NEWS TANGERANG– Kabar mengejutkan datang dari Makassar, Sulawesi Selatan. Dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Panakkukang 02 yang selama ini menjadi tulang punggung program makan bergizi gratis (MBG) bagi ratusan siswa, kini resmi berhenti beroperasi. Keputusan ini sontak memicu kekhawatiran, tidak hanya bagi para siswa yang kehilangan asupan gizi penting, tetapi juga puluhan pekerja yang mendadak kehilangan mata pencarian.
Anggaran Rp6.500: Biang Kerok di Balik Mandeknya Program
Penyebab utama di balik penutupan dapur SPPG ini ternyata adalah kebijakan penetapan uang belanja MBG yang hanya sebesar Rp6.500 per porsi. Angka ini dinilai tidak realistis dan jauh dari cukup untuk menyediakan makanan bergizi seimbang, apalagi di tengah harga bahan pokok yang terus merangkak naik. Mitra Badan Gizi Nasional (BGN), Arifin Gassing, mengungkapkan keheranannya atas kebijakan tersebut.
"Saya juga tidak mengerti kenapa harus Rp6.500. Padahal jelas petunjuk Presiden lebih besar dari itu," ujar Arifin kepada wartawan pada Senin (29/9). Pernyataan ini mengindikasikan adanya ketidakselarasan antara arahan pusat dan implementasi di lapangan, memunculkan pertanyaan besar tentang efektivitas koordinasi program pemerintah.
Visi Presiden Prabowo yang Terganjal di Lapangan
Program Makan Bergizi Gratis sendiri merupakan salah satu janji kampanye utama Presiden Prabowo Subianto yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas gizi anak-anak Indonesia, terutama di usia sekolah. Visi ini diharapkan dapat menekan angka stunting, meningkatkan konsentrasi belajar, dan menciptakan generasi penerus yang lebih sehat dan cerdas. Namun, dengan anggaran yang dipatok terlalu rendah, esensi dari "makan bergizi" itu sendiri menjadi dipertanyakan.
Jika Rp6.500 adalah batas maksimal, bagaimana mungkin sebuah hidangan bisa memenuhi standar gizi yang diharapkan Presiden? Kualitas dan kuantitas bahan makanan yang bisa dibeli dengan anggaran sekecil itu tentu sangat terbatas, berpotensi mengorbankan nutrisi esensial yang seharusnya diterima anak-anak. Ini menjadi tantangan serius bagi keberlanjutan dan efektivitas program secara nasional.
Ratusan Siswa Terdampak Langsung: Bekal dari Rumah Jadi Solusi Sementara
Dampak paling nyata dari penutupan dapur ini langsung dirasakan oleh ratusan siswa di Makassar. Kepala UPT SPF SD Negeri Tamamaung 1, Basora, mengungkapkan bahwa sebanyak 383 siswanya kini tidak lagi mendapatkan MBG. Situasi ini memaksa pihak sekolah untuk kembali meminta siswa membawa bekal dari rumah, sebuah solusi sementara yang belum tentu bisa diterapkan oleh semua keluarga.
"Kalau datang kita terima, tidak datang mau bagaimana lagi. Kami berharap ke depan kebijakan ini lebih terarah," kata Basora, menunjukkan kepasrahan sekaligus harapan akan adanya perbaikan. Kondisi serupa juga dialami oleh sekolah lain, menciptakan keresahan di kalangan orang tua dan pendidik yang peduli terhadap asupan gizi anak didiknya.
Bukan Kali Pertama: Vakumnya Program Menjadi Sorotan
Ironisnya, kejadian ini bukanlah yang pertama kali. Menurut Basora, penyaluran MBG sempat vakum selama dua pekan pada Agustus lalu. Pengulangan masalah ini menunjukkan adanya isu fundamental dalam perencanaan atau implementasi program yang perlu segera dievaluasi. Ketidakpastian seperti ini tentu mengganggu ritme belajar dan kesehatan siswa.
Vakumnya program secara berulang kali juga dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap keberlanjutan program pemerintah. Orang tua dan siswa yang sudah terbiasa mendapatkan manfaat dari MBG kini harus menghadapi ketidakpastian, membuat mereka bertanya-tanya tentang komitmen pemerintah terhadap kesejahteraan anak-anak.
Kepala Sekolah Bingung: Program Pusat Kok Bisa Disetop?
Kebingungan juga dirasakan oleh Kepala UPT SPF SD Negeri Karuwisi 2, Fatmasanra. Ia menuturkan bahwa berdasarkan surat resmi dari BGN, dapur tersebut sudah diberhentikan. "Ini menjadi pertanyaan. Mengapa ada arahan pemberhentian sementara, padahal program MBG merupakan ketentuan dari pemerintah pusat," ujarnya.
Pertanyaan Fatmasanra sangat relevan. Bagaimana mungkin program yang digagas dan menjadi prioritas pemerintah pusat bisa mengalami kendala di tingkat daerah akibat masalah anggaran yang seharusnya sudah diperhitungkan? Ini menyoroti potensi miskomunikasi atau perbedaan interpretasi kebijakan antara pusat dan daerah, yang pada akhirnya merugikan masyarakat.
Nasib Puluhan Pekerja Dapur Terkatung-katung
Selain siswa, puluhan pekerja di dapur MBG juga menjadi korban langsung dari penutupan ini. Mereka yang selama ini menggantungkan hidup pada kegiatan MBG kini harus menghadapi kenyataan pahit tanpa pekerjaan. Nurul Istiqomah, salah satu pekerja, mengungkapkan keprihatinannya.
"Banyak dari kami hanya bergantung pada kegiatan MBG untuk menghidupi keluarga," kata Nurul. Kisah Nurul dan rekan-rekannya adalah potret nyata dampak ekonomi dari kebijakan yang kurang matang. Penutupan ini tidak hanya mengancam gizi anak, tetapi juga stabilitas ekonomi keluarga-keluarga pekerja.
Menanti Respons dan Solusi dari Pihak Berwenang
Hingga berita ini diturunkan, pihak SPPG wilayah Sulawesi Selatan dan Panakkukang belum memberikan respons terkait penutupan dapur MBG tersebut. Ketiadaan penjelasan resmi ini tentu menambah tanda tanya besar di benak masyarakat dan pihak-pihak yang terdampak. Transparansi dan akuntabilitas sangat dibutuhkan dalam situasi seperti ini.
Masyarakat berharap agar pemerintah pusat dan daerah segera duduk bersama mencari solusi terbaik. Apakah anggaran Rp6.500 akan direvisi? Atau adakah skema lain yang bisa memastikan program MBG tetap berjalan sesuai visi awal, yaitu menyediakan makanan bergizi yang layak bagi anak-anak Indonesia? Ini adalah PR besar yang harus segera diselesaikan demi masa depan generasi penerus bangsa.
Masa Depan MBG di Ujung Tanduk: Pentingnya Evaluasi Menyeluruh
Kasus di Makassar ini bisa menjadi cerminan bagi implementasi program MBG di daerah lain. Jika masalah anggaran yang tidak realistis ini tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin kasus serupa akan terjadi di wilayah lain, mengancam keberlanjutan program nasional yang sangat vital ini. Evaluasi menyeluruh terhadap skema anggaran, rantai pasok, dan koordinasi antarlembaga menjadi sangat krusial.
Program Makan Bergizi Gratis adalah investasi jangka panjang untuk kualitas sumber daya manusia Indonesia. Oleh karena itu, setiap kendala yang muncul harus ditangani dengan serius dan cepat. Harapan besar kini tertumpu pada pemerintah untuk menunjukkan komitmennya, memastikan bahwa tidak ada lagi dapur gizi yang tutup dan tidak ada lagi siswa yang kehilangan haknya atas asupan gizi yang layak.
Penulis: Arya N
Editor: Santika Reja
Terakhir disunting: September 30, 2025