonomian LPG 3 kg itu Rp42.750 per tabung. Tapi di pangkalan? Dijual cuma Rp12.750. Subsidinya? Tujuh puluh persen! Rp30.000 per tabung!

Tiga puluh ribu rupiah!

Bandingkan dengan subsidi Pertalite yang cuma Rp1.700. Kamu yang ojek online dapat subsidi hampir nggak kerasa, sementara tetangga yang mampu beli gas 12 kg malah dengan santainya pakai gas 3 kg karena subsidinya gede banget. Logika mana yang ini?

Dan yang lebih bikin gregetan, Menteri Purbaya sendiri mengakui—dengan nada agak malu-malu tapi tetap lantang—bahwa “bahkan kelompok masyarakat mampu pun telah merasakan manfaat dari subsidi ini.” Diakui! Resmi dari mulut pejabat negara! Bahwa subsidi yang harusnya buat rakyat kecil, ternyata juga dinikmati sama yang nggak butuh.

Kamu merasa dikhianati? Wajar. Karena memang ini namanya pengkhianatan sistem.
Cerita belum berhenti di LPG. Ada lagi listrik 900 VA bersubsidi. Ini sebenarnya kebijakan yang bagus. Rakyat kecil bayar Rp600 per kWh, padahal harga keekonomiannya Rp1.800 per kWh. Subsidinya 67% atau Rp1.200 per kWh. Tapi sekali lagi, pertanyaannya: apa benar yang pakai cuma yang berhak? Atau malah ada yang punya rumah luas tapi “nebeng” listrik bersubsidi sambil AC-nya nyala seharian semalam?

Ada lagi subsidi pupuk: 59% untuk Urea, 78% untuk NPK. Bagus banget buat petani kecil yang cuma punya sawah sepetak dua petak. Tapi kenyataannya? Pupuk bersubsidi sering keburu diborong tengkulak, lalu dijual lagi dengan harga selangit. Petani kecil yang harusnya dibantu malah harus beli pupuk dengan harga mahal. Yang untung? Ya tengkulak yang pintar main sistem.
Kamu mulai lelah membaca ini? Marah? Atau malah sudah mulai pasrah karena merasa nggak ada yang bisa diubah? Wajar. Karena kenyataannya memang seperti ini. Subsidi ada, besar, tapi nyasarnya kemana-mana.

Yang paling menyakitkan adalah pengakuan jujur dari pemerintah sendiri. Mereka bilang akan “terus berupaya meningkatkan ketepatan sasaran subsidi agar lebih merata.” Kata kuncinya: TERUS BERUPAYA. Artinya apa? Artinya sampai detik ini, subsidi yang dikasih masih kacau balau. Masih banyak yang nyasar. Masih banyak yang salah alamat.

Ibarat mau kasih sedekah ke fakir miskin, eh malah yang datang tuan tanah pakai mobil mewah. Dan fakir miskinnya? Masih antri di belakang, sambil gigit jari, sambil berharap ada sisa.
Kamu kenal kan perasaan itu? Perasaan sudah kerja keras tapi nggak dihargai. Perasaan sudah bayar pajak tapi nggak dapat balasannya. Perasaan hidup susah tapi subsidi malah jatuh ke yang hidupnya enak. Itulah yang dirasakan jutaan rakyat kecil negeri ini setiap hari.

Jadi sekarang pertanyaannya bukan lagi “kapan subsidi tepat sasaran?” Pertanyaannya adalah: “apa pemerintah benar-benar peduli untuk memperbaikinya, atau cuma janji manis yang diulang-ulang tiap tahun?”

Karena kalau cuma “terus berupaya” tanpa hasil nyata, maka subsidi ini cuma jadi ladang empuk buat yang pintar memanfaatkan celah. Sementara rakyat kecil yang seharusnya jadi prioritas? Tetap gigit jari. Tetap pasrah. Tetap hidup susah.

Kamu berhak marah. Kamu berhak menuntut. Karena ini bukan cuma soal angka di atas kertas. Ini soal keadilan. Ini soal kehormatan rakyat kecil yang selama ini jadi tumbal sistem yang carut-marut.
Subsidi Rp1.700 buat yang kerja keras tiap hari. Subsidi Rp30.000 buat yang rumahnya sudah nyaman.

Ini bukan subsidi, ini penghinaan.

Jadi, apa yang harus dilakukan? Pemerintah harus berhenti bersembunyi di balik kata “berupaya”. Harus ada tindakan nyata. Harus ada perbaikan sistem yang konkret. Karena kalau tidak, subsidi ini cuma jadi dongeng pengantar tidur yang nggak pernah jadi kenyataan.
Dan rakyat kecil? Masih harus bangun pagi, masih harus kerja keras, masih harus berjuang sendirian. Dengan subsidi Rp1.700 yang bahkan nggak cukup buat beli sebungkus kopi.
Sampai kapan?

Catatan Redaksi: Artikel ini ditulis untuk mengkritisi kebijakan subsidi yang masih carut-marut dalam hal ketepatan sasaran. Kami mendukung kebijakan yang pro-rakyat, asalkan benar-benar sampai ke rakyat yang membutuhkan. Data dan fakta diambil dari pernyataan resmi Menteri Keuangan RI.

Penulis: Santika Reja

Editor: Santika Reja

Terakhir disunting: September 30, 2025

Promo Akad Nikah Makeup