NEWS TNG– Di pagi yang biasa ramai oleh aroma daging segar dan suara tawar-menawar, suasana Pasar Lama mendadak tegang. Di antara lorong sempit tempat pedagang menggantung potongan sapi, seorang pria paruh baya menunduk, memegang pelipisnya yang memar. “Saya cuma mau jualan, bukan cari ribut,” gumamnya pelan, menahan perih yang tak hanya di wajah, tapi juga di hati.
Ketika Ketakutan Jadi Kebiasaan
Pasar Lama Tangerang, dengan segala hiruk-pikuk dan sejarahnya, telah lama jadi denyut ekonomi warga. Tapi di balik hiruk itu, ada cerita lain yang berulang—tentang tangan-tangan yang meminta tanpa alasan, tentang uang ‘salaran’ yang seolah jadi harga wajib untuk berjualan dengan tenang.
FM, pria yang kini duduk di balik jeruji Polres Metro Tangerang Kota, disebut polisi sebagai “penarik uang salaran” dari para pedagang. Ia bukan sosok asing di pasar. Sebagian mengenalnya, sebagian menghindar. Hari itu, ia datang seperti biasa, tapi sesuatu berbeda—seorang pedagang daging menolak memberi uang yang diminta.
Yang terjadi berikutnya adalah amarah. Sebuah benturan singkat antara rasa takut dan keberanian. Tangan FM melayang, meninggalkan luka di pelipis kanan sang pedagang—luka kecil yang menandai keberanian besar untuk berkata tidak.
Polisi Bergerak Cepat
Laporan masuk tak lama setelah kejadian. Kapolres Metro Tangerang Kota, Kombes Zain Dwi Nugroho, turun langsung menindaklanjuti. “Kami respons cepat laporan tersebut. Pelaku kami amankan tak jauh dari lokasi kejadian,” ujarnya dalam keterangan resmi.
Dalam tas selempang milik FM, polisi menemukan sebilah pisau dan beberapa lembar uang tunai—hasil dari salaran pagi itu, sekitar Rp655 ribu. Tak seberapa, tapi cukup untuk membuat pasar bergetar antara lega dan ngeri.
FM kini dijerat Pasal 351 tentang penganiayaan dan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang kepemilikan senjata tajam.
Luka yang Lebih Dalam dari Sekadar Memar
Bagi sebagian orang, peristiwa ini mungkin hanya catatan kecil di berita kriminal. Tapi bagi para pedagang kecil, ini tentang rasa aman yang sering mereka sebut tapi jarang benar-benar mereka rasakan.
“Kalau enggak ngasih, takut diganggu. Tapi kalau terus ngasih, habis buat modal,” kata seorang pedagang ayam, yang enggan disebut namanya.
Premanisme di pasar-pasar rakyat adalah luka lama yang tak mudah sembuh. Ia tumbuh dari ketimpangan—ketika ada yang butuh uang cepat dan ada yang terlalu lelah untuk melawan.
Antara Penertiban dan Harapan
Surat Telegram Kapolri Nomor STR/1081/IV/OPS.1.3./2025 menjadi penanda bahwa negara mulai gerah dengan praktik premanisme. Perintahnya jelas: tindak tegas siapa pun yang mengganggu ketertiban dan mengancam iklim usaha.
Namun di balik ketegasan itu, tersisa pertanyaan yang lebih lembut—apa yang membuat seseorang memilih jadi penarik “jatah”? Apakah benar semata soal uang, atau karena rasa tidak punya pilihan lain di kota yang terus bergerak cepat meninggalkan mereka yang tertinggal?
Refleksi
Ketika malam kembali menutup Pasar Lama, lampu-lampu toko satu per satu padam. Di balik jeruji, FM mungkin sedang menatap dinding, mencoba memahami di mana titik hidupnya berubah arah. Di luar sana, sang pedagang menyiapkan dagangannya lagi, berharap esok lebih tenang.
Keduanya, pada akhirnya, hanya dua manusia di sisi berbeda dari ketakutan yang sama—takut kehilangan cara untuk bertahan hidup.
Disunting oleh: S. Reja
Terakhir disunting: November 4, 2025















