
NEWS TANGERANG– Bahasa tidak sekadar alat komunikasi, melainkan cermin peradaban, budaya, dan falsafah suatu bangsa. Dalam konteks sastra Jawa, terdapat tiga konsep penting yang sering diangkat, yaitu Wasana Basa, Surasa Basa, dan Purwaka Basa. Ketiganya bukan hanya istilah linguistik, melainkan inti sari pemaknaan terhadap keindahan dan kekuatan bahasa Jawa. Mari kita telaah lebih dalam tentang makna dan penerapannya.
Baca Juga: Meritokrasi Adalah Sistem Ideal atau Ilusi? Yuk, Bahas Tuntas Disini
Wasana Basa merujuk pada bagian akhir dari sebuah karya sastra Jawa, yang berfungsi sebagai penutup atau kesimpulan. Namun, dalam tradisi sastra Jawa, penutup ini tidak sekadar mengakhiri cerita, melainkan memberikan kesan mendalam, nasihat moral, bahkan doa bagi pembaca atau pendengar.
Pada banyak karya seperti serat, babad, atau kidung, Wasana Basa diungkapkan dengan bahasa yang puitis, lembut, namun kuat dalam makna. Ciri khasnya adalah menggunakan parikan, saloka, atau tembang yang sarat dengan pesan kehidupan.
Beberapa unsur yang umum dijumpai dalam Wasana Basa meliputi:
Ucapan terima kasih kepada pembaca.
Permintaan maaf atas kekurangan karya.
Harapan agar karya bermanfaat.
Doa untuk kesejahteraan bersama.
Dalam struktur sastra Jawa klasik, Wasana Basa seolah menjadi penutup yang membuat karya itu terasa lengkap, harmonis, dan berkesan mendalam.
Surasa Basa adalah roh dari setiap ungkapan dalam karya sastra. Kata “surasa” berasal dari gabungan kata “sura” (hati) dan “rasa” (perasaan), sehingga Surasa Basa bermakna jiwa atau rasa yang terkandung dalam bahasa.
Dalam penciptaan sastra Jawa, bahasa tidak hanya dinilai dari bentuk luarnya saja (struktur kata dan kalimat), melainkan lebih penting adalah rasa yang tersampaikan. Dengan kata lain, Surasa Basa mengedepankan:
Kedalaman makna.
Kehalusan ungkapan.
Keserasian bunyi dan isi.
Penghayatan batin penulis terhadap tema yang diangkat.
Seorang pengarang yang menguasai Surasa Basa akan mampu membuat pembaca terhanyut, tersentuh, bahkan tercerahkan. Setiap kata yang dipilih tidak sekadar memenuhi syarat gramatikal, tetapi juga menggugah emosi dan pemikiran pembaca.
Dalam dunia tembang macapat, misalnya, Surasa Basa tercermin dari pilihan tembang yang disesuaikan dengan suasana batin yang ingin ditampilkan, seperti penggunaan pucung untuk nasihat, atau durma untuk semangat dan perjuangan.
Purwaka Basa berarti permulaan bahasa atau pembukaan sebuah karya sastra. Purwaka berasal dari kata “purwa” (awal) dan “ka” (kata kerja pembentuk), sehingga Purwaka Basa merupakan bagian yang menyampaikan latar belakang, tujuan, dan niat pengarang dalam menulis karya tersebut.
Fungsi utama Purwaka Basa dalam karya sastra Jawa antara lain:
Menjelaskan asal usul tema yang diangkat.
Menyampaikan maksud dan harapan penulis.
Memberikan gambaran tentang alur karya secara umum.
Menyapa pembaca dengan penuh tata krama.
Dalam banyak karya klasik seperti Serat Centhini atau Serat Wedhatama, Purwaka Basa tampil dalam bentuk prolog puitis, dengan bahasa halus yang penuh penghormatan. Ini sekaligus menunjukkan adab dan etika dalam berkarya.
Purwaka Basa bukan sekadar formalitas, tetapi menjadi pintu gerbang bagi pembaca untuk memahami konteks dan arah dari seluruh karya.
Ketiga konsep ini memiliki hubungan erat dan membentuk struktur naratif dalam tradisi sastra Jawa:
Purwaka Basa membuka jalan, memperkenalkan niat dan arah.
Surasa Basa menjadi jiwa dan ruh yang menghidupkan isi.
Wasana Basa menutup dengan pesan dan kesan mendalam.
Tanpa Purwaka Basa, karya terasa tiba-tiba dan kurang sopan. Tanpa Surasa Basa, karya kehilangan ruh dan hanya menjadi rangkaian kata kosong. Tanpa Wasana Basa, karya terasa menggantung, tanpa penutup yang bijak.
Penerapan ketiganya dengan sempurna menunjukkan tingkat kematangan sastra dan keluhuran budaya Jawa yang menghargai setiap aspek komunikasi, mulai dari pembuka hingga penutup.
Mari kita lihat contoh konkret dari penerapan ketiga unsur ini dalam karya Serat Wedhatama karya KGPAA Mangkunegara IV:
Purwaka Basa: Dalam bagian awal, Mangkunegara IV memperkenalkan diri dengan rendah hati dan menyampaikan niatnya untuk berbagi ajaran tentang jalan hidup yang bijaksana.
Surasa Basa: Setiap bait tembang mengalir dengan pilihan kata yang sarat makna, mencerminkan kebijaksanaan spiritual dan rasa ketulusan yang mendalam.
Wasana Basa: Di bagian akhir, terdapat doa dan harapan agar ajaran dalam Serat Wedhatama dapat menjadi penerang bagi generasi penerus.
Contoh lain dapat ditemukan dalam Babad Tanah Jawi, di mana pembukaannya memberikan latar sejarah, isi yang penuh penghayatan, dan penutup yang mengandung harapan akan kesejahteraan Nusantara.
Di era digital dan globalisasi seperti sekarang, pemahaman terhadap Wasana Basa, Surasa Basa, dan Purwaka Basa tetap relevan, terutama bagi mereka yang ingin menghidupkan kembali nilai-nilai luhur dalam komunikasi dan sastra.
Dalam konteks penulisan kreatif modern, seperti novel, puisi, bahkan konten media sosial, prinsip-prinsip ini bisa diterapkan:
Membuka dengan salam hangat dan tujuan yang jelas (Purwaka Basa).
Menyampaikan isi dengan penuh perasaan, tanpa mengabaikan kedalaman makna (Surasa Basa).
Menutup dengan kesan kuat dan pesan bermakna (Wasana Basa).
Dengan menerapkan nilai-nilai ini, kita tidak hanya menciptakan karya yang indah, tetapi juga bermakna, berkarakter, dan berpengaruh dalam membangun budaya literasi yang lebih bermartabat.
“Sang penulis dengan segala kerendahan hati mempersembahkan karya ini sebagai upaya kecil untuk menerangi jalan kehidupan. Semoga apa yang tertulis di sini membawa manfaat dan keberkahan bagi siapa saja yang membaca.”
Penjelasan:
Bagian ini menunjukkan maksud penulis, latar belakang kenapa karya dibuat, serta harapan yang sopan kepada pembaca.
“Bila hidup bak aliran sungai, maka kesabaran adalah batu besar yang menahan derasnya amarah. Barang siapa mampu menahan diri, ia akan sampai di samudra kedamaian.”
Penjelasan:
Dalam kutipan ini, bahasa diolah dengan rasa, memakai perumpamaan (metafora), dan mengajak pembaca merenung secara emosional. Ini contoh bagaimana Surasa Basa menyentuh perasaan pembaca.
“Demikianlah untaian kata ini kami persembahkan. Apabila ada kekeliruan, itu semata-mata karena keterbatasan kami. Semoga karya ini menjadi pelita kecil dalam perjalanan hidup para pembaca. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
Penjelasan:
Bagian ini menutup karya dengan permohonan maaf atas kekurangan dan doa untuk kebaikan pembaca, ciri utama Wasana Basa.
Kita dapat menyimpulkan bahwa memahami dan mengaplikasikan Wasana Basa, Surasa Basa, dan Purwaka Basa dalam setiap karya tulis, baik tradisional maupun modern, akan memberikan kualitas tinggi pada karya tersebut. Bukan hanya sekadar kata-kata, melainkan penyampaian rasa, makna, dan hikmah yang abadi.
Sebagai bangsa yang besar, menjaga dan menghidupkan warisan sastra semacam ini merupakan bentuk penghormatan kepada budaya sekaligus penciptaan jati diri di tengah derasnya arus perubahan zaman.
Mari kita terus belajar, menghargai, dan mengamalkan nilai luhur yang terkandung dalam Wasana Basa, Surasa Basa, dan Purwaka Basa, agar karya-karya kita tidak hanya dibaca, tetapi juga dirasakan, diresapi, dan dikenang.
Penulis: Santika Reja
Editor: Santika Reja
Terakhir disunting: Mei 5, 2025