Seedbacklink affiliate

Geger! Mahasiswi IPB Babak Belur Dihajar Security Perusahaan Saat Riset Skripsi di Danau Toba, Rektor Turun Tangan!

Polisi dan petugas keamanan bersenjata di kawasan Danau Toba.
Aparat keamanan berjaga di sekitar lokasi riset mahasiswi IPB.
banner 120x600

NEWS TANGERANG– Kabar mengejutkan datang dari Danau Toba, Sumatera Utara. Feny Siregar, mahasiswi Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM) Fakultas Ekologi Manusia (Fema) IPB University, diduga menjadi korban pemukulan brutal oleh security PT Toba Pulp Lestari (TPL). Insiden tragis ini terjadi saat Feny sedang melakukan riset tugas akhir skripsinya.

Peristiwa mencekam tersebut dilaporkan terjadi di kawasan Danau Toba, tepatnya di Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, pada Senin, 22 September lalu. Kabar ini telah dikonfirmasi langsung oleh pihak IPB University melalui keterangan tertulis.

Kronologi Mencekam di Tengah Riset Skripsi

Riset skripsi Feny berfokus pada isu krusial: konflik agraria dalam perspektif gender. Ia memilih obyek penelitian Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut (Lamtoras), sebuah komunitas adat yang telah menghuni kawasan Danau Toba secara turun-temurun selama 11 generasi.

Tujuan Feny adalah mendalami kehidupan para petani di tengah sengketa lahan yang berkepanjangan. Namun, niat mulianya untuk mencari data justru berujung pada pengalaman traumatis yang tak terduga.

Suasana damai di lokasi riset tiba-tiba berubah mencekam ketika ratusan pekerja PT TPL menyerbu area tersebut. Feny, yang kala itu tengah mendokumentasikan kejadian dengan foto dan video, justru ikut menjadi sasaran kekerasan.

Pengakuan Feny Siregar: "Saya Dikira Provokator!"

Feny Siregar, mahasiswi semester IX IPB, mengaku dikejar-kejar oleh pekerja TPL. Ia menduga alasannya karena jaket almamater IPB yang dikenakannya, yang mungkin disalahpahami sebagai identitas LSM atau pihak provokator.

"Saya dikejar-kejar pekerja TPL. Mungkin karena saya mengenakan jaket kampus IPB," kata Feny dalam keterangannya. Ia sempat bersembunyi di posko yang juga merupakan hunian masyarakat adat, namun kekerasan tak terhindarkan.

Dalam situasi kacau balau itu, Feny menceritakan bagaimana ia dipukul di bagian kepala menggunakan kayu, alat yang biasa dibawa oleh pekerja TPL. "Saat pekerja TPL memukuli warga, saya juga dipukul. Mengira saya pihak LSM sebagai provokator padahal saya sudah bilang mahasiswa," ungkap Feny.

"Waktu mereka memukuli saya, mereka bilang. ‘Kau provokator kan. Kau bukan mahasiswa, tapi kau dari LSM kan’," lanjut Feny. Akibat pemukulan itu, bagian kepalanya bengkak dan ia kini harus dirawat di Rumah Sakit Harapan, Pematangsiantar.

Jaket almamater kebanggaan IPB yang dikenakannya bahkan terlepas dari tubuh Feny dan tertinggal di Posko LAMTORAS, menjadi saksi bisu kekerasan yang dialaminya. Insiden ini meninggalkan luka fisik dan mental yang mendalam bagi Feny.

Bukan Hanya Feny: Puluhan Warga Adat Turut Jadi Korban

Kekerasan yang terjadi tidak hanya menimpa Feny seorang. Marihot Ambarita, Sekretaris Umum Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras), melaporkan bahwa terdapat 33 korban luka-luka akibat aksi pekerja PT TPL. Yang lebih memilukan, di antara korban tersebut terdapat perempuan dan anak-anak.

Salah satu korban adalah Dimas Ambarita, seorang anak berusia 17 tahun yang juga penyandang disabilitas. Kondisi kakinya yang tidak normal membuatnya kesulitan berjalan, menambah kepedihan saat ia menjadi sasaran kekerasan.

Kakak kandung Dimas, Putri Ambarita (25), lulusan Sarjana Teknik Informatika Universitas Prima Medan, juga mengalami luka serius. Ia berada di Posko bersama Feny Siregar dan berusaha melindungi adiknya.

"Kak Putri sampai berlutut memohon agar tidak dipukuli. Namun pekerja TPL tidak peduli. Kami dihajar," kata Feny, menggambarkan kengerian saat itu. Menurut dokter, kondisi Putri parah dan agak linglung, sehingga memerlukan konsultasi lanjutan ke psikolog atau psikiater.

Dua orang ibu bernama Delima Sinaga dan Rosnawati Ambarita juga menjadi korban pemukulan. Kesaksian Baren Ambarita, mantan Kepala Desa Sihaporas tahun 2002-2004, menguatkan gambaran kekejaman tersebut. Ia menyebut perlakuan pekerja TPL memang beringas, bersenjata pentungan kayu, tameng rotan, helm dengan penutup wajah.

"Saat kami ajak dialog, massa pekerja TPL berteriak, tidak ada lagi dialog," kenang Baren, menunjukkan betapa tertutupnya ruang komunikasi saat itu.

Respons Cepat IPB University: Perlindungan Penuh untuk Mahasiswi

Mendengar kabar tragis yang menimpa mahasiswinya, Rektor IPB University, Arif Satria, langsung menyatakan keprihatinan mendalam. Ia menegaskan bahwa IPB akan segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menindaklanjuti kasus tersebut.

"Kami sangat prihatin pada kasus yang menimpa Saudari Feny, yang menjadi korban pemukulan. IPB University akan segera melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk menindaklanjuti kasus tersebut," kata Arif dalam keterangannya, Selasa, 23 September.

IPB berkomitmen penuh untuk memberikan perlindungan kepada Feny. Dekan Fema IPB University, Sofyan Sjaf, telah ditugaskan secara khusus untuk berkoordinasi dengan pihak terkait, termasuk Polda Sumatera Utara, guna mengumpulkan fakta dan kronologi kejadian yang sebenarnya.

Sofyan Sjaf juga akan segera bertolak ke lokasi kejadian. Tujuannya adalah untuk bertemu langsung dengan Feny dan keluarganya, memastikan kondisi kesehatan fisik dan mental Feny tertangani dengan baik dan mendapatkan dukungan penuh dari kampus.

Versi Berbeda dari PT TPL: Klaim Adanya Penghadangan

Di tengah sorotan publik dan kecaman atas insiden ini, PT Toba Pulp Lestari (TPL) memberikan versi kejadian yang berbeda. Corporate Communication Head PT TPL, Salomo Sitohang, mengklaim bahwa insiden bermula saat pekerja mereka diadang.

Menurut Salomo, rombongan pekerja TPL yang hendak menuju lokasi pemanenan dan penanaman eukaliptus, dihadang oleh sekelompok orang. Mereka disebut melakukan pelemparan batu serta memblokir jalan dengan kayu gelondongan.

Akibat konflik tersebut, Salomo menyatakan bahwa sedikitnya enam orang pekerja PT TPL mengalami luka-luka. Selain itu, dua unit mobil operasional perusahaan juga dibakar. Pihak TPL telah melaporkan kejadian ini kepada pihak berwenang dan seluruh korban telah dibawa ke RSUD Parapat untuk mendapat perawatan lebih lanjut.

Konflik Agraria yang Memanas: Akar Masalah di Sihaporas

Insiden kekerasan ini bukanlah kejadian tunggal, melainkan puncak dari konflik agraria yang sudah berlangsung lama di kawasan tersebut. Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara, Boy Raja Marpaung, menjelaskan bahwa sengketa lahan antara Lamtoras dan PT TPL telah menjadi akar masalah.

Masyarakat adat Lamtoras mengklaim telah menghuni lahan tersebut secara turun-temurun selama 11 generasi, menjadikannya tanah adat mereka. Namun, PT TPL memiliki izin konsesi di area yang sama, memicu ketegangan dan perebutan hak atas tanah.

Penyerbuan pekerja TPL, yang disebut Boy Raja Marpaung berjumlah sekitar 150 orang, terjadi saat puluhan petani Lamtoras sedang berladang pada Senin pagi. Para pekerja TPL mengenakan seragam hitam-hitam, membawa parang bengkok, tongkat listrik, rotan, kayu, hingga tameng, mirip pasukan anti huru-hara.

Awalnya sempat terjadi perdebatan antara petani dan rombongan pekerja TPL. Namun, suasana memanas ketika salah seorang perempuan masyarakat adat dipukul hingga giginya copot, memicu bentrokan yang lebih luas.

Petani dipukul mundur, dan keributan semakin meluas ketika sekitar 500 pekerja dan petugas keamanan TPL datang kembali. Mereka bahkan merusak tanaman kopi, jahe, dan jagung, serta menghancurkan alat pertanian milik warga.

Langkah Selanjutnya: Menanti Keadilan dan Perlindungan

Kasus yang menimpa Feny Siregar dan puluhan warga adat ini kini menjadi perhatian serius banyak pihak. Insiden ini menyoroti pentingnya perlindungan bagi para peneliti yang bekerja di lapangan, serta hak-hak masyarakat adat di tengah konflik agraria yang kerap memanas.

Semua mata kini tertuju pada langkah selanjutnya dari IPB University, Polda Sumatera Utara, dan pihak terkait lainnya. Diharapkan investigasi menyeluruh dapat mengungkap kebenaran dan memastikan keadilan bagi Feny serta seluruh korban kekerasan di Desa Sihaporas. Perlindungan terhadap kebebasan akademik dan hak-hak masyarakat adat harus menjadi prioritas utama.

Penulis: Arya N

Editor: Santika Reja

Terakhir disunting: September 24, 2025

Promo Akad Nikah Makeup