NEWS TANGERANG– Pernahkah kamu lagi asyik nyetir atau naik motor, tiba-tiba dari belakang ada suara sirene "tot tot wuk wuk" yang bikin jantung deg-degan dan langsung panik cari celah? Nah, fenomena strobo dan sirene yang sering dipakai pejabat ini ternyata nggak cuma bikin kita kaget, tapi juga jadi sorotan tajam dari pengamat politik Rocky Gerung. Menurutnya, suara bising itu justru bikin orang jadi stres, lho!
Rocky Gerung memang dikenal dengan komentar-komentarnya yang pedas dan blak-blakan. Kali ini, ia mengomentari penggunaan strobo dan sirene ‘Tot Tot Wuk Wuk’ yang marak di Indonesia. Ia melihatnya sebagai pemicu stres bagi para pengguna jalan lain yang harus berhadapan dengan kebisingan dan intimidasi di tengah kemacetan.
Bukan Merdu, Malah Bikin Panik: Suara ‘Tot Tot Wuk Wuk’ yang Mengganggu
Bayangkan saja, setiap hari kita sudah pusing dengan macet, deadline pekerjaan, atau tugas kuliah yang menumpuk. Lalu, ditambah lagi dengan suara sirene yang memekakkan telinga, seolah memaksa kita menyingkir tanpa ampun. Rocky Gerung menilai bahwa fasilitas yang seharusnya bersifat darurat ini justru disalahgunakan dan mengganggu kenyamanan publik.
"Mereka yang memanfaatkan fasilitas itu membuat publik terganggu. Setiap hari orang jadi stres di jalan hanya karena tetot-tetot," ujar Rocky, seperti dilansir laman Korlantas Polri. Pernyataannya ini seolah mewakili keluh kesah banyak orang yang merasa terintimidasi di jalan raya.
Filosofi Sirene yang Terdistorsi: Dari Bujuk Rayu Jadi Kebisingan Kota
Rocky Gerung juga menyoroti makna filosofis dari sirene itu sendiri. Dalam mitologi Yunani kuno, sirene digambarkan sebagai makhluk yang memikat pelaut dengan suara merdu mereka. Suara itu seharusnya menenangkan atau memberi isyarat penting, bukan menakutkan atau memicu kepanikan.
Namun, di era modern ini, ketika bunyi sirene mendominasi kota, yang terjadi justru kebalikannya. Bukan lagi ketertiban atau bujuk rayu yang menenangkan, melainkan kebisingan yang mengganggu dan memicu stres. "Sirene mestinya bunyi merdu, bukan menakutkan," tegas Rocky, menyayangkan pergeseran makna ini.
Apresiasi untuk Kakorlantas: Langkah Berani Sebelum Tuntutan Membesar
Melihat kondisi ini, Rocky Gerung menyambut baik langkah Kakorlantas Polri Agus Suryonugroho yang membekukan sementara penggunaan strobo dan sirene pada pengawalan pejabat. Baginya, ini adalah langkah yang tepat dan proaktif sebelum masyarakat sipil melayangkan tuntutan yang lebih besar dan meluas.
"Saya setuju bahwa tetot-tetot dihentikan mulai hari ini. Selanjutnya kita ingin mendengar nyanyian masyarakat sipil bahwa jalan raya artinya jalan peradaban," tambah Rocky. Ini menunjukkan harapannya agar jalan raya kembali menjadi ruang publik yang beradab, di mana semua pengguna jalan saling menghormati dan tidak ada yang merasa diistimewakan secara berlebihan.
Lebih dari Sekadar Bising: Bahaya Strobo dan Sirene Menurut Ahli Keselamatan
Pendapat Rocky Gerung ini juga diamini oleh praktisi keselamatan berkendara. Jusri Pulubuhu, yang juga Instruktur Jakarta Defensive Driving Consultant (JDDC), menjelaskan bahwa penggunaan strobo dan sirene yang sembarangan memang punya banyak dampak negatif. Ini bukan cuma soal kenyamanan, tapi juga keselamatan.
Ancaman Keselamatan di Jalan
Dari sisi keselamatan, strobo yang terlalu terang dan sirene yang terlalu keras bisa sangat mengganggu konsentrasi pengendara lain. Bayangkan, saat kamu fokus mengemudi, tiba-tiba ada kilatan cahaya terang dan suara bising yang mendadak. Ini bisa membuat refleksmu terganggu, pandangan terpecah, dan berpotensi menyebabkan kesalahan fatal.
Jusri menjabarkan bahwa gangguan ini bisa menyebabkan kecemasan, kepanikan, atau bahkan stres mendadak pada pengendara lain. "Menyebabkan kecemasan/kepanikan/stress mendadak sehingga berisiko menimbulkan kecelakaan," terangnya. Dalam situasi lalu lintas padat, sepersekian detik saja bisa menentukan antara aman atau celaka.
Intimidasi dan Dampak Psikologis
Nggak cuma itu, strobo dan sirene juga seringkali terasa intimidatif. Pengguna jalan lain merasa dipaksa untuk menyingkir, bahkan jika kondisi tidak memungkinkan atau membahayakan. Ini menciptakan semacam hierarki di jalan, di mana "yang punya strobo dan sirene" seolah punya hak lebih.
Jusri juga menyoroti bahaya bagi pengguna jalan yang sensitif terhadap cahaya atau suara. Bagi mereka, paparan strobo dan sirene bisa memicu migrain, kejang, atau gangguan kesehatan lainnya yang serius. Ini adalah aspek yang seringkali terabaikan dalam diskusi publik.
Aspek Hukum yang Sering Terabaikan
Dari sisi hukum, sebenarnya penggunaan lampu sirene dan strobo sudah diatur dalam undang-undang. Artinya, tidak semua kendaraan boleh menggunakannya, dan ada prosedur serta kondisi tertentu yang harus dipenuhi. Namun, dalam praktiknya, seringkali aturan ini dilanggar atau disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak berwenang.
Pelanggaran terhadap aturan ini bukan hanya soal etika, tapi juga bisa berujung pada sanksi hukum. Penting bagi semua pihak, terutama para pejabat dan pengawal, untuk memahami dan mematuhi regulasi yang ada demi menciptakan ketertiban dan keselamatan bersama di jalan raya.
Refleksi Bersama: Menuju Jalan Raya yang Lebih Beradab dan Nyaman
Diskusi yang diangkat Rocky Gerung dan Jusri Pulubuhu ini mengajak kita semua untuk merenung. Apakah jalan raya kita sudah mencerminkan "jalan peradaban" seperti yang diimpikan? Atau justru menjadi arena adu kuat dan pamer privilese? Penggunaan strobo dan sirene yang tidak pada tempatnya bukan hanya masalah teknis, tapi juga cerminan budaya dan etika berlalu lintas kita.
Langkah Kakorlantas untuk membekukan sementara penggunaan fasilitas ini adalah awal yang baik. Namun, perubahan yang lebih fundamental membutuhkan kesadaran dari semua pihak, terutama mereka yang memiliki kekuasaan dan fasilitas. Mari kita ciptakan jalan raya yang lebih aman, nyaman, dan beradab bagi semua, di mana suara merdu kebersamaan lebih dominan daripada bisingnya intimidasi.
Pada akhirnya, jalan raya adalah milik bersama. Setiap pengguna jalan punya hak dan kewajiban yang sama. Dengan saling menghormati dan mematuhi aturan, kita bisa mengurangi stres di jalan dan menciptakan lingkungan berkendara yang lebih positif. Jadi, mari kita akhiri era "tot tot wuk wuk" yang bikin panik, dan sambut "jalan peradaban" yang lebih damai.
Penulis: Farah Novianti
Editor: Santika Reja
Terakhir disunting: September 25, 2025