Seedbacklink affiliate

Ngerinya! AI Bisa Bikin Gaji Cowok-Cewek Makin Jomplang? Ini Sektor yang Paling Kena!

Jaringan otak AI dengan ikon berbagai sektor pekerjaan, mengisyaratkan dampaknya pada kesenjangan upah.
AI, digadang-gadang penyelamat, justru berpotensi memperparah kesenjangan upah gender di sektor-sektor kunci.
banner 120x600

NEWS TANGERANG– Kecerdasan buatan atau AI, yang digadang-gadang sebagai penyelamat masa depan, ternyata menyimpan potensi yang bikin kaget. Sebuah studi terbaru menguak fakta bahwa AI justru bisa memperlebar kesenjangan upah antara pria dan wanita di beberapa sektor pekerjaan. Waduh, seriusan?

Penelitian ini menyoroti sektor-sektor vital seperti konstruksi, manufaktur, dan energi sebagai area yang paling rentan. Di sana, perbedaan gaji gender diprediksi akan semakin melebar berkat adopsi teknologi AI.

Sektor-Sektor yang Terancam Kesenjangan Makin Lebar

Gak cuma itu, Sobat. Konsultan AI AINigma, yang melakukan studi ini, juga menyebutkan beberapa sektor lain yang patut diwaspadai. Logistik, utilitas, ekuitas swasta, hingga seni kreatif masuk dalam daftar yang berpotensi mengalami pelebaran kesenjangan upah gender.

Bayangkan saja, di sektor konstruksi atau manufaktur, AI bisa mengotomatisasi tugas-tugas tertentu. Jika adopsi dan pelatihan AI lebih banyak menyasar pekerja pria, maka pekerja wanita bisa jadi tertinggal dalam pengembangan skill baru yang relevan. Ini yang bikin kesenjangan makin kentara.

Di sisi lain, sektor-sektor seperti logistik dan utilitas juga tak luput dari dampak ini. Penggunaan AI untuk optimasi rute atau manajemen jaringan bisa jadi lebih cepat dikuasai oleh satu gender, menciptakan ketidakseimbangan dalam produktivitas dan, ujung-ujungnya, pendapatan.

Bahkan di dunia seni kreatif, yang sering dianggap lebih fleksibel, AI bisa jadi pedang bermata dua. Alat-alat AI generatif untuk desain atau penulisan mungkin lebih banyak diakses atau dikuasai oleh pria, membuat mereka lebih unggul dalam menghasilkan karya yang efisien dan cepat.

Ada Harapan? Sektor yang Justru Bisa Membaik

Tapi, jangan panik dulu! Studi tersebut juga menemukan sisi positifnya. Ada beberapa bidang di mana AI justru berpotensi menyempitkan kesenjangan upah gender. Mantap, kan?

Sektor-sektor tersebut meliputi layanan hukum, sektor publik, jurnalisme, dan pemasaran. Di sini, AI bisa menjadi alat yang memberdayakan, membantu semua orang, tanpa memandang gender, untuk lebih produktif dan efisien.

Misalnya, di layanan hukum, AI bisa membantu dalam riset kasus atau analisis dokumen yang kompleks. Ini bisa menyamakan kedudukan, memungkinkan lebih banyak wanita di bidang hukum untuk fokus pada strategi dan argumen, bukan hanya tugas-tugas administratif.

Begitu juga di jurnalisme dan pemasaran. AI bisa membantu dalam analisis data audiens, pembuatan konten dasar, atau optimasi kampanye. Ini membuka peluang bagi para wanita untuk lebih cepat beradaptasi dan menunjukkan performa terbaik mereka.

GenAI: Si Pemicu Kesenjangan yang Tersembunyi

Lalu, apa sih biang kerok utama di balik potensi pelebaran kesenjangan ini? Menurut CEO AINigma, Arne Mosselman, masalahnya ada pada penggunaan GenAI (kecerdasan buatan generatif) seperti ChatGPT.

"Rata-rata, 20 persen lebih banyak pria yang menggunakan alat GenAI seperti ChatGPT dibandingkan wanita," ungkap Mosselman. Angka ini bikin kita mikir, kenapa bisa begitu ya?

Perbedaan adopsi ini bukan sekadar angka. Ini berarti ada kemungkinan besar GenAI dapat menjadi katalisator yang memperlebar kesenjangan gaji gender, alih-alih menguranginya. So sad, kan?

Ketika satu kelompok lebih cepat menguasai dan memanfaatkan teknologi baru, mereka secara otomatis memiliki keunggulan kompetitif. Ini bisa berarti mereka lebih produktif, lebih efisien, dan akhirnya, mendapatkan kompensasi yang lebih tinggi.

Fenomena “Penggunaan Rahasia” dan Bahayanya

Yang lebih ngeri lagi, studi ini juga menemukan fenomena "penggunaan rahasia" GenAI di tempat kerja. Bayangkan, 42 persen pekerja kantoran mengaku menggunakan GenAI, dan satu dari tiga di antaranya merahasiakan penggunaannya! Gak habis fikir, kan?

Fenomena ini menciptakan "shadow IT" di mana karyawan menggunakan alat tanpa sepengetahuan atau persetujuan perusahaan. Ini bukan cuma masalah keamanan data, tapi juga bisa memperparah kesenjangan gender.

Jika pria lebih banyak yang menggunakan GenAI secara sembunyi-sembunyi dan berhasil meningkatkan produktivitas mereka, sementara wanita tidak memiliki akses atau tidak berani menggunakannya, maka jurang perbedaan skill dan performa akan semakin dalam.

Mosselman menekankan pentingnya peran perusahaan dalam mengatasi masalah ini. "Perusahaan perlu memberikan arahan dan izin yang jelas kepada karyawan terkait penggunaan AI di tempat kerja," ujarnya.

Tanpa panduan yang jelas, risiko menciptakan kesenjangan gender yang lebih besar di masa mendatang akan semakin nyata. Perusahaan harus proaktif, bukan hanya reaktif.

Solusi: Edukasi dan Akses yang Merata

Jadi, apa yang harus dilakukan? Kunci utamanya adalah edukasi dan akses yang merata. Perusahaan perlu memastikan bahwa semua karyawan, tanpa memandang gender, memiliki kesempatan yang sama untuk belajar dan menggunakan alat AI.

Ini bisa berarti menyediakan pelatihan khusus, workshop, atau bahkan platform internal untuk eksplorasi AI. Tujuannya adalah menghilangkan stigma atau ketakutan terhadap teknologi baru, serta memastikan semua orang merasa nyaman dan percaya diri menggunakannya.

Selain itu, penting juga untuk membangun budaya kerja yang inklusif. Budaya yang mendorong eksperimen dengan teknologi baru dan menghargai inovasi dari semua karyawan. Ini akan membantu menutup kesenjangan adopsi GenAI yang saat ini terlihat.

Pemerintah dan lembaga pendidikan juga punya peran penting. Integrasi literasi AI sejak dini, serta program pelatihan keterampilan AI yang mudah diakses, bisa menjadi investasi jangka panjang untuk masa depan yang lebih adil.

Pada akhirnya, AI adalah alat. Dampaknya sangat tergantung pada bagaimana kita memilih untuk menggunakannya. Jika kita tidak hati-hati dan tidak proaktif, AI yang seharusnya menjadi agen perubahan positif, justru bisa memperparah masalah sosial yang sudah ada. Mari kita pastikan AI menjadi pendorong kesetaraan, bukan sebaliknya!

Penulis: Tita Yunita

Editor: Santika Reja

Terakhir disunting: September 30, 2025

Promo Akad Nikah Makeup