NEWS TANGERANG– Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, tengah dilanda musibah yang bikin geleng-geleng kepala. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang seharusnya jadi penyelamat gizi anak-anak sekolah, justru berubah jadi petaka keracunan massal. Dih, siapa sangka program mulia ini berakhir tragis?
Hingga Kamis, 25 September 2025, jumlah korban terus meroket, mencapai angka 1.333 orang. Mereka berasal dari berbagai jenjang pendidikan, mulai dari SD, SMP, hingga SMA/SMK. Angka ini jelas bukan main-main, menunjukkan skala insiden yang sangat serius dan mengkhawatirkan.
Awal Mula Petaka: Ribuan Siswa Tumbang
Bayangkan, ribuan siswa yang seharusnya semangat belajar dan bermain, mendadak tumbang dengan gejala keracunan. Mual, pusing, hingga sesak napas menjadi keluhan umum yang mereka rasakan setelah mengonsumsi makanan dari program MBG. Kondisi ini tentu saja menciptakan kepanikan luar biasa di kalangan orang tua, guru, dan tenaga kesehatan.
Posko-posko darurat langsung didirikan di wilayah terdampak untuk memberikan pertolongan pertama. Petugas kesehatan berjibaku siang malam, berusaha menangani gelombang pasien yang terus berdatangan. Pemandangan ini sungguh memilukan, melihat anak-anak yang tak berdosa harus merasakan dampak dari kelalaian yang fatal.
Fakta Mencengangkan dari Dapur MBG: Ayam Tak Segar Jadi Sorotan
Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Nanik S Deyang, mengaku sangat terkejut dengan temuan di lapangan terkait bahan baku yang digunakan dapur MBG. Menurutnya, ada kelalaian serius dalam pengelolaan bahan pangan yang seharusnya segar saat diolah. Ini bukan sekadar kesalahan kecil, melainkan blunder fatal yang berdampak pada kesehatan ribuan orang.
"Saya juga tidak mentolerir bahan baku, bahan baku yang dipakai bila tidak fresh. Karena kejadian di Bandung ini sungguh di luar nalar," ujar Nanik, dilansir situs Kompas, Sabtu, 27 September 2025. Pernyataan ini menunjukkan betapa parahnya kondisi yang ditemukan.
Fakta yang bikin "gak habis pikir" adalah penggunaan ayam yang sudah tidak segar. Nanik mengungkapkan, ayam yang dipakai untuk menu MBG ternyata sudah dibeli sejak hari Sabtu, namun baru dimasak empat hari kemudian, yaitu pada hari Rabu. "Bagaimana bahan baku dalam kondisi tidak fresh, ayam dibeli di hari Sabtu, baru dimasak di hari Rabu," imbuhnya dengan nada prihatin.
Empat hari tanpa penanganan yang tepat, apalagi untuk bahan pangan sensitif seperti ayam, adalah resep sempurna untuk petaka. Bakteri penyebab keracunan makanan bisa berkembang biak dengan sangat cepat dalam kondisi seperti itu. Ini adalah pelanggaran mendasar dalam standar keamanan pangan yang seharusnya tidak pernah terjadi.
Bukan Cuma Ayam, Penyimpanan Massal Jadi Masalah Serius
Masalahnya ternyata tidak berhenti pada ayam yang tidak segar saja. Nanik menambahkan, penyimpanan bahan baku dalam jumlah besar juga menjadi masalah serius yang perlu diperhatikan. Ia menjelaskan, menyimpan dua ekor ayam di rumah mungkin tidak akan menimbulkan masalah besar. Namun, cerita akan sangat berbeda jika yang disimpan adalah ratusan ekor ayam.
"Memang kalau di rumah ya enggak apa-apa itu dua ayam kita nyimpannya. Tapi, kalau 350 ayam, freezer mana yang kuat menyimpan? Jadi ada berbagai hal, kami sudah mengeluarkan tindakan-tindakan," tegasnya. Ini menyoroti kurangnya infrastruktur penyimpanan yang memadai untuk skala produksi sebesar program MBG.
Penyimpanan dalam jumlah besar membutuhkan fasilitas khusus seperti cold storage atau freezer industri yang mampu menjaga suhu tetap stabil dan dingin. Jika tidak, risiko pembusukan dan kontaminasi silang akan meningkat drastis. Ngerinya, kelalaian ini menunjukkan bahwa perencanaan dan pelaksanaan program MBG masih jauh dari kata sempurna.
Gelombang Keracunan Tak Berhenti: Klaster Demi Klaster Bermunculan
Dinas Kesehatan Bandung Barat mencatat, gelombang keracunan ini muncul secara bertahap, membentuk klaster-klaster baru. Keracunan pertama kali terdeteksi dari klaster Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Cipari. Insiden ini terjadi antara Senin, 22 September hingga Selasa, 23 September, dengan 393 korban.
Belum selesai penanganan di klaster pertama, kasus kedua muncul di Kecamatan Cihampelas. Sebanyak 192 korban tercatat di sini, dengan mayoritas berasal dari SMKN 1 Cihampelas. Kemudian, tambahan kasus juga tercatat di Desa Neglasari, Citalem, dan Cijambu, Kecamatan Cipongkor, dengan 201 korban.
Seolah tak ada habisnya, sehari kemudian insiden serupa kembali muncul dengan jumlah yang lebih besar lagi. "Kalau hari ini yang keracunan kedua, ada 730 orang," ungkap Kepala Puskesmas Cipongkor, Yuyun Sarihotimah, saat ditemui di Posko Cipongkor. Ini menunjukkan bahwa masalahnya mungkin lebih sistemik dan meluas dari yang diperkirakan.
Total korban yang mencapai 1.333 orang ini adalah cerminan dari betapa seriusnya dampak yang ditimbulkan. Setiap angka di balik statistik itu adalah seorang anak yang menderita, seorang orang tua yang khawatir, dan sebuah keluarga yang terguncang.
Kondisi Korban dan Penanganan Darurat
Ratusan pelajar yang menjadi korban keracunan ini mengeluhkan gejala yang bervariasi, namun umumnya meliputi mual hebat, pusing yang tak tertahankan, hingga sesak napas yang membuat mereka kesulitan bernapas. Beberapa di antaranya mungkin mengalami diare dan muntah-muntah, memperparah kondisi dehidrasi.
Tim medis dan relawan bekerja keras di posko-posko darurat yang didirikan di wilayah terdampak. Mereka memberikan cairan infus, obat-obatan untuk meredakan gejala, serta pemantauan ketat terhadap kondisi para korban. Prioritas utama adalah menstabilkan kondisi pasien dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
Para korban yang kondisinya lebih parah segera dirujuk ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan intensif. Situasi di rumah sakit pun pasti penuh sesak, dengan tim medis yang harus bekerja ekstra keras menghadapi lonjakan pasien keracunan massal ini.
Pelajaran Berharga dari Insiden Tragis Ini
Insiden keracunan massal dalam program Makan Bergizi Gratis ini harus menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak. Pertama, pentingnya pengawasan ketat terhadap seluruh rantai pasok makanan, mulai dari pembelian bahan baku, penyimpanan, pengolahan, hingga penyajian. Standar keamanan pangan tidak boleh ditawar-tawar.
Kedua, perlunya evaluasi menyeluruh terhadap kapasitas dan kapabilitas penyedia jasa katering atau dapur yang ditunjuk untuk program sebesar ini. Apakah mereka memiliki fasilitas yang memadai? Apakah sumber daya manusia mereka terlatih dengan baik dalam penanganan makanan?
Ketiga, transparansi dan akuntabilitas. Masyarakat berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan langkah-langkah konkret apa yang akan diambil untuk mencegah terulangnya kejadian serupa. Ini bukan hanya tentang gizi, tapi juga tentang kepercayaan publik terhadap program pemerintah. Semoga insiden tragis ini tidak terulang dan menjadi momentum untuk perbaikan sistem yang lebih baik.
Penulis: Ifan R
Editor: Santika Reja
Terakhir disunting: September 29, 2025