
NEWS TANGERANG– Iduladha selalu jadi momen yang pas untuk berkurban dan berefleksi. Di Indonesia, hari raya ini seringkali jadi ajang silaturahmi besar, apalagi dengan tradisi pemotongan hewan kurban yang dilakukan secara massal dan bergotong royong. Tapi, pernah kebayang enggak sih, bagaimana suasana Lebaran Kurban di Thailand?
Tahun ini, saya berkesempatan merasakan langsung suasana Iduladha di Bangkok, ibu kota Negeri Seribu Pagoda. Pagi hari Iduladha di sana sebenarnya tidak begitu berbeda dengan hari-hari biasa. Iduladha memang bukan hari libur nasional di Thailand, jadi bagi penduduk lokal, suasananya terasa biasa saja.
Namun, tentu berbeda ceritanya bagi komunitas muslim di sana, terutama para perantau. Bagi mereka, hari itu sangatlah spesial, meski tidak semeriah di tanah air.
Setelah mencari informasi, saya dan teman-teman akhirnya memutuskan untuk melaksanakan salat Iduladha di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Bangkok. Lokasinya ada di Petchburi Road, tidak jauh dari Plaza Pratunam.
Dari penginapan, kami memilih naik taksi karena tidak terlalu jauh. Sesampainya di KBRI, kami harus melakukan registrasi. Kami menukarkan paspor atau KTP dengan kartu tanda tamu sebagai akses masuk ke area kedutaan.
Begitu melangkah masuk ke dalam area kedutaan, suasananya langsung terasa berbeda drastis dari hiruk pikuk di luar. Gema suara takbir mulai berkumandang, menyambut kedatangan jemaah yang terus berdatangan.
Memang, perayaan Iduladha di Bangkok—dan di negara lain pada umumnya—berbeda dengan di Indonesia. Di area salat, tidak terlihat adanya hewan kurban.
Proses pemotongan hewan kurban dilakukan di lokasi khusus yang telah disiapkan, sesuai dengan peraturan setempat. Daging kurban nantinya akan didistribusikan kepada kaum dhuafa, fakir miskin, dan mereka yang membutuhkan di daerah Minburi, Bangkok.
Melihat jemaah mengenakan pakaian Lebaran lengkap, seketika saya teringat suasana salat Id di kampung halaman. Salat Iduladha dilaksanakan di lapangan KBRI, beralaskan rumput yang dilapisi koran.
Ini adalah kebiasaan khas orang Indonesia yang tetap terjaga di perantauan. Di sekitar lokasi salat, tersedia juga tempat wudu dengan keran-keran yang mudah dijangkau.
Setelah berwudu dan mencari tempat, kami duduk bersila di antara jemaah lainnya. Tidak ketinggalan, kotak amal juga disediakan untuk bersedekah. Pagi itu terasa sangat teduh dan nyaman, berbeda dengan cuaca siang hari Thailand yang biasanya terik. Ini sangat pas untuk salat berjamaah di ruang terbuka.
Salat Id di Bangkok dimulai pukul 07.00 pagi, sama seperti kebanyakan pelaksanaan salat Id di Indonesia. Setelah salat, acara dilanjutkan dengan ceramah yang disampaikan sepenuhnya dalam bahasa Indonesia.
Ada juga sambutan hangat dari Duta Besar Indonesia untuk Thailand. Ini menambah keakraban di antara sesama warga negara Indonesia.
Setelah seluruh rangkaian ibadah selesai, kami pun bersalam-salaman. Saya melihat banyak warga Indonesia yang mungkin sudah lama tinggal di Bangkok saling bertegur sapa, melepas rindu.
Suasana pasca-salat juga sangat rapi. Para jemaah dengan sigap langsung membuang koran bekas alas salat ke tempat sampah yang disediakan.
Kemudian, kami dipersilakan untuk mengambil kudapan yang telah disiapkan. Snack-nya berisi aneka jajanan khas Indonesia yang beragam. Saya sendiri mendapatkan lontong, gorengan, dan puding yang lezat.
Merayakan Iduladha di Bangkok memang memberikan pengalaman yang unik dan berbeda, namun tetap sarat makna. Meskipun jauh dari keluarga dan kampung halaman, suasana kebersamaan yang terjalin di antara sesama warga Indonesia di perantauan terasa begitu hangat dan tulus.
Mulai dari salat bersama, gema takbir yang menyentuh hati, hingga menikmati jajanan khas tanah air, semua itu menjadi pengingat kuat bahwa semangat Iduladha tidak mengenal batas wilayah.
Nilai-nilai pengorbanan, keikhlasan, dan kepedulian tetap terasa begitu kuat, bahkan saat kita berada di negeri orang. Iduladha di Negeri Seribu Pagoda ini bukan hanya momen ibadah semata.
Lebih dari itu, ini adalah ruang untuk merefleksikan makna pengorbanan dalam kehidupan sehari-hari. Ini tentang bagaimana kita bisa saling menguatkan, berbagi, dan terus menjaga identitas serta tradisi, meskipun berada di tengah lingkungan yang berbeda.
Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa makna sebuah hari besar keagamaan tidak hanya terletak pada kemeriahannya. Lebih dalam lagi, maknanya ada pada rasa syukur dan kebersamaan yang tumbuh di tengah keterbatasan.
Ini adalah pengingat bahwa di mana pun kita berada, nilai-nilai kebaikan dan makna sejati Iduladha akan selalu menemukan jalannya.
Suasana Idul Adha di Bangkok berbeda dengan Indonesia karena bukan hari libur nasional, sehingga terasa lebih biasa bagi penduduk lokal. Namun, bagi komunitas muslim, khususnya perantau, hari raya ini tetap istimewa meski tidak semeriah di tanah air. Penulis melaksanakan salat Idul Adha di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Bangkok, di mana gema takbir dan tradisi khas Indonesia, seperti penggunaan koran sebagai alas salat, tetap terasa kental.
Proses pemotongan hewan kurban dilakukan di lokasi khusus terpisah dari KBRI, dengan daging didistribusikan kepada yang membutuhkan di Minburi. Salat Idul Adha di KBRI dimulai pukul 07.00 pagi, diikuti ceramah dan sambutan dari Duta Besar Indonesia dalam bahasa Indonesia, yang menambah keakraban. Setelah ibadah, jemaah dapat menikmati kudapan berupa jajanan khas Indonesia, menegaskan bahwa semangat kebersamaan dan nilai-nilai Idul Adha tetap kuat di perantauan.
Penulis: Santika Reja
Editor: Santika Reja
Terakhir disunting: Juni 6, 2025