NEWS TANGERANG– Janji pembangunan dan investasi seringkali digembar-gemborkan sebagai jalan pintas menuju kesejahteraan. Tapi, di lapangan, janji manis itu bisa berubah jadi ancaman nyata bagi masyarakat adat, petani kecil, dan mereka yang menjaga ruang hidup. Kasus-kasus seperti di Raja Ampat, konsesi nikel, ekspansi sawit, PIK 2, hingga proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) terang-terangan memperlihatkan wajah lain dari pembangunan: perampasan tanah atas nama investasi, dilansir situs Tangerangnews.com.
Janji Manis Pembangunan, Realita Pahit di Lapangan
Pembangunan dan investasi memang terdengar keren dan menjanjikan masa depan yang lebih baik. Namun, siapa sangka di balik itu, ada banyak cerita pilu tentang tanah yang direnggut dan kehidupan yang tercerabut. Ini bukan cuma soal angka-angka ekonomi, tapi juga tentang manusia dan hak-hak mereka.
Dari ujung barat hingga timur Indonesia, pola ini terus berulang. Masyarakat yang seharusnya jadi subjek pembangunan, malah seringkali jadi korban yang harus mengalah demi proyek-proyek raksasa.
PIK 2: Modernisasi yang Menggusur Ruang Hidup
Di Tangerang, pembangunan PIK 2 juga menimbulkan polemik yang bikin geleng-geleng kepala. Proyek ini memang dipandang membawa wajah modernisasi dan kemewahan, tapi di balik itu ada penolakan keras dari warga pesisir yang merasa ruang hidupnya dirampas begitu saja. Lahan pertanian dan wilayah nelayan mereka perlahan tergusur demi kepentingan investasi raksasa.
Ngerinya, kompensasi yang dijanjikan seringkali tidak sebanding dengan kerugian besar yang dialami masyarakat. Bagi warga sekitar, PIK 2 bukan sekadar proyek properti megah, melainkan simbol krisis baru yang menyakitkan. Mereka kehilangan tanah, identitas, bahkan hak hidup di negeri sendiri, semua atas nama pembangunan.
Secara ekonomi, janji investasi yang diusung pengembang kerap tidak sebanding dengan kenyataan di lapangan. Harga tanah melonjak drastis, tapi masyarakat lokal mana sanggup membeli atau mempertahankan lahannya? So sad. Keuntungan besar justru jatuh pada pemilik modal dan spekulan tanah, sementara warga Pakuhaji hanya bisa jadi penonton di tanahnya sendiri.
Kesenjangan ekonomi pun makin tajam, memperlihatkan wajah ketidakadilan yang terang-terangan dalam pembangunan. Karena itu, penolakan warga terhadap PIK 2 seharusnya tidak dipandang sebagai hambatan pembangunan, melainkan sebagai alarm keras yang berbunyi nyaring. Ini sinyal bahwa ada ketidakadilan serius yang harus segera diselesaikan.
Pembangunan sejati hanya bisa disebut berhasil bila masyarakat yang terdampak langsung merasa dilibatkan, dilindungi, dan diuntungkan. Tanpa itu, pembangunan hanya akan meninggalkan luka sosial dan kerusakan lingkungan yang dalam, bikin kita semua rugi.
Nikel Raja Ampat: Keindahan Alam Terancam, Regulasi Loyo?
Raja Ampat, yang seharusnya dikenal karena keindahan lautnya yang mendunia, kini malah terancam oleh tambang yang merusak pulau-pulau kecil. WALHI Papua mencatat, ratusan hektare lahan sudah rusak parah akibat konsesi tambang, padahal itu adalah surga bawah laut kita. Pemerintah memang mencabut sebagian izin usaha pertambangan, tapi ironisnya masih memberi ruang bagi PT Gag Nikel untuk beroperasi di pulau kecil.
Padahal, regulasi melarang keras tambang di wilayah rentan seperti itu. Dih, di sini publik bisa bertanya-tanya: keberpihakan pemerintah ada di mana, sih? Pada rakyat yang menjaga alam atau pada pemodal yang cuma cari untung?
Kalimantan: Sawit dan IKN, Mengikis Identitas Lokal
Kalimantan, yang kini jadi pusat perhatian karena pembangunan IKN, juga tak lepas dari konflik lahan yang bikin miris. Ekspansi sawit dan pembukaan hutan secara masif terus menggerus hak-hak masyarakat adat yang sudah turun-temurun hidup di sana. Forest Watch Indonesia mencatat, sekitar 20 ribu hektare hutan hilang dalam lima tahun terakhir di kawasan IKN saja.
Sementara itu, komunitas adat di Penajam Paser Utara harus kehilangan tanah, situs ritual, bahkan sumber air bersih mereka. Gak habis fikir, apa arti pembangunan kota modern yang megah, bila yang dikorbankan adalah identitas dan kelangsungan hidup komunitas lokal yang sudah ada sejak lama? Ini bukan cuma soal tanah, tapi juga soal jiwa.
Suara Mereka yang Tergusur: Jeritan dari Lapangan
Darmawi, seorang tokoh adat dari Maridan, Penajam Paser Utara, dengan nada sedih bercerita, "Wilayah adat Maridan miliki sejarah tersendiri bagi komunitas kami. Tiba-tiba di tempat itu sudah ada plang lahan Mabes Polri." Ini menunjukkan betapa mudahnya tanah adat direnggut tanpa permisi.
Yati Dahlia, dari komunitas Balik Sepaku, juga merasakan dampaknya langsung. Ia kehilangan lahan pertanian serta akses air bersih yang vital. "Sungai yang dulu menjadi sumber air utama telah berubah menjadi tanggul," keluhnya. "Sumur yang mereka gali pun menghasilkan air yang tidak layak konsumsi." So sad, air bersih jadi barang mewah di tanah sendiri.
Melihat kondisi ini, berbagai organisasi seperti AMAN, WALHI, dan PB PMII menyerukan agar pemerintah segera menghentikan model "pembangunan eksploitatif." Model ini, menurut mereka, hanya menguntungkan investor dan korporasi besar, sementara masyarakat lokal dan adat yang harus menanggung semua kerugian.
HGU 190 Tahun: Negara Lebih Sayang Investor?
Peraturan IKN yang memberi hak guna usaha (HGU) hingga 190 tahun bagi investor adalah potret nyata bagaimana negara lebih ramah pada modal ketimbang rakyatnya sendiri. Masyarakat adat yang sejak lama menjaga tanahnya, sayangnya, seringkali tak punya sertifikat formal. Akibatnya, mereka mudah disingkirkan begitu saja.
Di sisi lain, investor asing maupun domestik bisa menikmati kepastian hukum nyaris dua abad lamanya. Kontras yang menyakitkan ini jelas menunjukkan ketidakadilan yang mencolok. Dih, kenapa ya tanah rakyat yang dijaga turun-temurun malah gampang hilang, sementara investor dapat jaminan super panjang?
Ini Bukan Cuma Soal Tanah, Tapi Identitas Bangsa!
Perampasan tanah ini bukan sekadar konflik agraria biasa, tapi sudah jadi krisis identitas bangsa yang mendalam. Hilangnya tanah adat berarti hilangnya situs budaya, makam leluhur, bahkan memori kolektif yang tak ternilai harganya. Ini seperti mencabut akar sebuah pohon besar.
Ketika masyarakat hanya dianggap objek pembangunan yang bisa digeser-geser, kita sedang menyaksikan sebuah pola kolonialisme baru. Di mana "pembangunan" hanyalah topeng bagi eksploitasi yang merugikan banyak pihak. Ngerinya, ini terjadi di tanah kita sendiri.
Pada akhirnya, pembangunan yang diklaim membawa kemajuan sering kali menyisakan luka yang dalam bagi mereka yang kehilangan tanah dan ruang hidupnya. Perampasan tanah atas nama investasi, seperti yang tampak dalam kasus PIK 2 di Pakuhaji maupun di berbagai daerah lain, menunjukkan betapa rapuhnya keadilan sosial di negeri ini.
Jika negara terus berpihak pada modal dan mengabaikan suara rakyat, maka yang lahir bukanlah kesejahteraan. Melainkan krisis baru yang lebih parah: krisis kepercayaan, krisis lingkungan, dan krisis kemanusiaan di tanah sendiri. Mantap Bos? Tentu saja tidak!
Panggilan untuk Perubahan: Stop Pembangunan Eksploitatif!
Kita tidak bisa terus membiarkan pembangunan berjalan dengan logika "siapa punya modal, dia berkuasa." Pemerintah harus segera bertindak tegas dan adil.
Pertama, pemerintah wajib mengakui dan melindungi tanah adat melalui rekognisi formal yang jelas. Kedua, data izin usaha harus dibuka secara transparan agar semua bisa mengawasi. Ketiga, berikan kompensasi yang layak, bukan sekadar hitungan ekonomi yang bikin rugi.
Terakhir, dan ini penting banget, libatkan masyarakat adat dalam setiap tahap pembangunan. Jika pembangunan hanya berdiri di atas penderitaan, maka IKN dan proyek investasi lainnya hanya akan tercatat sebagai monumen ketidakadilan. Dan sejarah akan mengingat, negara pernah berpihak bukan pada rakyatnya, melainkan pada modal yang merampas.
Penulis: Ifan R
Editor: Santika Reja
Terakhir disunting: Oktober 1, 2025