Seedbacklink affiliate

Rocky Gerung ‘Sentil’ Polri: Sirine Bukan Bujuk Rayu, Tapi Bikin Stres! Ini Respons Cepat yang Tepat

Rocky Gerung berbicara, dengan Gibran Rakabuming dalam kolase, di tengah keramaian massa.
Rocky Gerung apresiasi respons cepat Korlantas terkait sirine dan rotator.
banner 120x600

NEWS TANGERANG– Langkah Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri untuk membekukan sementara penggunaan sirine dan rotator di jalan raya mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Salah satunya adalah akademisi Rocky Gerung, yang menilai keputusan ini sebagai langkah tepat dan menunjukkan kepekaan institusi terhadap keresahan publik.

Rocky Gerung menyoroti respons cepat Kakorlantas Polri Irjen Agus Suryonugroho. Menurutnya, tindakan ini membuktikan adanya kesadaran dan keinginan untuk mengevaluasi diri di tengah sorotan tajam masyarakat.

Lebih jauh, Rocky Gerung membahas makna filosofis sirine yang berasal dari mitologi Yunani. Sirene digambarkan sebagai makhluk dengan suara merdu yang memikat, bahkan membujuk rayu.

Namun, realitas di perkotaan modern justru berbanding terbalik. Apa yang seharusnya "suara merdu" kini telah berubah menjadi "kebisingan" yang mengganggu dan memicu ketidaknyamanan.

"Suara merdu bila dipaksakan jadi kebisingan," ujar Rocky. Ia menambahkan bahwa langkah Polri untuk menghentikan penggunaan sirine sembarangan adalah keputusan yang tepat, sebelum tuntutan publik semakin meluas.

Penggunaan sirine yang tidak sesuai aturan, menurut Rocky, justru menjadi pemicu stres harian bagi pengguna jalan lain. Suara "tetot-tetot" yang berlebihan menciptakan suasana tidak nyaman dan mengganggu konsentrasi, terutama di tengah kemacetan.

"Mereka yang memanfaatkan fasilitas itu membuat publik terganggu. Setiap hari orang jadi stres di jalan hanya karena tetot-tetot," jelasnya, menggambarkan dampak psikologis yang dirasakan masyarakat perkotaan.

"Tot Tot Wuk Wuk" dan Keresahan Publik

Fenomena "Tot Tot Wuk Wuk" yang sempat viral menjadi simbol penyalahgunaan sirine dan rotator. Suara khas ini sering kali dikaitkan dengan kendaraan yang tidak memiliki hak prioritas namun tetap memaksa jalan, seolah-olah memiliki kekuasaan lebih.

Keresahan masyarakat memuncak karena penggunaan fasilitas ini sering kali terkesan arogan dan tidak menghargai pengguna jalan lain. Ini menciptakan ketidakadilan dan kemacetan yang tidak perlu, memperparah kondisi lalu lintas.

Menanggapi gelombang kritik tersebut, Korlantas Polri akhirnya mengambil tindakan tegas. Irjen Agus Suryonugroho secara resmi membekukan sementara penggunaan sirene dan rotator yang sering disalahgunakan.

Langkah ini bukan hanya sekadar respons reaktif, melainkan juga bagian dari evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan yang ada. Korlantas tengah menyusun ulang aturan main agar penyalahgunaan oleh pihak yang tidak berhak bisa dicegah secara sistematis.

"Kami menghentikan sementara penggunaan suara-suara itu, sembari dievaluasi secara menyeluruh," kata Agus pada Sabtu (20/9) lalu. Ini menunjukkan komitmen untuk menciptakan ketertiban yang lebih baik dan mengembalikan kepercayaan publik.

Prioritas Tetap, Aturan Diperketat

Meskipun sirine dibekukan sementara, pengawalan terhadap kendaraan pejabat atau situasi darurat tetap berjalan. Namun, penekanannya kini ada pada penggunaan sirine yang benar-benar esensial dan sesuai prosedur.

Agus menegaskan bahwa sirine hanya boleh digunakan pada kondisi tertentu yang memang membutuhkan prioritas tinggi, seperti ambulans atau pemadam kebakaran. Ini bukan lagi soal kemudahan, melainkan kebutuhan mendesak yang menyangkut keselamatan.

"Kalau pun digunakan, sirene itu untuk hal-hal khusus, tidak sembarangan. Sementara ini sifatnya himbauan agar tidak dipakai bila tidak mendesak," jelasnya, memberikan batasan yang lebih jelas dan tegas bagi para pengguna jalan.

Rocky Gerung juga menekankan pentingnya menghargai ruang publik dengan cara yang lebih beradab. Jalan raya, menurutnya, bukanlah arena untuk memamerkan kekuasaan atau status sosial semata.

Sebaliknya, jalan raya adalah "ruang peradaban" bagi masyarakat, tempat di mana nilai-nilai kesopanan dan saling menghormati harus dijunjung tinggi. Interaksi di jalan harus mencerminkan kemajuan peradaban, bukan dominasi.

"Sirene mestinya bunyi merdu, bukan menakutkan. Saya setuju bahwa tetot-tetot dihentikan," pungkas Rocky. Ia berharap masyarakat sipil bisa merasakan jalan raya sebagai cerminan peradaban yang lebih baik dan harmonis.

Makna di Balik Pembekuan Sirine: Suara Publik Didengar

Keputusan Korlantas Polri ini lebih dari sekadar pembekuan fasilitas. Ini adalah sinyal kuat bahwa suara publik didengar dan direspons oleh institusi negara, menunjukkan adanya mekanisme kontrol sosial yang berfungsi.

Kepekaan terhadap kritik dan kemauan untuk berbenah adalah kunci dalam membangun kepercayaan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa reformasi birokrasi terus berjalan, meski terkadang perlahan, namun dengan tujuan yang jelas.

Pembekuan sirine ini juga menjadi pengingat bagi semua pihak, termasuk pejabat dan pengawal, untuk tidak menyalahgunakan fasilitas publik. Kekuasaan datang dengan tanggung jawab, bukan hak istimewa tanpa batas yang bisa seenaknya digunakan.

Pada akhirnya, langkah ini diharapkan dapat mengembalikan fungsi sirine sesuai makna aslinya: sebagai penanda keadaan darurat, bukan simbol superioritas yang menakutkan. Ini adalah langkah kecil menuju budaya berlalu lintas yang lebih tertib dan beradab di Indonesia.

Masyarakat pun kini menanti implementasi aturan baru yang lebih jelas dan tegas, serta pengawasan yang konsisten. Dengan begitu, jalan raya bisa benar-benar menjadi ruang peradaban yang nyaman dan aman bagi semua pengguna.

Penulis: Arya N

Editor: Santika Reja

Terakhir disunting: September 25, 2025

Promo Akad Nikah Makeup