Seedbacklink affiliate

Jutaan Nyawa Terancam di Jalan? Lampu Merah Indonesia Ternyata Belum Aman untuk Semua! Ini Kata MK

Simulasi perbedaan warna lampu lalu lintas bagi penderita buta warna.
Bagaimana penderita buta warna melihat lampu lalu lintas? Simak selengkapnya.
banner 120x600

NEWS TANGERANG– Setiap hari, kita melaju di jalan raya, berhenti saat lampu merah menyala, dan kembali tancap gas ketika hijau. Lampu lalu lintas, atau yang akrab kita sebut ‘lampu merah’, seolah menjadi penjaga ritme kota, mengatur arus kendaraan demi keselamatan bersama. Namun, pernahkah kamu membayangkan jika instrumen sepenting ini justru menyimpan bahaya tersembunyi bagi jutaan orang di sekitar kita?

Ternyata, alat pemberi isyarat lalu lintas (APILL) yang kita kenal selama ini belum sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan penyandang buta warna. Ini adalah fakta mengejutkan yang mungkin belum banyak disadari, padahal dampaknya bisa sangat fatal di jalan raya.

Bukan sekadar masalah kecil, isu ini menyoroti celah serius dalam infrastruktur jalan kita yang seharusnya inklusif dan aman untuk semua. Dengan jutaan warga Indonesia yang menyandang buta warna parsial, pertaruhan keselamatan mereka sangatlah besar.

Bukan Sekadar Merah-Kuning-Hijau: Bahaya yang Tak Terlihat

Bagi sebagian besar dari kita, membedakan warna merah, kuning, dan hijau di lampu lalu lintas adalah hal yang sangat mudah. Merah berarti berhenti, hijau berarti jalan. Sesederhana itu. Namun, bagi penyandang buta warna, terutama buta warna parsial, realitasnya jauh lebih kompleks dan berisiko.

Muhamad Akbar, seorang pemerhati transportasi, menjelaskan bahwa posisi lampu memang bisa jadi petunjuk: lampu di atas merah, di bawah hijau. Tapi, coba bayangkan skenario di jalan raya yang padat, apalagi saat malam hari atau ketika hujan deras. Pantulan cahaya, silau, dan keterbatasan jarak pandang bisa bikin penafsiran warna jadi keliru.

Ini bukan fiksi. Dengan 5-8% pria menyandang buta warna parsial, diperkirakan lebih dari delapan juta orang di Indonesia menghadapi tantangan ini setiap hari. Mereka harus menebak-nebak atau mengandalkan insting di persimpangan jalan yang rawan kecelakaan.

Bayangkan saja, ketika kondisi jalan tidak ideal, kesalahan penafsiran warna bisa berujung pada tabrakan fatal. Ini bukan hanya tentang ketidaknyamanan, tapi tentang keselamatan jiwa yang dipertaruhkan setiap kali mereka melintasi lampu merah.

Buta Warna: Lebih dari Sekadar Tidak Melihat Warna

Penting untuk dipahami, buta warna parsial berarti kesulitan membedakan warna tertentu, umumnya merah dan hijau. Warna-warna ini sering terlihat serupa atau kusam bagi mereka, bukan berarti dunia hitam putih.

Di lampu lalu lintas, merah dan hijau adalah dua warna paling krusial. Jika seseorang tidak bisa membedakan keduanya dengan cepat dan akurat, bagaimana mereka bisa membuat keputusan yang tepat dalam hitungan detik? Ini adalah dilema serius yang seringkali diabaikan dalam perencanaan infrastruktur kita.

Kondisi ini diperparah dengan desain lampu lalu lintas yang seragam, tanpa bentuk, pola, atau sinyal tambahan sebagai alternatif petunjuk. Ini adalah bentuk ketidakadilan yang tidak disengaja, namun dampaknya nyata dan berbahaya bagi jutaan warga.

Perjuangan di Mahkamah Konstitusi: Gugatan yang Mengguncang

Menyadari bahaya laten ini, dua wartawan penyandang buta warna parsial, Singgih Wiryono dan Yosafat Diva Bayu Wisesa, memutuskan untuk tidak tinggal diam. Mereka mengajukan pengujian materiil terhadap Pasal 25 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Gugatan mereka bukan main-main. Mereka meminta MK menguji keabsahan sistem lampu lalu lintas (APILL) yang hanya mengandalkan warna. Menurut mereka, sistem ini diskriminatif dan tidak menjamin keselamatan bagi penyandang disabilitas visual, termasuk mereka yang buta warna.

Ini adalah langkah berani yang menyoroti betapa pentingnya inklusivitas dalam setiap aspek kehidupan. Mereka berharap, melalui jalur hukum, pemerintah akan tergerak untuk menciptakan sistem yang lebih adil dan aman bagi semua warganya.

MK Menolak, Tapi Ada ‘Amanat’ Penting untuk Pemerintah!

Setelah melalui proses persidangan, MK akhirnya menolak permohonan uji materi tersebut. Dalam Putusan Nomor 149/PUU-XXIII/2025, majelis hakim memang tidak mengubah bunyi undang-undang yang ada. Namun, penolakan ini bukan berarti perjuangan mereka sia-sia. Justru sebaliknya, putusan MK memuat amanat yang sangat penting dan progresif.

Wakil Ketua MK, Arsul Sani, menegaskan bahwa pelaksanaan aturan tersebut harus memperhatikan keselamatan penyandang disabilitas visual. Ini termasuk mereka yang mengalami buta warna parsial. MK memerintahkan pemerintah untuk melengkapi sarana dan prasarana lalu lintas yang melindungi dan memberikan rasa aman bagi mereka.

Lebih lanjut, MK secara eksplisit menyebutkan perlunya menyediakan alat pemberi isyarat lalu lintas yang mengakomodasi kebutuhan penyandang defisiensi penglihatan warna. Ini adalah penegasan kuat dari lembaga tinggi negara bahwa negara tidak boleh abai terhadap kebutuhan kelompok rentan.

Artinya, meskipun undang-undang tidak diubah, interpretasi dan implementasinya wajib inklusif. Pemerintah kini memiliki "pekerjaan rumah" besar untuk memastikan kebijakan teknis dan infrastruktur jalan mengakomodasi kebutuhan penyandang buta warna. Ini adalah kemenangan moral yang membuka jalan bagi perubahan nyata.

Tantangan Nyata: Akankah Pemerintah Bertindak?

Muhamad Akbar menilai, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 149/PUU-XXIII/2025 bukanlah akhir dari cerita. Justru, ini adalah awal dan ujian nyata bagi komitmen pemerintah dalam memenuhi hak-hak konstitusional warganya. Negara diingatkan untuk tidak lagi abai terhadap kebutuhan kelompok penyandang disabilitas visual, sekecil apa pun itu.

Konstitusi kita sudah jelas menjamin setiap warga negara berhak atas rasa aman dan perlindungan, termasuk di jalan raya. Pertanyaannya kini, apakah pemerintah benar-benar siap untuk menindaklanjuti putusan tersebut dengan kebijakan konkret? Atau, apakah putusan ini hanya akan menjadi catatan hukum tanpa makna yang terabaikan?

Solusi Inovatif untuk Lampu Lalu Lintas Inklusif

Sebenarnya, ada banyak solusi inovatif yang bisa diterapkan untuk membuat lampu lalu lintas lebih inklusif. Beberapa negara sudah mulai mengadopsi sistem yang lebih ramah bagi penyandang buta warna. Misalnya, dengan menambahkan bentuk geometris pada lampu (lingkaran untuk hijau, segitiga untuk kuning, kotak untuk merah) atau menggunakan pola cahaya yang berbeda.

Sinyal suara atau vibrasi pada tiang lampu, terutama di persimpangan pejalan kaki, juga bisa jadi alat bantu. Teknologi sensor dan aplikasi pintar di ponsel pun dapat memberikan informasi warna lampu secara real-time. Semua ini bukan mustahil, hanya butuh kemauan dan komitmen.

Pemerintah, melalui kementerian terkait seperti Kementerian Perhubungan dan Pekerjaan Umum, serta pemerintah daerah, memiliki peran krusial di

Penulis: Farah Novianti

Editor: Santika Reja

Terakhir disunting: September 24, 2025

Promo Akad Nikah Makeup