NEWS TANGERANG– Keadilan seringkali terasa seperti fatamorgana, terutama bagi keluarga S (82). Kakek yang seharusnya menikmati masa tua dengan tenang ini, justru meregang nyawa akibat tabrak lari saat jogging di lingkungan perumahan. Kini, di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (18/09/2025), tuntutan jaksa justru memicu amarah dan kekecewaan mendalam. Bayangkan, nyawa seorang manusia hanya dihargai 1 tahun 6 bulan penjara. Ini bukan sekadar angka, ini adalah pukulan telak bagi rasa keadilan.
Tuntutan Ringan yang Mengguncang
Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan tuntutan yang membuat ruang sidang hening sejenak, lalu disusul isak tangis dan raungan kekecewaan. Terdakwa IV (65), yang bertanggung jawab atas kematian S, hanya dituntut hukuman 1 tahun 6 bulan penjara. Angka ini jauh dari harapan keluarga yang mendambakan keadilan sejati.
Bagi mereka, tuntutan ini terasa seperti tamparan, seolah nyawa S tidak memiliki nilai yang pantas di mata hukum. Suasana haru dan amarah bercampur menjadi satu, mencerminkan betapa dalamnya luka yang mereka rasakan. Keluarga S, yang setia mengikuti jalannya persidangan sejak awal, tak mampu menyembunyikan kekecewaan mendalam mereka usai mendengar tuntutan JPU.
Jeritan Hati Anak-anak Korban
H, salah satu putra korban, tak mampu menyembunyikan getaran dalam suaranya. "Kami sangat terpukul dan kecewa dengan tuntutan JPU," ujarnya, matanya berkaca-kaca. "Fakta hukum sudah sangat jelas membuktikan bahwa terdakwa bersalah menyebabkan papih kami meninggal dunia dengan cara yang tragis. Apakah nyawa seorang manusia hanya dihargai 1,6 tahun penjara? Ini tidak adil!" cetusnya, suaranya meninggi.
Ia menambahkan, indikasi kesalahan terdakwa sudah terlihat jelas di beberapa persidangan sebelumnya. Oleh karena itu, tuntutan JPU ini terasa seperti pengabaian terhadap penderitaan mereka. "Kami merasa keadilan telah dibutakan. Tuntutan ini seolah-olah meremehkan arti penting kehidupan seseorang. Kami datang ke pengadilan ini untuk mencari keadilan, bukan untuk menerima kekecewaan yang mendalam," lanjut H, penuh kepedihan.
L, putri S, tak kuasa menahan isak tangis saat diwawancarai media. Dengan suara lirih dan mata sembab, ia mengungkapkan kepedihan hatinya yang tak terhingga. "Papih adalah sosok yang sangat kami cintai. Beliau selalu memberikan kasih sayang dan perhatian kepada kami semua. Kehilangan beliau adalah pukulan yang sangat berat bagi keluarga kami," ujarnya, suaranya bergetar.
L melanjutkan, "Saya tidak mengerti mengapa terdakwa hanya dituntut hukuman yang begitu ringan. Apakah hukum di negara ini sudah tidak ada keadilan? Kami hanya ingin keadilan ditegakkan. Papih tidak pantas diperlakukan seperti ini. Jahat banget… jahat banget," ucapnya sambil terisak dan menghapus air matanya, menunjukkan betapa hancurnya hati mereka.
Kronologi Tragis di Lingkungan Perumahan
Kasus tragis ini bermula pada 9 Mei 2025. Saat itu, S (82) sedang menikmati aktivitas jogging paginya di jalan Perumahan Grisenda RW. 10, Penjaringan, Jakarta Utara. Namun, momen sehat itu berubah menjadi petaka ketika IV (65) diduga melakukan tindakan ceroboh dan tidak bertanggung jawab, menabrak S hingga luka parah.
Akibat insiden mengerikan tersebut, S mengalami luka parah di sekujur tubuhnya. Setelah berjuang selama dua hari di RS PIK, pada 11 Mei 2025, S menghembuskan napas terakhirnya, meninggalkan duka mendalam bagi keluarga. Kematian tragis ini bukan hanya kehilangan bagi keluarga, tetapi juga menyisakan trauma mendalam.
Status Hukum dan Pertanyaan Besar
Saat ini, IV berstatus sebagai tahanan kota. Ia dijerat dengan pasal berlapis terkait kelalaian dalam berkendara yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang. Namun, tuntutan ringan dari JPU telah memicu gelombang protes dan kekecewaan. Ini bukan hanya tentang hukuman, tapi tentang pesan yang disampaikan sistem hukum kepada masyarakat.
Pertanyaan besar pun muncul: Seberapa efektifkah sistem hukum di Indonesia dalam memberikan perlindungan dan keadilan bagi para korban? Terutama ketika insiden terjadi di lingkungan yang seharusnya aman untuk beraktivitas, seperti berolahraga. Tuntutan ini seolah mengikis kepercayaan publik terhadap penegakan hukum yang adil dan berpihak pada korban.
Seruan untuk Keadilan Sejati
Keluarga korban tidak akan tinggal diam. Mereka berharap majelis hakim yang menyidangkan kasus ini dapat bertindak bijaksana dan memberikan vonis yang seadil-adilnya, sesuai dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan. Mereka juga memohon perhatian dan dukungan dari berbagai pihak. Mulai dari Komisi Kejaksaan, Mahkamah Agung, hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang hukum.
Tak hanya itu, masyarakat luas juga diharapkan ikut mengawal jalannya persidangan ini hingga tuntas. Tekanan publik seringkali menjadi kekuatan penting dalam memastikan keadilan ditegakkan. Keluarga percaya, dengan dukungan banyak pihak, suara mereka untuk keadilan tidak akan diabaikan.
Pelajaran dan Harapan untuk Masa Depan
"Kami tidak akan menyerah dalam mencari keadilan bagi papih kami," tegas H dengan nada penuh keyakinan. "Kami akan terus berjuang hingga pelaku tabrak lari ini mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya." Ini adalah janji yang lahir dari kepedihan dan keinginan kuat untuk melihat keadilan ditegakkan.
Keluarga berharap kasus ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi semua pengendara. Pentingnya berhati-hati dan bertanggung jawab, terutama di lingkungan perumahan yang seharusnya menjadi tempat aman bagi semua orang, bahkan saat berolahraga pagi. Vonis yang akan dijatuhkan nanti diharapkan dapat memberikan rasa keadilan sejati bagi mereka. Sekaligus menjadi peringatan keras bagi para pelaku, bahwa kelalaian dan tindakan tidak bertanggung jawab di jalan memiliki konsekuensi hukum yang serius. Terlebih jika sampai merenggut nyawa seseorang yang sedang beraktivitas sehat. Ini bukan hanya tentang hukum, tapi tentang moral dan kemanusiaan.
Penulis: Dini Susilowati
Editor: Santika Reja
Terakhir disunting: September 18, 2025