Seedbacklink affiliate

KSP Tegas: Pejabat Stop Pamer Strobo & Flexing! Contoh Presiden Prabowo, Hormati Rakyat!

Mobil hitam berplat nomor B 1185 ZF dengan lampu strobo biru menyala di jalan.
Penggunaan strobo oleh pejabat jadi sorotan.
banner 120x600

NEWS TANGERANG– Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Muhammad Qodari, baru-baru ini melontarkan peringatan keras bagi para pejabat publik di Indonesia. Intinya sederhana: bijaklah dalam bertindak, terutama soal penggunaan sirine dan strobo. Menurutnya, pejabat itu seharusnya jadi panutan di jalan, bukan malah bikin pengguna jalan lain merasa terganggu atau bahkan risih.

Pesan ini bukan cuma omongan kosong. Qodari mengutip Mensesneg dan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto yang juga sepakat. Mereka menekankan pentingnya mencontoh Presiden Prabowo Subianto yang dikenal sangat menghormati pengguna jalan lain, bahkan saat berkendara.

Pejabat Publik: Contoh atau Bikin Risih?

Sikap ini penting karena mencerminkan etika dan empati seorang pemimpin. Ketika seorang pejabat menggunakan fasilitas negara secara berlebihan, apalagi sampai mengganggu kenyamanan publik, itu bisa merusak kepercayaan masyarakat. Padahal, kepercayaan adalah modal utama dalam pemerintahan.

Qodari sendiri memberikan contoh nyata. Ia mengaku jarang sekali memakai strobo, bahkan saat masih menjabat Wakil Kepala Staf Kepresidenan. Ia lebih sering memilih untuk menyetir sendiri, menunjukkan bahwa jabatan tinggi tidak selalu berarti harus selalu diistimewakan di jalan.

Tentu saja, ada pengecualian. Strobo kadang dipakai jika memang ada kondisi mendesak, misalnya harus mengejar rapat penting yang waktunya sangat mepet. Namun, itu adalah kondisi tertentu, bukan kebiasaan sehari-hari yang bisa seenaknya digunakan untuk memotong antrean atau menerobos lalu lintas.

Ketika Strobo Jadi Sorotan: Lebih dari Sekadar Lampu

Isu penggunaan strobo dan sirine oleh kendaraan sipil, bahkan yang dikendarai pejabat, memang sedang hangat diperbincangkan. Publik, terutama di media sosial, ramai-ramai menyuarakan gerakan "Setop Tot, Tot, Wuk, Wuk". Gerakan ini lahir dari kejengkelan masyarakat terhadap kendaraan-kendaraan yang seenaknya menggunakan alat isyarat tersebut tanpa hak.

Fenomena ini bukan sekadar masalah lalu lintas biasa. Ini mencerminkan ketimpangan dan arogansi yang sering dirasakan masyarakat dari sebagian pejabat. Lampu biru atau sirine yang menyala seolah menjadi simbol kekuasaan yang bisa menerobos aturan, padahal seharusnya semua warga negara punya hak yang sama di jalan.

Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri Irjen Pol. Agus Suryonugroho pun merespons keluhan publik ini dengan serius. Ia membekukan sementara penggunaan sirine dan strobo untuk kendaraan yang tidak berhak. Namun, alat isyarat ini masih diperbolehkan untuk kegiatan patroli dan pengaturan lalu lintas oleh pihak berwenang.

Gaya Hidup Pejabat: Antara Sederhana dan ‘Flexing’

Selain urusan strobo, Qodari juga menyinggung topik sensitif lainnya: gaya hidup pejabat. Ia menegaskan pentingnya hidup sederhana dan tidak pamer kemewahan di depan publik, atau yang sering disebut "flexing". Fenomena flexing ini memang sedang marak, dan pejabat publik tidak boleh ikut-ikutan.

Mengapa demikian? Karena masyarakat tahu betul, anggaran untuk pejabat itu berasal dari uang negara. Dan uang negara itu, pada dasarnya, adalah hasil pajak yang dibayarkan oleh rakyat. Ketika pejabat pamer kemewahan, muncul sentimen negatif dari masyarakat, seperti "gue susah-susah, lu seneng-seneng."

Sentimen ini sangat berbahaya karena bisa mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah. Rakyat yang setiap hari berjuang mencari nafkah, membayar pajak, tentu tidak ingin melihat wakilnya hidup bergelimang harta tanpa empati. Kesederhanaan bukan hanya soal penampilan, tapi juga tentang integritas dan rasa tanggung jawab.

Suara Rakyat: Gerakan ‘Setop Tot, Tot, Wuk, Wuk’

Gerakan "Setop Tot, Tot, Wuk, Wuk" adalah manifestasi dari suara rakyat yang ingin keadilan dan kesetaraan di jalan. Ini bukan hanya tentang suara sirine yang bising, tapi tentang prinsip bahwa tidak ada yang kebal hukum atau lebih istimewa dari yang lain. Masyarakat mendambakan pemimpin yang membumi, yang merasakan apa yang mereka rasakan.

Media sosial menjadi platform utama bagi gerakan ini untuk menyuarakan aspirasinya. Video-video pengendara yang arogan dengan strobo seringkali viral, memicu diskusi dan kemarahan publik. Ini menunjukkan bahwa masyarakat kini semakin kritis dan berani menyuarakan ketidakadilan yang mereka alami.

Respon dari Kakorlantas Polri dengan membekukan penggunaan strobo sementara adalah langkah positif. Ini menunjukkan bahwa pemerintah mendengarkan suara rakyat dan berupaya untuk menindaklanjuti keluhan tersebut. Namun, implementasi dan pengawasan di lapangan harus terus diperketat agar kebijakan ini tidak hanya menjadi wacana.

Membangun Kepercayaan: Pejabat untuk Rakyat

Pesan Qodari ini adalah pengingat penting bagi semua pejabat publik. Menjadi seorang pemimpin berarti menjadi pelayan masyarakat, bukan sebaliknya. Pejabat perlu lebih banyak mendengar suara rakyat, berempati dengan kondisi masyarakat, dan tidak menjadi "buta dan tuli" terhadap masalah di sekitar.

Integritas dan kesederhanaan adalah kunci untuk membangun kembali kepercayaan publik. Ketika pejabat menunjukkan sikap rendah hati, tidak pamer kekayaan, dan menghormati aturan, masyarakat akan merasa dihargai dan diwakili dengan baik. Ini adalah fondasi penting untuk pemerintahan yang kuat dan stabil.

Pada akhirnya, isu strobo dan gaya hidup mewah pejabat ini bukan sekadar masalah kecil. Ini adalah cerminan dari bagaimana pejabat memandang diri mereka dan bagaimana mereka berinteraksi dengan rakyat yang mereka layani. Mari berharap, peringatan dari KSP ini bisa menjadi momentum bagi perubahan positif, di mana pejabat benar-benar menjadi contoh dan pelayan sejati bagi bangsa.

Penulis: Farah Novianti

Editor: Santika Reja

Terakhir disunting: September 24, 2025

Promo Akad Nikah Makeup