NEWS TANGERANG– Rencana ambisius Pertamina Patra Niaga untuk menggandeng perusahaan swasta dalam penyaluran bahan bakar minyak (BBM) kini harus gigit jari. Dua raksasa swasta, VIVO dan APR (BP-AKR), yang awalnya digadang-gadang bakal jadi mitra strategis, kini resmi membatalkan kesepakatan pembelian base fuel dari Pertamina. Sebuah langkah mundur yang cukup mengejutkan di tengah upaya kolaborasi energi nasional.
Awalnya Semangat, Kini Kandas
Kabar pembatalan ini dikonfirmasi langsung oleh Wakil Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Achmad Muchtasyar. Ia menjelaskan bahwa VIVO menjadi yang pertama memutuskan untuk tidak melanjutkan negosiasi, diikuti kemudian oleh APR yang juga menarik diri dari kesepakatan. "VIVO membatalkan untuk melanjutkan. Akhirnya tidak disepakati lagi. Lalu tinggal APR. APR akhirnya tidak juga. Jadi tidak ada semua," ungkap Achmad dalam rapat bersama Komisi VII DPR, pada Rabu, 1 Oktober 2025, dilansir situs detikFinance.
Padahal, beberapa waktu sebelumnya, VIVO sempat menunjukkan komitmen kuat dengan menyatakan kesiapan membeli hingga 40 ribu barel BBM dari Pertamina. Harapan akan sinergi yang lebih luas dalam distribusi energi nasional pun sempat membumbung tinggi, namun kini harus pupus.
Alasan Pembatalan: Si Etanol Jadi Biang Kerok?
Lalu, apa sebenarnya yang menjadi batu sandungan utama di balik pembatalan kerja sama ini? Achmad Muchtasyar membeberkan bahwa alasan krusial yang disampaikan oleh pihak swasta adalah terkait kandungan etanol dalam base fuel Pertamina. Isu ini menjadi sorotan utama yang membuat VIVO dan APR mundur.
Menurut Achmad, meskipun secara regulasi kandungan etanol dalam bahan bakar diperbolehkan hingga batas tertentu, bahkan bisa mencapai 20 persen, adanya etanol sebesar 3,5 persen dalam base fuel Pertamina justru dianggap sebagai masalah serius bagi calon pembeli. "Isu yang disampaikan kepada rekan-rekan SPBU ini, adalah mengenai konten. Kontennya itu ada kandungan etanol," jelasnya.
Beda Pandang Soal Kandungan
Achmad menegaskan bahwa secara aturan, kandungan etanol 3,5 persen tersebut masih berada dalam ambang batas yang diperkenankan oleh pemerintah. Artinya, dari sisi legalitas dan standar, tidak ada masalah. Namun, bagi perusahaan swasta seperti VIVO dan APR, kandungan ini menjadi pertimbangan teknis yang krusial.
"Nah ini yang membuat kondisi teman-teman SPBU swasta untuk tidak melanjutkan pembelian karena ada konten etanol tersebut. Dimana konten itu sebetulnya masih masuk ambang yang diperkenankan oleh pemerintah," tambahnya. Keputusan VIVO dan APR untuk mundur murni didasarkan pada pertimbangan teknis internal mereka, yang mungkin berkaitan dengan infrastruktur, proses blending, atau spesifikasi produk yang mereka inginkan.
Perwakilan VIVO Indonesia sendiri membenarkan bahwa langkah pembatalan ini terpaksa diambil lantaran ada beberapa syarat teknis yang diajukan tidak dapat dipenuhi oleh Pertamina. "Memang betul kami sesuai dengan saran dari pak menteri kami telah mengadakan negosiasi dengan Pertamina untuk membeli, tapi karena ada beberapa hal teknis yang tidak bisa dipenuhi oleh Pertamina sehingga apa yang sudah kami mintakan itu dengan terpaksa dibatalkan," ujar perwakilan VIVO. Ini menunjukkan adanya perbedaan standar atau kapabilitas teknis yang belum bisa dipertemukan antara kedua belah pihak.
Bukan Cuma Vivo & APR, Shell Ikut Mundur
Ternyata, drama pembatalan kerja sama ini tidak hanya melibatkan VIVO dan APR saja. Negosiasi dengan Shell, perusahaan minyak asal Inggris yang juga beroperasi di Indonesia, pun bernasib serupa. Achmad Muchtasyar mengungkapkan bahwa negosiasi dengan Shell tidak dapat berlanjut karena adanya prosedur internal perusahaan tersebut yang belum dapat dipenuhi oleh Pertamina.
Ini menunjukkan bahwa tantangan dalam menjalin kolaborasi dengan pihak swasta bukan hanya soal teknis kandungan bahan bakar, tetapi juga bisa terkait dengan birokrasi atau standar operasional yang berbeda antar perusahaan. Kondisi ini tentu menjadi PR besar bagi Pertamina dalam upaya mereka untuk memperluas jaringan distribusi dan menjaga ketahanan energi nasional.
Harapan di Tengah Kekecewaan
Meski terjadi pembatalan, perwakilan VIVO tidak menutup kemungkinan untuk kembali berkoordinasi dengan Pertamina di masa mendatang. "Tapi tidak menutup kemungkinan kami akan berkoordinasi dengan Pertamina untuk saat-saat mendatang, apa yang kami minta mungkin bisa dipenuhi Pertamina," imbuhnya. Ini menyiratkan bahwa pintu kolaborasi masih terbuka, asalkan Pertamina dapat memenuhi persyaratan teknis yang mereka ajukan.
Sebelumnya, Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Roberth MV Dumatubun, sempat menyatakan bahwa kerja sama ini dilandasi semangat transparansi dan tata kelola yang baik. Kolaborasi dengan swasta dianggap sebagai bagian penting dari kerja bersama dalam menjaga ketahanan energi nasional. "Dengan semangat gotong royong, layanan energi diharapkan semakin merata, adil, dan bermanfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia," ujar Roberth.
Meskipun harapan awal untuk sinergi besar ini harus tertunda, semangat kolaborasi untuk ketahanan energi nasional tetap harus dijaga. Mungkin saja, di masa depan, perbedaan teknis ini bisa ditemukan titik temunya, sehingga kerja sama yang saling menguntungkan antara Pertamina dan pihak swasta bisa terwujud. Kita tunggu saja gebrakan selanjutnya!
Penulis: Ifan R
Editor: Santika Reja
Terakhir disunting: Oktober 1, 2025