Seedbacklink affiliate

HEBOH! Tuntutan Jaksa Kasus Tabrak Lari Maut Lansia Bikin Keluarga Korban Meradang: Keadilan di Mana?

Terdakwa Ivon Setia Anggara dikawal usai sidang pledoi kasus tabrak lari maut.
Ivon Setia Anggara usai menjalani sidang pledoi di pengadilan.
banner 120x600

NEWS TANGERANG– Kasus tabrak lari maut yang menewaskan Supardi (82) di Perumahan Taman Grisenda, Kapuk Muara, Penjaringan, kembali jadi sorotan tajam. Sidang pembelaan (pledoi) terdakwa Ivon Setia Anggara (65) pada Kamis (25/09/2025) justru memicu kekecewaan mendalam dari keluarga korban dan tim kuasa hukumnya. Mereka merasa tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terlalu ringan dan tidak mencerminkan keadilan.

Tuntutan Ringan yang Bikin Geleng-Geleng Kepala

Madsanih Manong, S.H., M.H., selaku kuasa hukum keluarga korban, tak bisa menyembunyikan rasa frustrasinya. Ia menilai tuntutan penjara 1 tahun 6 bulan yang diajukan JPU itu "tidak masuk akal" dan sangat jauh dari harapan keadilan. Angka ini terasa sangat kecil dibandingkan dengan kerugian yang tak ternilai bagi keluarga yang ditinggalkan.

Menurut Madsanih, proses hukum sejak awal sudah terasa janggal dan mengecewakan. Dari tahap penyidikan polisi, terdakwa hanya diberikan status tahanan kota. Kemudian, saat penuntutan jaksa, status tahanan kota itu kembali diberikan.

"Semua itu melukai rasa keadilan keluarga," tegas Madsanih. Bagi keluarga, ini bukan sekadar kasus hukum biasa, melainkan tragedi yang menyisakan luka mendalam dan rasa ketidakadilan yang membakar.

Fakta Persidangan vs. Tuntutan Jaksa: Ada Apa?

Madsanih menjelaskan, fakta persidangan sebenarnya sudah sangat jelas menunjukkan kelalaian serius dari terdakwa Ivon. Keterangan saksi-saksi di lokasi kejadian dan bukti rekaman CCTV memperkuat bahwa Ivon lalai hingga menyebabkan nyawa Supardi (82) melayang. Bukti-bukti ini seharusnya menjadi dasar kuat untuk tuntutan yang lebih berat.

Namun, ironisnya, JPU hanya menuntut 1,5 tahun penjara. Padahal, ancaman maksimal untuk kasus semacam ini adalah 6 tahun, sesuai dengan Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Perbedaan yang mencolok ini menimbulkan banyak pertanyaan di benak keluarga korban dan publik.

Kesenjangan antara bukti yang ada dan tuntutan yang diajukan jaksa membuat keluarga merasa ada yang tidak beres. Mereka menduga ada faktor lain di balik tuntutan ringan ini yang perlu diusut tuntas. Transparansi dan akuntabilitas dalam proses hukum menjadi taruhan.

Langkah Tegas Keluarga Korban: Lapor ke Pusat!

Merasa ada kejanggalan serius, tim kuasa hukum bersama keluarga korban tidak tinggal diam. Mereka berencana melayangkan pengaduan resmi ke Bidang Pengawasan Kejaksaan (Aswas) dan Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas). Ini adalah langkah serius untuk mencari keadilan yang mereka rasa tidak didapatkan di tingkat bawah.

Mereka meminta pembentukan tim khusus untuk mengusut tuntas kinerja JPU dan atasan yang menangani perkara ini. Tujuannya jelas: mengungkap apakah ada penyimpangan atau kelalaian dalam penanganan kasus ini. Harapannya, pengawasan dari pusat bisa membawa titik terang dan keadilan.

"Ini bukan hanya soal tuntutan ringan, tetapi juga soal integritas proses hukum," imbuh Madsanih. Ia menekankan bahwa kasus ini adalah ujian bagi seluruh sistem hukum di Indonesia. Jika prosesnya terkesan ‘main-main’ atau tidak transparan, kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum bisa terkikis. Oleh karena itu, pengawasan internal yang ketat sangat dibutuhkan untuk memastikan setiap tahapan berjalan sesuai koridor hukum dan rasa keadilan.

Harapan Terakhir Ada di Tangan Hakim

Di tengah kekecewaan yang membuncah, Madsanih menegaskan bahwa satu-satunya harapan keadilan kini berada di tangan majelis hakim. "Saat ini harapan keadilan untuk klien kami ada di palu hakim," ucapnya dengan nada penuh harap. Mereka percaya majelis hakim akan melihat fakta persidangan secara objektif dan mendengarkan suara hati nurani masyarakat.

Madsanih berharap hakim tidak sekadar mengikuti tuntutan ringan jaksa yang telah membuat keluarga korban meradang. Putusan hakim diharapkan bisa menjadi penyeimbang dan menegakkan keadilan sejati, sesuai dengan beratnya perbuatan dan kerugian yang ditimbulkan. Ini adalah kesempatan terakhir bagi sistem hukum untuk menunjukkan bahwa keadilan itu nyata.

Curahan Hati Anak Korban: "Ini Tidak Masuk Akal!"

Senada dengan kuasa hukum, Haposan, anak dari korban Supardi (82), mengungkapkan kekecewaannya yang mendalam terhadap sikap terdakwa dan proses hukum. Ia merasa sikap terdakwa Ivon tidak menunjukkan penyesalan yang tulus. "Sudah sekian bulan ke mana saja, sampai tadi baru bilang mau minta maaf," tutur Haposan dengan nada getir.

Ia juga menyoroti fakta bahwa terdakwa sempat disuruh meminta maaf oleh anggota hakim di persidangan dua minggu sebelumnya, namun tidak pernah dilakukan. "Jadi kalau sekarang apalah artinya," imbuhnya, menunjukkan betapa permintaan maaf yang terlambat itu terasa hampa bagi keluarga. Ini menambah daftar panjang rasa sakit hati yang mereka rasakan.

Haposan secara tegas menaruh harapan penuh pada majelis hakim. "Jujur, sekarang harapan saya hanya ada di hakim untuk memutuskan yang terbaik dan teradil," tegasnya. Ia merasa tuntutan 1,5 tahun itu tidak masuk akal, apalagi terdakwa selama ini masih bisa berkeliaran bebas, sehat walafiat, dan tidak pernah ditahan.

"Bukti semua jelas dan CCTV juga jelas, apa yang mau dibantah lagi?" tanyanya retoris. Haposan berharap majelis hakim bisa menjatuhkan putusan yang paling adil, mengingat ancaman maksimal pasal yang didakwakan adalah enam tahun penjara. Bagi Haposan, putusan hakim adalah satu-satunya kesempatan untuk mendapatkan sedikit ketenangan dan rasa keadilan bagi mendiang ayahnya.

Menanti Keadilan di Palu Hakim

Sidang perkara tabrak lari ini akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda tanggapan atas pledoi dari pihak terdakwa Ivon. Tim kuasa hukum memastikan akan terus mendampingi keluarga korban untuk memperjuangkan keadilan hingga tuntas. Mereka berharap, di akhir proses ini, keadilan yang sesungguhnya dapat ditegakkan, tidak hanya di atas kertas, tetapi juga di hati keluarga korban dan masyarakat.

Kasus ini menjadi pengingat penting bagi semua pihak, terutama penegak hukum, bahwa setiap keputusan memiliki dampak besar terhadap rasa keadilan di masyarakat. Publik menanti dengan cemas, apakah palu hakim akan mengukir keadilan atau justru menambah daftar panjang kekecewaan.

Penulis: Dini Susilowati

Editor: Santika Reja

Terakhir disunting: September 25, 2025

Promo Akad Nikah Makeup