160 x 600 AD PLACEMENT
160 x 600 AD PLACEMENT
160 x 600 AD PLACEMENT
160 x 600 AD PLACEMENT

Malaysia Sibuk Naturalisasi, Sejarahnya Ternyata Dimulai Bocah Probolinggo

NEWS TANGERANG– JAKARTA – Program naturalisasi kini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari persepakbolaan modern. Fenomena ini, yang belakangan gencar dilakukan oleh Federasi Sepak Bola Malaysia (FAM) misalnya, ternyata memiliki akar sejarah yang cukup mengejutkan. Kisahnya bermula dari sebuah kota kecil di utara Jawa Timur, yaitu Probolinggo.

Pada tanggal 11 Juni 1908, lahirlah seorang anak keturunan Belanda di Probolinggo, yang kemudian dikenal dengan nama Law Adam. Mengutip catatan dari sportgeschiedenis.nl, Adam tak lama kemudian pindah ke Den Haag, Belanda, saat masih belia. Di sana, bakatnya dalam mengolah si kulit bundar mulai terasah hingga ia bergabung dengan klub HVV Den Haag.

Pada usia 19 tahun, perjalanan Adam berlanjut ke Zurich, Swiss, untuk menempuh pendidikan. Di kota tersebut, ia juga tak lepas dari dunia sepak bola dan bergabung dengan klub legendaris, Grasshoppers. Di Grasshoppers inilah Law Adam menunjukkan potensi maksimalnya, menjelma menjadi salah satu pemain sayap kanan terbaik di Eropa.

Law Adam dikenal memiliki gocekan yang mematikan, seperti yang dijelaskan oleh Max Colthoff dalam bukunya, Als de Kraaien Overvliegen. Colthoff menggambarkan bagaimana Adam akan menggiring bola ke arah lawan, lalu memutar kaki kirinya mengelilingi bola berlawanan arah jarum jam. Gerakan ini diselingi dengan gerakan bahu yang mengecoh, membuat lawan bergerak ke kiri, sementara Adam membawa bola ke kanan dengan kaki kanannya.

Gerakan tipuan yang kini akrab kita kenal sebagai “stepover” ini, diyakini pertama kali dipraktikkan oleh Adam. Teknik ini kemudian menjadi senjata ampuh bagi para pesepak bola di seluruh dunia untuk melewati hadangan lawan.

Saking hebatnya penampilan Adam, koran Belanda Het Vaderland melaporkan sebuah kebijakan kontroversial yang diambil oleh tim seleksi Timnas Swiss pada tahun 1929. Mereka menggunakan celah hukum untuk merekrut Adam sebagai bagian dari tim nasional menjelang Piala Eropa yang akan diikuti oleh Hungaria, Italia, Cekoslowakia, dan Swiss. Ini adalah kali pertama Swiss merekrut pemain berkewarganegaraan asing untuk tim nasional mereka.

Langkah ini kemudian menginspirasi tren serupa di Italia, di mana Timnas Italia pada era 1930-an mulai merekrut para “Oriundi” atau pemain asing keturunan Italia. Ini menandai dimulainya era pemain naturalisasi dalam sepak bola internasional.

Setahun berselang, Belanda ternyata tidak tinggal diam. Mereka kemudian mengklaim Law Adam untuk bermain bagi tim Oranye. Keputusan ini juga sempat memicu kontroversi di Belanda, mengingat Adam sudah pernah bermain untuk Timnas Swiss. Ironisnya, ketika Belanda kemudian kalah 3-6 dari Swiss, Adam ikut disalahkan dan dicap sebagai “pemain asing” di antara kritik yang beredar.

Sayangnya, karier Adam bersama Tim Oranye tidak berlangsung lama. Pada tahun 1933, setelah hanya 10 kali membela Timnas Belanda, ia didiagnosis mengidap penyakit jantung. Kondisi ini memaksanya untuk pensiun dini dari dunia sepak bola profesional karena dianggap tidak fit.

Meskipun kesehatannya memburuk, kecintaan Law Adam pada sepak bola tak pernah padam. Ia memutuskan untuk pulang ke “Tanah Air” alias Indonesia, dan terus bermain bola. Pada tahun 1940, lima tahun sebelum Indonesia merdeka, Adam tercatat mengikuti pertandingan membela klub Thor melawan Anasher di Surabaya, Jawa Timur.

Tragedi tak terduga menimpa Adam dalam pertandingan tersebut. Wasit WA Lambeck menulis dalam majalah De Scheidsrechter bahwa Adam harus meninggalkan lapangan pada menit ke-53. Lambeck mengenang perkataan Adam kala itu, “Jantung saya berulah lagi,” sambil memegangi dadanya.

Ketika Lambeck kemudian menengok ke ruang ganti, ia mendapati tubuh Adam sudah membiru terbaring di meja pijat. Nyawanya tak tertolong lagi. Law Adam, salah satu pionir naturalisasi sepak bola dunia, yang lahir di Probolinggo dan meninggal di Surabaya, menghembuskan napas terakhirnya di usia yang masih sangat muda, 32 tahun. Kisahnya menjadi bukti bagaimana tren naturalisasi telah ada jauh sebelum era modern.

Penulis: Santika Reja

Editor: Santika Reja

Terakhir disunting: Juni 13, 2025

Kamu mungkin juga suka ini!