Viral! Mahasiswa PhD Ini Rela Santap Makanan Kucing di Swiss, Alasannya Bikin Syok!

Tammy

Mahasiswa makan bersama nasi dari rice cooker di kamar kos sederhana.
Ilustrasi: Kondisi tempat tinggal mahasiswa dengan biaya hidup terbatas.

NEWS TNG – Kisah hidup seorang mahasiswa doktoral asal China di Swiss mendadak jadi sorotan publik. Bukan karena prestasinya di bidang akademis, melainkan karena strategi ekstremnya dalam menghemat biaya hidup: ia mengaku mengonsumsi makanan kucing demi memenuhi kebutuhan protein hariannya. Cerita ini bukan cuma bikin geleng-geleng kepala, tapi juga memicu diskusi luas tentang kerasnya perjuangan menuntut ilmu di negara dengan biaya hidup termahal di dunia.

Perjuangan Melawan Biaya Hidup Selangit di Swiss

Pria yang di media sosial dikenal dengan nama ‘The Artful Cheapskate’ ini adalah seorang mahasiswa PhD kedokteran. Ia memutuskan untuk melanjutkan studi S3 di Swiss, sebuah negara yang terkenal dengan pemandangan indah namun juga biaya hidup yang bikin dompet menjerit. Bayangkan saja, untuk sekadar bertahan hidup, seorang mahasiswa PhD di sana butuh setidaknya 1.000 hingga 1.500 franc Swiss per bulan, atau sekitar Rp 21 juta hingga Rp 31,5 juta! Angka yang fantastis, bukan?

Sebelum berangkat, lulusan kedokteran dari China ini sudah bekerja keras di Shanghai dan berhasil menabung 300.000 yuan, setara dengan sekitar Rp 702 juta. Uang tabungan inilah yang menjadi modal utamanya untuk membiayai kuliah di salah satu lembaga riset ternama di Swiss. Namun, meski sudah punya bekal, ia tahu betul bahwa uang itu tidak akan cukup jika tidak diatur dengan sangat ketat. Banyak mahasiswa internasional yang akhirnya menyerah di tahun ketiga karena tak sanggup lagi menanggung beban biaya hidup. "Saya tidak bisa membiarkan hal tersebut terjadi kepada saya," ujarnya dengan tekad baja.

Mengapa Makanan Kucing Jadi Pilihan? Ini Dia Perhitungannya!

Salah satu tantangan terbesar bagi mahasiswa internasional di Swiss adalah larangan untuk bekerja secara legal. Ini membuat mereka harus benar-benar mengandalkan tabungan atau beasiswa. Dalam kondisi serba terbatas ini, ‘The Artful Cheapskate’ harus memutar otak mencari cara paling efisien untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Dan di sinilah keputusan kontroversial itu muncul: menjadikan makanan kucing sebagai sumber protein utama.

"Banyak orang terkejut dengan pilihan saya," akunya. Namun, ia punya perhitungan matang yang bikin kita berpikir ulang. Satu kantong makanan kucing seberat 3 kilogram, katanya, hanya berharga 3,75 franc Swiss atau sekitar Rp 79 ribu. Yang lebih mencengangkan, makanan ini mengandung 32 persen protein! "Itu jauh lebih murah dibandingkan sumber makanan apa pun di sini," jelasnya. Dengan perbandingan harga dan kandungan gizi yang ekstrem ini, tak heran jika ia nekat memilih jalan yang tak biasa.

Bahkan, ada klaim yang lebih unik lagi. Mahasiswa ini menambahkan bahwa konsumsi makanan kucing justru membuat rambutnya tampak lebih sehat dan lebat. "Teman-teman PhD saya banyak yang mengalami kerontokan, tetapi kandungan makanan kucing membuat rambut saya justru lebih lebat," tambahnya. Sebuah efek samping yang tak terduga dari diet ekstrem ini, bukan?

Bukan Cuma Makanan Kucing: Strategi Hemat Lainnya yang Bikin Melongo

Selain makanan kucing, ‘The Artful Cheapskate’ juga punya strategi lain yang tak kalah cerdik untuk menghemat pengeluaran. Ia rajin mendonorkan darah! Bukan semata-mata karena altruisme, tapi juga karena imbalan yang didapat. "Di sini, orang-orangnya sangat sangat dermawan," tulisnya di media sosial. Setiap kali mendonorkan darah, ia akan mendapatkan minuman, cokelat, sandwich, sup hangat, keripik, hingga permen.

Ia bahkan punya jadwal khusus untuk donor darah. "Saya selalu menjadwalkan donor darah saat jam makan siang karena sup masih panas dan stok makanan melimpah. Rasanya seperti prasmanan," ungkapnya. Ini adalah cara cerdas untuk mendapatkan makanan gratis dan bergizi, sekaligus membantu sesama. Sebuah strategi jitu yang menunjukkan betapa kreatifnya seseorang bisa bertahan hidup di tengah keterbatasan.

Reaksi Netizen: Antara Syok, Salut, dan Saran Kocak

Kisah perjuangan mahasiswa ini sontak memicu diskusi panas di media sosial China. Berbagai komentar muncul, mulai dari yang terkejut, kagum, hingga memberikan saran-saran kocak. "Dia benar-benar ikonik. Saya coba ikut membeli makanan kucing, tapi rasanya amis sekali dan tidak bisa saya telan," tulis salah satu netizen yang mencoba mengikuti jejaknya. Ternyata, tidak semua orang bisa sekuat ‘The Artful Cheapskate’!

Ada juga yang memberikan saran praktis: "Apa perlu hidup hemat sampai begitu? Lebih baik pergi ke Jerman di akhir pekan untuk membeli daging." Memang, negara tetangga Swiss seperti Jerman atau Prancis seringkali menawarkan harga barang dan makanan yang jauh lebih murah. Namun, tentu saja, perjalanan ke sana juga membutuhkan biaya dan waktu. Netizen lain bahkan melihat peluang bisnis: "Kalau dia menyiarkan langsung saat makan makanan kucing, pasti bisa menghasilkan uang. Lagipula, di Stasiun Kereta Zurich ada pembagian makanan gratis." Ide yang menarik, mengingat betapa populernya konten-konten unik di media sosial saat ini.

Langkah Selanjutnya: Dari Swiss ke Harvard, Tekad Hemat Tetap Membara

Setelah melalui perjuangan panjang di Swiss, kini ada kabar baik bagi ‘The Artful Cheapskate’. Ia berhasil memperoleh beasiswa dan akan meninggalkan Swiss untuk menjalani program kunjungan di Universitas Harvard, Amerika Serikat. Sebuah pencapaian luar biasa yang membuktikan bahwa segala pengorbanan dan strategi hemat ekstremnya berbuah manis.

Meskipun akan pindah ke Boston, yang harga makanan dan biaya hidupnya diketahui sedikit lebih murah dibandingkan Swiss, mahasiswa ini menegaskan bahwa ia akan tetap berpegang pada prinsip hidup hemat dan sehat. Tekadnya untuk menuntaskan studi dengan biaya seminimal mungkin tidak akan goyah. Kisahnya menjadi inspirasi bahwa dengan kemauan keras dan kreativitas, tidak ada halangan yang terlalu besar untuk meraih impian, bahkan jika itu berarti harus sesekali menyantap makanan kucing.

Pelajaran dari ‘The Artful Cheapskate’

Kisah mahasiswa PhD ini lebih dari sekadar cerita unik tentang makanan kucing. Ini adalah gambaran nyata tentang ketekunan, adaptasi, dan pengorbanan yang luar biasa demi mengejar pendidikan tinggi. Di tengah tuntutan akademik yang berat, ia juga harus berjuang melawan tekanan finansial yang tak main-main. ‘The Artful Cheapskate’ mengajarkan kita bahwa batas-batas kemampuan manusia seringkali jauh melampaui apa yang kita bayangkan, dan bahwa kreativitas bisa muncul dari situasi paling menantang sekalipun. Sebuah kisah yang patut direnungkan, bukan?

Penulis: Tammy

Editor: Santika Reja

Terakhir disunting: September 29, 2025

Komentar Pembaca

pos terkait