Jalan Puspitek dan Kota yang Kehilangan Namanya

Santika Reja

Foto: Tangsellife/Andre Pradana

NEWS TNG– Sore itu, di ujung Jalan Puspitek yang mengarah ke Setu, warna cat merah pada portal besi tampak memudar. Di balik terik yang baru turun, beberapa warga berdiri sambil menunjuk bekas tulisan “Selamat Datang di Kota Tangerang Selatan” yang kini hanya menyisakan bayang huruf. “Dulu di sini ada logo Pemkot,” ujar seorang pria muda, matanya menerawang ke papan yang kini diganti atribut BRIN. “Sekarang hilang semua.”

Di jalan yang seharusnya menjadi urat nadi penghubung Muncul—Parung itu, aroma tanah basah bercampur debu pagar seng terasa seperti penanda perubahan yang terlalu senyap. Jalan provinsi itu seperti lengang dari identitas; berdiri, tapi tidak diakui.

Adegan Konflik di Balik Sebuah Nama

Ribut-ribut soal status Jalan Puspitek sebenarnya bukan perkara baru. Warga Muncul sudah berbulan-bulan menagih satu hal: pengembalian fungsi dan identitas jalan yang mereka yakini sah sebagai jalan provinsi. Status itu, kata mereka, bukan sekadar soal plang administratif, tapi penegasan batas wilayah Tangerang Selatan.

Namun semua berubah setelah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memasang pagar, menutup akses, hingga mencopot simbol-simbol Kota Tangsel. Sejak itu, cerita berjalan tak wajar—seakan satu lembaga riset bisa menelan seluruh tanda kota tanpa banyak perlawanan.

“Yang bikin kami bingung, Pemkot diam saja. Padahal Perda sudah jelas,” kata Suhendar, kuasa hukum warga sekaligus Ketua LBH Ansor Tangsel, saat ditemui di Ciputat, awal Desember lalu.

Bagi warga, diamnya pemerintah daerah bukan sekadar soal birokrasi. Itu soal keberanian mempertahankan wilayah sendiri.

Ketegangan yang Tak Diucapkan Pemkot

Di tengah keresahan itu, warga kembali turun ke lapangan. Mereka menilai pemerintah kota “seolah takut” menghadapi klaim kawasan oleh BRIN. “Pemkot ini sebenarnya benar secara hukum, tapi penakut,” kata Suhendar, suaranya meninggi. “BRIN tidak punya kewenangan, kok dibiarkan memasang pagar?”

Pernyataan itu bukan tanpa sebab. Warga melihat satu per satu identitas kota dirontokkan—logo, tulisan batas wilayah, hingga ornamen sambutan. Hilang tanpa jejak. Diganti papan-papan baru bernuansa lembaga riset.

“Logo dirontokkan, batas wilayah hilang, BRIN masuk seenaknya. Tapi Pemkot diam,” lanjutnya.

Kemarahan warga meletup saat melihat pagar seng berdiri seperti tembok baru yang memutus hubungan antarwilayah. Mereka menuduh Pemkot hanya “melihat tanpa bertindak”, meski di atas kertas memiliki kewenangan penuh untuk menegakkan Perda dan mencegah penyerobotan identitas wilayah.

Di Balik Anggaran, Ada Keberanian yang Dicari

Suhendar juga menyentil hal sensitif: anggaran tunjangan kepala daerah. Bukan untuk merendahkan, katanya, tetapi sebagai pengingat bahwa kekuasaan seharusnya diikuti keberanian menegakkan aturan.

“Tunjangan wali kota dan wakil wali kota besar, sampai puluhan juta. Tapi menegakkan Perda sendiri saja tidak berani,” ujarnya.

Kutipan itu cepat menyebar di WhatsApp grup warga, memicu diskusi sengit dari Serpong sampai Pamulang. Bagi sebagian orang, masalah ini bukan sekadar pagar. Ia menyentuh soal martabat kota—tentang sejauh mana pemerintah membela wilayahnya sendiri.

Sengketa di Jalan yang Menjadi Simbol

Jalan Puspitek bukan sekadar jalur lalu lintas. Di Tangerang Selatan, jalan itu adalah saksi tumbuhnya kawasan riset, industri, hingga kampus-kampus teknologi. Statusnya sebagai jalan provinsi sudah ditetapkan Pemerintah Provinsi Banten dan diperkuat Perda Kota Tangsel.

Itulah yang membuat warga heran ketika BRIN bisa menutup akses begitu saja.

Setelah aksi protes digelar di gedung Pemkot, pagar BRIN akhirnya mulai dibongkar sebagian. Namun bagi warga, langkah itu datang telat—dan justru menegaskan satu hal: Pemkot sebenarnya mampu bertindak sejak awal, hanya memilih tidak melakukannya.

“Warga mempertanyakan: kalau bisa dibongkar sekarang, kenapa tidak sejak logo kota dirontokkan?” ujar Suhendar.

Sisi Manusia di Balik Jalan yang Terluka

Di sebuah warung kecil dekat simpang Muncul, Nuraini, penjual minuman dingin, mengaku paling merasakan perubahan lalu lalang kendaraan. Ketika pagar ditutup, pengunjung warungnya menurun drastis.

“Biasanya ramai anak kampus lewat sini. Tapi sejak akses ditutup, sepi. Tiba-tiba BRIN pasang pagar, saya cuma bisa lihat,” katanya sambil merapikan botol minuman.

Nuraini bukan aktivis, bukan pula pengurus RT. Tapi baginya, jalan itu seperti halaman depan rumah. Ketika identitas kotanya hilang, ia merasa ada bagian kecil dirinya ikut hilang.

“Plang ‘Selamat Datang’ itu kan simbol. Orang tahu ini Tangsel karena plang itu,” ujarnya lirih.

Menunggu 1 Januari: Janji yang Diikat Tenggat

Warga memberi batas waktu hingga 1 Januari tahun depan. Mereka menuntut pengembalian fungsi jalan, pemulihan identitas wilayah, dan kejelasan sikap resmi Pemkot Tangsel terhadap klaim BRIN.

Jika tidak ada langkah konkret, warga mengancam akan kembali turun aksi. “Ini bukan soal menang-kalah dengan BRIN,” kata seorang tokoh warga di Muncul. “Ini soal Tangsel berdiri di tanahnya sendiri.”

Di Mana Sebuah Kota Meletakkan Namanya

Menjelang malam, lampu-lampu kendaraan mulai memantul di genangan aspal Jalan Puspitek. Plang “Selamat Datang” yang lenyap itu kini hanya tinggal kenangan yang bersandar di kepala warga. Jalan itu tetap menghubungkan dua titik, tapi identitasnya seperti dihapus dari peta.

Mungkin, seperti jalan itu, sebuah kota kadang tidak kehilangan ruangnya—ia hanya kehilangan keberanian untuk menyebutkan namanya.

Sumber: Tribuntangerang

Disunting oleh: S. Reja

Terakhir disunting: Desember 2, 2025

Komentar Pembaca

pos terkait